TBM Pado Maco, Gerakan Literasi dari Suranenggala

Oleh Ismail Marzuki-Kabar Cirebon
DI tengah derasnya arus digitalisasi dan menurunnya minat baca, Warkina, seorang guru SMP di Kecamatan Suranenggala Kabupaten Cirebon, tak pernah berhenti mengajak masyarakat di sekitarnya untuk gemar membaca.
Melalui Taman Bacaan Masyarakat (TBM) bernama Pado Maco yang ia dirikan sejak 2004, semangat literasi ia bawa ke desa-desa, tempat-tempat ramai, hingga menciptakan event sendiri demi memperkenalkan kembali buku kepada masyarakat.
“Kalau dari TBM Pado Maco-nya juga sering melakukan kegiatan event-event, untuk mempublikasikan ekspo buku, pengenalan buku dari tahun ke tahun,” ungkap Warkina.
Buku-buku yang tersedia di TBM Pado Maco terdiri dari berbagai disiplin ilmu, mulai dari literasi sosial, ekonomi, hukum, politik, religi, sains, hingga finansial. Ragam buku ini disediakan sebagai upaya menyasar beragam kalangan dan minat masyarakat, agar semua orang dapat menemukan bacaan yang sesuai.
Warkina menjelaskan, gerakan literasi ini lahir dari keprihatinannya melihat anak-anak di lingkungannya yang mulai menjauh dari buku. “Motivasi awalnya karena saya melihat anak-anak mulai berpaling dari membaca buku. Kedua, kita juga ingin memberdayakan pola pikir. Mindset kita terbentuk dari referensi yang valid, bukan dari informasi liar yang tidak jelas. Jadi, kita perlu berpikir berdasarkan rujukan yang kuat,” jelasnya.
“Kalau kita kan ide dijalankan hasil dari referensi-referensi tadi, buku itu. Jadi kan lebih jelas itu arahnya,” lanjutnya.
Lebih dari itu, menurut Warkina, budaya membaca juga berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Literasi bukan sekadar soal membaca, tetapi mampu meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), kualitas sumber daya manusia, hingga cara berpikir yang lebih sehat dan maju. “Jadi di situ, mulai akhirnya kita bergiat lebih full,” katanya.
Sejak awal berdirinya TBM, Warkina menjalankan gerakan ini dengan cara sederhana namun penuh semangat yakni membawa koleksi bukunya sendiri, lalu membuka lapak baca di tempat-tempat ramai. Kini, kegiatannya bahkan bisa berlangsung tiga hingga empat kali seminggu, tergantung kondisi fisik dan operasional.
“Kita keliling, mobilisasi ke tempat-tempat ramai. Termasuk juga pasar malam. Kenapa pasar malam? Karena banyak orang menganggap membaca harus di tempat hening. Padahal, karakteristik membaca itu berbeda-beda. Ada yang suka baca sambil dengar musik, ada yang perlu tenang, dan ada juga yang suka di keramaian. Ternyata semua bisa dilakukan,” tuturnya.
Tak hanya berpindah-pindah tempat, TBM Pado Maco juga menjalankan berbagai program strategis. Pertama, Gerakan Sadar Baca yang bertujuan menyadarkan masyarakat tentang pentingnya membaca.
Kedua, ada Read Aloud atau buku dibacakan. Ketiga, Gerakan Literasi Rakyat yang menyasar kepala keluarga sebagai pusat perubahan. Dan yang tengah dikembangkan saat ini adalah Gerbu Membaca.
“Gerbu Membaca maksudnya seperti ‘baca geropiokan’. Jadi tidak ada keterpaksaan, tidak ada ketidakenakan. Sasarannya juga tidak harus anak-anak. Semua bisa terlibat,” jelasnya.
Inovasi TBM Pado Maco juga terlihat dari metode uniknya dalam menyelipkan buku di tempat-tempat tak terduga. Misalnya, menitipkan buku di tempat cukur rambut, kios ayam goreng, hingga menyelipkan buku kesehatan di bawah popok bayi saat ada orang yang menjenguk. Bahkan untuk kado pernikahan, ia memilih memberikan buku panduan membina rumah tangga harmonis dibanding sekadar kartu ucapan.
Gerakan literasi ini memang menyasar semua lapisan masyarakat. “Bukan hanya anak-anak sekolah. Orang tua juga bagian dari target literasi kami,” kata Warkina.
Apakah gerakan ini membawa dampak bagi masyarakat? Warkina menjelaskan, karena gerakan ini bersifat berkelanjutan, maka perubahan yang terjadi bersifat progresif. Tidak ada target jumlah tertentu, tetapi perubahan pola pikir dan sikap menjadi indikator keberhasilan.
“Misalnya ada anak yang tadinya kecanduan game, lalu setelah sering melihat buku, waktu main gamenya berkurang, walau belum tentu langsung baca buku. Tapi kan sudah ada perubahan arah,” katanya.
Terkait metode penyampaian, masyarakat tidak hanya diperbolehkan membaca, tapi juga mendapatkan pemaparan dan motivasi dari para relawan TBM. “Sebagai pegiat literasi, kita harus bisa menginspirasi. Harus bisa menyampaikan motivasi supaya orang mau pegang buku. Apa yang saya alami dan pelajari juga saya bagikan agar bisa jadi inspirasi,” tutur Warkina.
Saat ini, tim relawan tetap TBM Pado Maco berjumlah sekitar 10 orang, terdiri dari 7 perempuan dan 3 laki-laki. Sementara relawan tidak tetap bisa mencapai 20 hingga 25 orang ketika ada acara atau kegiatan besar.
Gerakan kecil ini memang dimulai dari satu orang. Namun dampaknya telah menjalar ke banyak hati. Dari halaman pasar malam hingga pangkuan bayi yang baru lahir, semangat membaca disebar oleh Warkina dan timnya, sebuah bukti bahwa literasi bisa lahir dari kegigihan, bukan hanya dari institusi besar.***