Wartawan Dipaksa Diusir dari Gedung Graha Pers, PWI Kecam Arogansi Pemkab Indramayu

kacenews.id-INDRAMAYU-Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi Jawa Barat menyayangkan sikap Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Indramayu yang mengusir organisasi wartawan dari gedung Graha Pers Indramayu. Kebijakan itu dinilai sebagai tindakan yang arogan dan mencederai prinsip kemerdekaan pers.
“Ini bukan sekadar soal gedung, ini soal bagaimana pemerintah memperlakukan pers. Kalau wartawan diusir seperti ini, bisa diartikan sebagai upaya membungkam kemerdekaan pers,” kata Ketua PWI Provinsi Jawa Barat Hilman Hidayat, dalam siaran pers, Jumat (18/7/2025).
Padahal, kata Hilman, gedung Graha Pers sudah ditempati selama 40 tahun oleh organisasi wartawan. “Gedung itu memiliki histori yang panjang. Para bupati sebelumnya memberikan fasilitas kepada wartawan, dan organisasi pers, karena jasanya membantu mempublikasi kegiatan dan program-program Pemkab Indramayu. Ini tiba-tiba diusir, ada apa?,” tegas Hilman.
Seharusnya, lanjut Hilman, pihak Pemkab Indramayu bijaksana dalam mengambil keputusan. “Saya dengar tidak ada sosialisasi ataupun dialog sebelumnya dengan teman-teman yang berkantor di sana. Untuk apa dan mau dijadikan apa gedung itu. Sehingga jelas, untuk apa dan urgensinya apa. Tapi ini tidak dilakukan. Sehingga terkesan arogan dan terkesan syarat kepentingan,” ujar Hilman.
Menurut Hilman, kehadiran wartawan selama ini bukan beban atau ancaman bagi pemerintah, melainkan mitra strategis. Baik dalam menyampaikan informasi pembangunan, mengawasi jalannya pemerintahan dan kritik yang membangun.
“Ini soal cara pemerintah melihat pers. Langkah mengusir seperti itu, bisa menjadi preseden buruk bagi kemerdekaan pers di Indramayu dan nasional, ” tegas Hilman.
“Setiap keputusan publik harus berbasis musyawarah. Ini tidak bisa serta-merta main surat pengusiran. Mana penghargaan terhadap profesi wartawan? Harusnya dibangun dialog untuk mencari solusi bersama,” tambahnya.
Sementara itu, Wakil ketua Bidang Organisasi PWI Jawa Barat Ahmad Syukri menilai kebijakan itu syarat dengan kepentingan tertentu karena dilakukan di tengah konflik yang terjadi di tubuh PWI saat ini.
“Kita paham soal aset, tapi ini dilakukan ditengah konflik di internal PWI. Kenapa baru sekarang ada perintah pengosongan, kenapa tidak dari dulu, ada motif apa?,” katanya.
Padahal, lanjutnya, PWI Provinsi Jawa Barat melalui surat edaran Nomor 829/PWI-JB/VI/2025 tanggal 10 Juni 2025 telah mengingatkan agar semua kepala daerah untuk bersikap netral dan tidak memihak selama proses rekonsiliasi berlangsung.
“Ini mencederai semangat persatuan di tubuh PWI. Padahal kita ketahui bersama, saat ini tengah berjalan proses rekonsiliasi. Bahkan, sudah ada kesepakatan tentang pelaksanaan ‘Kongres Persatuan’ tanggal 30 Agustus nanti. SC dan OC juga sudah dibentuk dan sudah bekerja mempersiapkan pelaksanaan kongres. Seharusnya, semua pihak menahan diri untuk tidak melakukan manuver-manuver yang malah memperkeruh suasana,” tegasnya.
Oleh karena itu, ia menghimbau agar Pemkab Indramayu melakukan kajian ulang terhadap kebijakan yang telah dikeluarkan. Sehingga, tidak menimbulkan kegaduhan dan memantik dampak yang lebih luas antara pemerintah dan pers di daerah. “Sebaiknya dibuka ruang dialog terlebih dahulu. Itu lebih elok dan elegan,” tutupnya.
Ketua PWI Majalengka, Pai Supardi, menyebut tindakan Pemkab Indramayu sebagai bentuk arogansi kekuasaan. Ia mengingatkan, pers bukan ancaman, melainkan mitra strategis dalam pembangunan dan pengawasan publik.
“Kalau wartawan diperlakukan seperti ini, maka ini bisa dibaca sebagai upaya membungkam suara kritis masyarakat lewat jalur birokrasi,” tegas Pai.
Ketua PWI Kuningan, Nunung Khazanah, menyampaikan, tindakan sepihak seperti ini akan menjadi preseden buruk. Ia mengkhawatirkan dampak terhadap hubungan antara pemerintah daerah dan organisasi sosial-profesional.
“Kalau ini dibiarkan, ke depan semua kepala daerah bisa seenaknya mengusir organisasi wartawan hanya karena kritik. Padahal, keberadaan wartawan justru memperkuat transparansi pemerintahan,” ujarnya.
Sembrono dan Ugal-ugalan
Sorotan utama juga datang dari Ketua PWI Kota Cirebon, Muhamad Alif Santosa. Ia tidak habis pikir, Pemkab Indramayu begitu ceroboh dengan caranya yang meminta pengurus PWI Indramayu hasil konferda, meninggalkan gedung Graha Pers. “Aneh, dan sulit diterima dengan akal sehat. Logika apa yang dipakai, pembenaran apa yang akan dijadikan tameng,” tuturnya.
Menurut Alif, meminta pengurus PWI Indramayu meninggalkan gedung Graha Pers, adalah cara sembrono dan ugal-ugalan yang lahir dari sesat pikir. Ia sangat heran, apa yang melatarbelakangi Pemkab Indramayu sehingga begitu semangat meminta pengurus PWI Indramayu di bawah nakhoda Dedi Mushasi agar meninggalkan gedung Graha Pers. Padahal, mereka adalah wartawan-wartawan senior, terverifikasi dewan pers, mengantongi sertifikasi uji kompetensi dan bekerja di kantor resmi yang berbadan hukum PT.
“Kami menyayangkan Pemkab Indramayu yang tidak membuka ruang dialog. Keputusan terkait organisasi pers seharusnya dibicarakan bersama,” katanya.
Sementara itu, Ketua PWI Kabupaten Cirebon, Mamat Rahmat, menggarisbawahi potensi motif tersembunyi dari pengusiran ini, apalagi jika dikaitkan dengan dinamika politik lokal pasca-Pilkada. Ia mengingatkan bahwa kemerdekaan pers tidak bisa ditawar hanya karena perbedaan sikap politik.
“Kalau ini bagian dari implikasi politik pasca pilkada lalu, itu berbahaya. Karena ini bukan sekadar soal tempat, ini soal bagaimana pemerintah memperlakukan ruang-ruang publik untuk pers,” ungkapnya.
Mamat juga menegaskan bahwa dalam sistem demokrasi, justru seharusnya ruang-ruang bagi pers diperluas, bukan dikerdilkan.
Koordinator Wilayah PWI Ciayumajakuning, Jejep Falahul Alam, menyatakan, tindakan Pemkab Indramayu berpotensi mengebiri salah satu fungsi penting dalam sistem demokrasi, kontrol sosial oleh media. Ia meminta surat pengusiran dicabut dan solusi alternatif segera dibicarakan.
“Kami minta pemkab tidak main sepihak. Jika memang gedung dibutuhkan untuk keperluan lain, maka seharusnya ada solusi pengganti yang layak dan manusiawi,” tegasnya.
Lebih jauh, Jejep mengingatkan bahwa wartawan juga warga negara yang memiliki hak setara dalam menggunakan fasilitas negara, apalagi untuk tugas jurnalistik, yang jelas memiliki kontribusi terhadap masyarakat.
“Jangan lupakan bahwa wartawan juga rakyat Indramayu. Mereka bayar pajak. Mereka berhak dapat ruang, bukan diusir hanya karena dianggap tidak nyaman,” pungkasnya.(Mail)