Benahi Desa Selamatkan Dana

LAMBANNYA penyerapan Dana Desa di Kabupaten Cirebon, hingga menempatkannya sebagai salah satu daerah dengan kinerja terburuk secara nasional, bukan sekadar persoalan administratif. Ini adalah gejala dari krisis tata kelola yang lebih mendasar, yang tampak jelas dalam kasus Desa Setu Kulon, Kecamatan Weru.
Konflik internal antara Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan aparat desa menjadi penghambat utama yang membuat Dana Desa tahap pertama tahun 2025 tidak terserap.
Program pembangunan terhenti, sementara masyarakat yang seharusnya menerima manfaat justru menjadi korban. Ini bukan hanya soal anggaran, melainkan juga kegagalan kepemimpinan dan lemahnya kapasitas kelembagaan desa.
Langkah Komisi I DPRD Kabupaten Cirebon yang menginisiasi audiensi dan mengawasi proses penanganan perlu diapresiasi. Namun, pengawasan tidak cukup jika tidak diikuti dengan reformasi yang menyentuh akar masalah.
Kita sedang dihadapkan pada kenyataan bahwa banyak desa masih terjebak dalam dinamika politik internal, birokrasi kaku, dan minimnya kompetensi dalam tata kelola keuangan publik.
Pemerintah Kabupaten Cirebon, melalui Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (DPMPD), harus lebih proaktif dan tidak hanya menunggu laporan dari bawah.
Koordinasi lintas sektor mesti dibangun dengan intensif, dan pendampingan desa tidak boleh bersifat seremonial semata. Reformasi sistemik diperlukan, mulai dari pelatihan manajemen konflik, peningkatan kapasitas aparatur, hingga digitalisasi pelaporan dan transparansi penggunaan dana.
Desa bukan sekadar wilayah administratif, tetapi ujung tombak pembangunan. Ketika desa gagal mengelola dana yang sudah dialokasikan, maka mimpi membangun dari pinggiran akan selalu mandek di tengah jalan.
Kasus Setu Kulon seharusnya menjadi cermin, bahwa dana besar tanpa sistem yang sehat hanya akan melahirkan kebuntuan. Sudah saatnya Kabupaten Cirebon mengevaluasi serius kualitas kepemimpinan desa, pola rekrutmen perangkat, serta mekanisme kontrol sosial dan audit anggaran secara lebih terbuka.
Dana Desa adalah hak rakyat, bukan alat tawar-menawar kepentingan antar-lembaga desa. Ketika ego lebih besar dari kepentingan publik, maka yang hilang bukan hanya anggaran, tapi kepercayaan masyarakat itu sendiri.***