Opini

Bijak Bermedia: Bekal Penting Anak dan Remaja di Era Digital

Bijak, Bermedia, Bekal, Penting, Anak , Remaja , Era Digital
Oleh: Asep Firmansyah, M.Pd.
Dosen FDK UIN Walisongo Semarang

Di tengah derasnya arus digitalisasi, kehidupan anak-anak dan remaja hari ini tak lagi bisa dipisahkan dari dunia maya. Media sosial, permainan daring, aplikasi berbasis hiburan, hingga platform komunikasi virtual telah menjadi bagian integral dari keseharian mereka. Gadget bukan lagi sekadar alat bantu, melainkan ruang aktualisasi diri yang aktif mereka huni setiap harinya.
Fenomena ini tentu tidak bisa dihindari. Berdasarkan laporan dari We Are Social dan Hootsuite (2024), rata-rata anak dan remaja di Indonesia menghabiskan lebih dari 5 jam sehari di depan layar gadget, baik untuk mengakses media sosial, menonton video, maupun bermain gim daring. Lebih dari 80% dari mereka sudah memiliki akun media sosial pribadi, bahkan sejak usia di bawah 13 tahun, yang sejatinya masih melanggar batas usia minimum sejumlah platform digital.
Di satu sisi, perkembangan teknologi ini membuka berbagai peluang. Anak dan remaja bisa belajar lebih cepat, menjalin relasi sosial lintas daerah, serta mengembangkan kreativitas dan bakat melalui platform seperti YouTube, TikTok, atau Canva. Akan tetapi, di sisi lain, minimnya pemahaman kritis dalam menggunakan media digital telah menimbulkan berbagai persoalan serius, dari penyebaran hoaks, paparan konten negatif, perundungan siber, hingga ancaman kehilangan jati diri.
Ruang digital yang diakses oleh anak-anak dan remaja saat ini bukanlah ruang yang sepenuhnya aman. Tanpa bekal literasi media yang memadai, anak-anak dengan mudah bisa terseret dalam pusaran informasi yang menyesatkan. Mereka bisa terpapar berita palsu, konten pornografi, ujaran kebencian, konten kekerasan, bahkan terjebak dalam lingkungan digital yang mendukung perjudian dan konsumerisme berlebihan.
Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2023 mencatat, sekitar 38% anak usia sekolah di Indonesia pernah mengalami perundungan siber atau cyberbullying. Sebanyak 62% remaja mengaku pernah melihat atau menerima konten kekerasan dan pornografi melalui media sosial, sementara 45% di antaranya menyatakan kesulitan untuk membatasi waktu penggunaan gadget karena merasa “kecanduan” dan takut tertinggal dari teman-temannya. Kecanduan gadget ini bukan hanya memengaruhi kondisi fisik dan emosional anak, tetapi juga berdampak pada prestasi belajar, waktu tidur, kegiatan spiritual, hingga hubungan sosial di dunia nyata. Banyak remaja mengaku mulai kehilangan minat untuk bersosialisasi secara langsung, lebih memilih “bermain” di dunia digital meski sedang berada di tengah keluarga atau teman. Perlahan tapi pasti, ini bisa mengarah pada krisis identitas dan isolasi sosial yang tak terlihat.
Ironisnya, di tengah kompleksitas dunia digital yang dihadapi anak-anak, banyak orang tua dan guru justru belum sepenuhnya siap mendampingi. Tidak sedikit orang tua yang justru ikut kecanduan gawai, lebih sibuk dengan ponsel mereka daripada mendampingi anak dalam menggunakan media secara sehat. Guru pun, meskipun paham pentingnya literasi digital, sering kali terbatas oleh keterampilan teknologi yang belum memadai.
Sebagian orang tua bahkan masih terjebak pada pola pikir kuno: membatasi atau melarang anak menggunakan gadget tanpa memberikan alternatif atau penjelasan yang mendidik. Padahal, di era ini, bukan larangan yang dibutuhkan, melainkan bimbingan. Anak-anak perlu diajak berdialog, dijelaskan risiko dan manfaat media digital, serta diajarkan cara memilah informasi, menyikapi komentar negatif, dan menjaga etika dalam berkomunikasi secara daring.
Di sinilah pentingnya membekali anak dan remaja dengan dua sikap utama dalam berinteraksi di dunia digital: cerdas dan bijak bermedia. Cerdas bermedia artinya anak memiliki kemampuan berpikir kritis terhadap informasi yang diterimanya. Mereka tahu bahwa tidak semua yang ada di internet itu benar. Mereka bisa membedakan berita hoaks dari informasi valid, memahami maksud tersembunyi dari konten promosi, serta mengenali bahaya manipulasi digital yang bisa menjerumuskan mereka ke arah yang salah. Ini termasuk kemampuan untuk mengecek sumber informasi, memahami konteks, dan tidak langsung menyebarkan berita tanpa verifikasi. Sementara bijak bermedia mengacu pada perilaku etis dan bertanggung jawab saat menggunakan media digital. Anak yang bijak tidak akan mudah terpancing emosi oleh komentar negatif. Ia tidak ikut menyebar kebencian atau mencaci orang lain hanya karena berbeda pendapat. Ia tahu bahwa di balik setiap akun media sosial, ada manusia nyata yang memiliki perasaan dan hak untuk dihormati. Kedua sikap ini perlu ditanamkan sejak dini dan terus diasah seiring bertambahnya usia. Orang tua dan guru memegang peran penting sebagai pendamping, bukan sekadar pengawas. Mereka perlu hadir secara aktif di dunia digital anak—bukan untuk mengontrol secara ketat, tetapi untuk memberi arah, contoh, dan ruang diskusi.
Pendidikan literasi digital tidak bisa dilakukan secara parsial. Perlu ada ekosistem yang mendukung, mulai dari rumah, sekolah, komunitas, hingga kebijakan pemerintah. Di tingkat sekolah, misalnya, literasi digital bisa dimasukkan ke dalam kurikulum sebagai bagian dari pendidikan karakter dan keterampilan hidup abad ke-21. Di rumah, orang tua bisa mulai menerapkan waktu layar yang seimbang dan mengajak anak berdiskusi tentang apa yang mereka lihat dan pelajari dari internet. Pemerintah juga memiliki tanggung jawab besar dalam menyediakan regulasi yang melindungi anak dari konten berbahaya, sekaligus mendorong industri digital agar lebih ramah anak. Kampanye publik, pelatihan guru, penyediaan modul edukatif, hingga kerja sama dengan platform digital bisa menjadi bagian dari strategi nasional membangun generasi yang tangguh di era informasi.
Pada akhirnya, kita tidak bisa memisahkan anak-anak dari dunia digital. Tetapi kita bisa mengajarkan mereka untuk menjadi pengguna media yang kritis, etis, dan bertanggung jawab. Generasi yang tidak hanya mampu berselancar di dunia maya, tetapi juga memiliki pijakan nilai yang kuat di dunia nyata. Cerdas dan bijak bermedia bukan hanya keterampilan teknis, tapi bagian dari pembentukan karakter dan jati diri. Maka, jika kita peduli pada masa depan anak-anak kita, saatnya mulai hari ini kita bangun budaya digital yang sehat — mulai dari rumah kita sendiri.***

Related Articles

Back to top button