Jangan Permainkan Aturan

PROSES pengesahan Perubahan APBD Kabupaten Cirebon Tahun Anggaran 2025 yang dilakukan dalam Rapat Paripurna DPRD kini menjadi sorotan tajam, bukan semata karena substansi anggarannya, tetapi karena carut-marut prosedural yang menyertainya.
Ketika seorang anggota dewan dari partai mayoritas sendiri, Lukman Hakim dari Fraksi PDI Perjuangan, secara terbuka menyebut paripurna itu tidak sah dan cacat prosedural, ini bukan lagi soal dinamika biasa, melainkan pertanda krisis kepercayaan terhadap mekanisme internal lembaga legislatif.
Lukman menilai bahwa pengesahan Raperda dilakukan secara tergesa, hanya dalam dua hari, tanpa pendalaman dan konsultasi dengan komisi-komisi terkait sebagaimana diamanatkan Peraturan DPRD Nomor 1 tahun 2024.
Jika benar, ini bukan pelanggaran kecil. Ini adalah pengabaian terang-terangan terhadap aturan yang dibuat oleh DPRD itu sendiri, suatu bentuk self-inflicted injury yang merusak kredibilitas lembaga.
Penjelasan Ketua DPRD bahwa semua ini hanya “miskomunikasi” terasa terlalu ringan, bahkan cenderung menutupi persoalan substantif.
Ketika konsultasi formal antaralat kelengkapan dewan diabaikan, maka yang terganggu bukan hanya proses, tapi juga legitimasi keputusan yang dihasilkan. Parlemen bukan mesin ketok palu, melainkan ruang deliberasi, forum tempat suara-suara kritis dan kehati-hatian anggaran harus didahulukan.
Pemerintahan yang baik tidak hanya diukur dari kecepatan menyusun anggaran, tetapi dari kualitas proses dan akuntabilitas yang menyertainya. Jika DPRD tergoda untuk memangkas prosedur atas nama efisiensi atau kompromi politik sesaat, maka sesungguhnya mereka sedang mempertaruhkan kepercayaan publik yang jauh lebih mahal.
Anggaran adalah denyut nadi pembangunan daerah. Membahas dan menyahkannya dengan serampangan ibarat mengatur detak jantung rakyat tanpa stetoskop. Celakanya, jika praktik semacam ini terus terjadi, maka publik akan semakin apatis terhadap proses demokrasi lokal yang semestinya menjadi milik bersama.
Kritik yang disampaikan Lukman, terlepas dari latar politiknya, sejatinya patut dihargai sebagai bentuk keberanian menjaga marwah parlemen. Justru lembaga DPRD harus membuka diri untuk mengevaluasi dan menegakkan kembali disiplin prosedur, bukan menutupnya dengan alasan harmonisasi semu.
Sudah saatnya DPRD Kabupaten Cirebon membuktikan bahwa mereka bukan hanya simbol demokrasi, tapi juga penjaga konstitusi lokal yang mampu menjunjung tata tertib, akuntabilitas dan etika kelembagaan.
Jangan sampai anggaran daerah dibajak oleh kepentingan kelompok yang lebih mengutamakan kalkulasi kuasa dibanding integritas proses. Jika aturan bisa dilanggar semudah ini, maka untuk siapa sebenarnya anggaran disusun? ***