Opini

Menjamurnya Pramunikmat di IKN

Menjamurnya, Pramunikmat , IKN,
Oleh: Andrian Saba
Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UGJ Cirebon

Di tanah yang sering disebut sebagai simbol kemegahan, pembangunan Ibu Kota Nusantara di Provinsi Kalimantan Timur terus berjalan dengan semangat besar. Gedung-gedung mulai menjulang, jalan-jalan terbentang rapi, dan nasionalisme dituangkan ke dalam desain fisik negara. Sayangnya, di balik proses pembangunan itu, praktik prostitusi mulai bermunculan di sela-sela infrastruktur yang belum rampung.
Wilayah Kecamatan Sepaku, sebagai pusat administratif dari proyek Ibu Kota Nusantara mengalami peningkatan aktivitas prostitusi terselubung. Aparat Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Penajam Paser Utara telah melaksanakan sejumlah operasi penertiban untuk menanggulangi kejadian ini. Sejumlah PSK diamankan karena terindikasi menawarkan jasa seksual melalui platform digital. Pola praktik ini menunjukkan pergeseran dari prostitusi konvensional menuju bentuk daring yang lebih sulit dideteksi oleh pengawasan langsung.
Para pramunikmat atau pelacur menyewa tempat penginapan sebagai ruang sementara untuk melayani konsumen yang dijangkau melalui aplikasi digital seperti MiChat. Proses transaksi berlangsung dengan cepat dan efisien melalui pertukaran lokasi dan komunikasi instan. Tubuh manusia diperdagangkan melalui identitas samaran. Lagi-lagi sebuah paradoks. Perkembangan teknologi informasi yang seharusnya meningkatkan kualitas hidup, justru turut mempercepat degradasi nilai-nilai empati dalam relasi sosial.
Perempuan-perempuan yang terlibat dalam praktik prostitusi tidak seluruhnya berasal dari wilayah Kecamatan Sepaku. Sejumlah pelaku praktik prostitusi datang dari daerah lain seperti Samarinda, Balikpapan, Bandung, dan Makassar. Mobilitas ini menunjukkan adanya perpindahan yang dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan peluang kerja, meskipun di wilayah yang secara sosial belum sepenuhnya terstruktur.
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Penajam Paser Utara, Bagenda Ali, mengategorikan praktik prostitusi di wilayah IKN sebagai bentuk penyakit sosial masyarakat. Pandangan ini selaras dengan konsep teoretis dalam sosiologi yang memandang penyimpangan sosial sebagai akibat dari ketimpangan struktural dan lemahnya kontrol sosial. Meskipun operasi penertiban telah dilakukan secara berkala, keberadaan praktik prostitusi terus berulang dalam pola yang berbeda. Hal ini menampakkan bahwa tindakan represif semata tidak cukup untuk mengatasi persoalan yang memiliki akar sosio-ekonomi dan kultural yang kompleks.
Tindakan penertiban sebagai upaya represif sementara tidak akan efektif tanpa penyelesaian akar masalah secara struktural. Kasus eksploitasi tubuh menandakan kegagalan negara dan masyarakat dalam menyediakan akses terhadap kesejahteraan yang merata.
Kemunculan wajah-wajah prostitusi di IKN bukan sekadar kabar murahan, melainkan gema dari migrasi ekonomi yang terus berdetak. Tubuh-tubuh yang dijajakan itu sebagai isyarat dari celah-celah ketimpangan yang dibiarkan terbuka. Ketika megaproyek dijunjung, tapi pengawasan sosial tertidur.
Sebenarnya, apa yang terjadi di IKN bukanlah hal baru. Sejumlah studi di kota-kota besar menunjukkan kecenderungan yang sama. Saat proyek-proyek besar melaju pesat tanpa kesiapan sosial-ekonomi masyarakat, tubuh kerap menjadi satu-satunya aset yang tersisa. Dalam tekanan ekonomi, industri syahwat tetap hidup, hal ini dikarenakan selalu ada permintaan yang tak kunjung padam.
Bentuk prostitusi kontemporer atau saat ini cenderung bersifat terselubung dan sulit diidentifikasi melalui pengamatan langsung. Berbeda dari masa lalu yang identik dengan area lokalisasi, praktik ini kini bergeser ke ranah digital melalui platform daring dan akun anonim. Kegiatan transaksinya pun berlangsung secara privat, dan membuat aspek pengawasan serta intervensi sosial semakin rumit.
Di satu sisi, IKN digadang-gadang sebagai kota pintar, kota hijau, dan kota yang berpihak pada manusia. Gambaran besar itu menyisihkan mereka yang tak masuk dalam rencana, walaupun tetap hidup di dalamnya. Orang-orang pinggiran, yang menjual tubuh demi bertahan hidup, nyaris tak terlihat dalam peta pembangunan. Mereka menjadi bagian dari kota, yang sayangnya tak dianggap sebagai warga masa depan. Kota ini tak akan adil jika dibangun dengan mengabaikan keberadaan mereka.
Situasi ini tak bisa dianggap sebagai kejahatan. Praktik prostitusi di tengah geliat pembangunan merupakan tanda peringatan. Ada sistem yang tidak bekerja sebagaimana mestinya. Negara belum hadir di ruang-ruang yang seharusnya diisi. Menyelesaikannya tak cukup hanya dengan razia atau penangkapan.
Di sisi lain, pembangunan yang mengabaikan aspek kemanusiaan berisiko melahirkan kota yang impresif secara visual tapi defisit secara moral. Struktur fisiknya berkembang, sementara orientasi nilai tidak mengalami kemajuan yang sepadan. Ketidakhadiran empati dalam perencanaan kota akan menciptakan lingkungan sosial yang eksploitatif, di mana kelompok dominan mendominasi ruang hidup dan kelompok rentan mengalami marginalisasi berlapis.
Sudah sepatutnya negara merancang pembangunan fisik yang berjalan seiring dengan perwujudan keadilan sosial. Ibu Kota Nusantara tidak ideal apabila tampil sebagai simbol kemegahan belaka, sementara permasalahan sosial tersembunyi di balik fasad pembangunan. Maraknya prostitusi pada fase awal proyek pembangunan menjadi indikasi sistemik yang menuntut respons struktural, bukan dianggap sebagai gangguan semata.
Jika seseorang terpaksa menjual tubuh karena tak punya pilihan lain, maka negara patut dianggap gagal. Gagal menyediakan ruang yang aman, gagal membuka kesempatan yang adil, dan gagal memahami bahwa pembangunan sejatinya bukan sekadar urusan infrastruktur, melainkan tentang memperjuangkan hidup yang layak dan bermartabat.
Kita tak bisa membanggakan kota baru, sementara luka lama dibiarkan terbuka. Kita tak bisa mengagungkan visi masa depan, jika tubuh masih dijadikan komoditas paling mudah diakses. Dan kita tak bisa menyebut diri beradab, jika gagal melindungi yang paling rapuh dari jerat pasar gelap.
IKN seharusnya menjadi simbol kemajuan sejati. Bila nilai-nilai kemanusiaan diabaikan, yang tertinggal hanya kemegahan palsu yang bertumpu pada ketimpangan. Alih-alih menghadirkan harapan baru, pembangunan ini justru memperpanjang luka lama dalam bentuk yang baru.***

Related Articles

Related Articles

Back to top button