Opini

Tinta Tua untuk Singgasana Muda

Oleh: Andrian Saba
Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UGJ Cirebon

Kiprah demokrasi kita senantiasa diwarnai dinamika yang tak terduga, melukiskan fragmen-fragmen potret kebangsaan yang kompleks. Dalam episode terbaru lakon politik nasional di tahun ini, kita disuguhkan sebuah pemandangan yang tak biasa dan sarat makna; sekelompok pensiunan atau purnawirawan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang tergabung dalam Forum Purnawirawan TNI, mengirimkan surat kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), menuntut pemakzulan terhadap Gibran Rakabuming Raka, sosok muda yang kini menduduki singgasana Wakil Presiden RI. Tentu saja, peristiwa ini bukan sekadar goncangan ringan. Ini menjadi ujian sejati bagi kedalaman konstitusi dan kematangan demokrasi kita.
Kehadiran surat tersebut, yang mengalir dari markas-markas tua yang pernah menjadi jantung pertahanan negara, sontak menarik perhatian publik. Sebuah gugatan yang dilayangkan oleh mereka yang pernah bersumpah setia pada konstitusi dan negara, tentu memiliki resonansi yang berbeda. Ini bukan suara dari jalanan, melainkan suara yang lahir dari pengalaman panjang mengabdi, dari pengamatan yang seksama terhadap jalannya roda pemerintahan, dan dari kekhawatiran yang mendalam akan arah perjalanan bangsa.
Purnawirawan TNI, dengan rekam jejak dan pengalaman yang tak terbantahkan, seringkali dianggap sebagai penjaga moral dan etika dalam berbangsa dan bernegara. Mereka merupakan saksi hidup berbagai pasang surut sejarah bangsa Indonesia, dari masa perjuangan kemerdekaan hingga era reformasi.
Ketika mereka memutuskan untuk menyuarakan aspirasinya, apalagi dalam isu sepenting pemakzulan seorang pejabat negara, jelas sudah ini sebuah sinyal yang tak boleh diabaikan. Sebuah tinta tua yang berisi kegelisahan, atau mungkin kemuakan terhadap praktik-praktik yang mereka nilai menyimpang dari koridor demokrasi dan keadilan.
Namun, di balik kegelisahan dan aspirasi yang disuarakan, terbentang pertanyaan krusial mengenai dasar dan substansi tuntutan pemakzulan tersebut. Apa sesungguhnya yang menjadi pangkal gugatan para purnawirawan? Apakah ada pelanggaran konstitusi yang fundamental, ataukah ini lebih tersusun atas ekspresi kekecewaan politik yang mendalam? Analisis terhadap surat tersebut, jika dibuka ke publik secara transparan, akan menjadi kunci untuk memahami motif dan argumentasi yang melandasi tuntutan ini.
Hukum Memandang Peristiwa Ini, Antara Konstitusi dan Realitas Politik.
Dari perspektif hukum tata negara, pemakzulan atau impeachment ialah instrumen serius yang diatur secara ketat dalam konstitusi. Pasal 7A dan 7B Undang-Undang Dasar 1945 secara jelas mengatur mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Prosesnya tidaklah sederhana, menuntut prasyarat dan prosedur yang berlapis, dari usulan DPR, pemeriksaan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), hingga putusan akhir DPR.
Penting untuk digarisbawahi, pemakzulan hanya dapat dilakukan jika Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berat, seperti pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela. Selain itu, pemakzulan juga bisa terjadi jika terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Celakanya, kalimat/ frasa seperti “pelanggaran hukum berat” dan “perbuatan tercela” ini seringkali menjadi medan interpretasi yang luas dan perdebatan sengit.
Dalam konteks kasus Gibran, pertanyaan mendasarnya, yakni apakah ada bukti kuat dan meyakinkan yang secara sah dan konstitusional dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum berat atau perbuatan tercela yang menjadi dasar pemakzulan? Tuntutan para purnawirawan harus bersandar pada landasan hukum yang kokoh, bukan sekadar asumsi atau kekecewaan politik. Jika dasarnya mengarah pada kontroversi seputar proses pencalonan Gibran yang melibatkan putusan MK, maka perlu diperjelas apakah putusan tersebut, atau implikasinya, secara langsung dapat dimakzulkan berdasarkan delik konstitusional yang ada.
Proses hukum untuk pemakzulan tidak mengenal sentimen atau tekanan publik semata. Mekanisme formal ini menuntut pembuktian yang cermat dan berjenjang. DPR, sebagai inisiator usulan pemakzulan, harus memiliki setidaknya dukungan 2/3 anggota yang hadir dalam sidang paripurna. Usulan ini kemudian akan diteruskan ke MK untuk diperiksa dan diputus. MK akan memeriksa ada atau tidaknya dugaan pelanggaran yang dimaksud. Jika MK memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum, barulah DPR dapat menyelenggarakan sidang paripurna untuk memutuskan pemberhentian.
Apakah Gibran Bisa Dimakzulkan? Sebuah Analisis Ringkas
Menjawab pertanyaan apakah Gibran bisa dimakzulkan, tidaklah sesederhana “ya” atau “tidak”. Jawabannya tergantung pada serangkaian faktor yang kompleks, mulai dari substansi tuduhan, kekuatan bukti, hingga dinamika politik yang sedang berlangsung.
Pertama, mengenai substansi tuduhan. Jika tuntutan pemakzulan bersumber dari kontroversi proses pencalonannya, yaitu putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, maka perlu ditinjau apakah putusan tersebut, dan keterlibatan Gibran di dalamnya, dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum berat yang mendasari pemakzulan. Apakah ada unsur pengkhianatan, korupsi, atau tindak pidana berat lainnya yang terkait langsung dengan putusan tersebut dan melibatkan Gibran sebagai Wakil Presiden?
Sejauh ini, secara hukum formal, putusan MK bersifat final dan mengikat. Meskipun banyak pihak mempertanyakan etika dan proses di balik putusan tersebut, secara legal, putusan itu telah membuka jalan bagi Gibran untuk maju sebagai calon Wakil Presiden. Pertanyaannya kemudian, apakah etika yang dipertanyakan tersebut dapat diterjemahkan menjadi delik hukum yang memenuhi kriteria pemakzulan? Ini sudah masuk ke area abu-abu yang memerlukan interpretasi hukum yang cermat dan hati-hati.
Kedua, kekuatan bukti. Untuk mengajukan usulan pemakzulan, diperlukan bukti yang kuat dan meyakinkan. Bukan sekadar dugaan atau opini. Bukti-bukti tersebut harus mampu menunjukkan secara jelas dan terang bahwa Gibran telah melakukan pelanggaran hukum berat atau perbuatan tercela yang diatur konstitusi. Tanpa bukti yang solid, setiap usulan pemakzulan akan kesulitan untuk melewati tahap pembahasan di DPR, apalagi diuji di MK.
Ketiga, dinamika politik. Proses pemakzulan itu proses politik yang sangat kental. Meskipun diatur secara hukum, realitas politik seringkali memainkan peran dominan. Dukungan di DPR, posisi partai politik, dan opini publik akan sangat mempengaruhi kelangsungan proses ini. Jika tidak ada dukungan politik yang memadai di parlemen, usulan pemakzulan akan sulit digulirkan, terlepas dari substansi hukumnya. Kekuatan koalisi pemerintah yang solid, misalnya, dapat menjadi tembok tebal yang sulit ditembus.
Kemudian, bagaimana peran DPR dalam menanggapi surat dari purnawirawan ini? DPR memiliki kewajiban untuk menindaklanjuti setiap aspirasi masyarakat, termasuk surat ini. Mereka dapat melakukan kajian, mengundang pihak-pihak terkait, dan mempertimbangkan apakah ada dasar untuk memulai penyelidikan lebih lanjut. Akan tetapi, keputusan untuk menginisiasi proses pemakzulan tetap berada di tangan DPR secara kolektif, melalui mekanisme dan persyaratan yang telah ditetapkan konstitusi.
Menjaga Demokrasi, Menguji Kematangan Berbangsa
Surat pemakzulan dari Forum Purnawirawan TNI kepada DPR menjadi sebuah cerminan dari kebebasan berekspresi dan hak warga negara untuk menyampaikan aspirasinya, hingga dalam isu-isu krusial. Ini gambaran bagian inheren dari sistem demokrasi yang sehat, di mana setiap elemen masyarakat memiliki ruang untuk bersuara dan mengontrol jalannya pemerintahan. Namun, adalah tugas kita bersama, khususnya para pemangku kepentingan di lembaga legislatif dan yudikatif, untuk meresponsnya dengan arif, berdasarkan koridor hukum dan konstitusi yang berlaku.
Peristiwa ini sekaligus menjadi ujian bagi kematangan demokrasi kita. Apakah kita mampu menanggapi aspirasi publik dengan serius, tetapi tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip hukum? Apakah kita mampu memisahkan antara sentimen politik dan pembuktian hukum?
Jauh dari sekadar alat politik, proses pemakzulan menjadi instrumen hukum yang serius. Penggunaannya harus hati-hati, dan hanya jika terdapat pelanggaran konstitusional yang mendasar.
Pada akhirnya, masa depan demokrasi kita akan ditentukan oleh seberapa teguh kita memegang prinsip-prinsip konstitusi, seberapa jernih kita membedakan antara opini dan fakta hukum, dan seberapa besar komitmen kita untuk membangun pemerintahan yang bersih, berintegritas, dan akuntabel.
Surat dari para purnawirawan berfungsi sebagai pengingat bahwa suara-suara dari pengalaman panjang dan dedikasi pada bangsa senantiasa perlu didengar, dianalisis, dan dijadikan bahan renungan, demi kelangsungan perjalanan demokrasi Indonesia yang lebih bermartabat.***

Related Articles

Back to top button