Ragam

Transparansi Pembahasan APBD

SIDANG paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Cirebon yang berlangsung pada Jumat, 11 Juli 2025, seharusnya menjadi momentum penting untuk memastikan tata kelola anggaran berjalan transparan, demokratis, dan akuntabel. Namun, apa yang tersaji di ruang sidang justru mencerminkan krisis kepercayaan di internal lembaga legislatif terhadap proses pengambilan keputusan yang seharusnya mengedepankan musyawarah, bukan dominasi.

Perdebatan panas hingga skorsing sidang, dipicu oleh dugaan pemaksaan agenda pengesahan Raperda APBD Perubahan 2025, mengindikasikan adanya ketidaksepakatan mendasar terkait prosedur. Beberapa anggota dewan, seperti Lukman Hakim (PDIP) dan Heriyanto (Demokrat), mengkritik keras absennya konsultasi dan pembahasan komisi sebagai bagian dari tahapan pengesahan anggaran.

Kritik ini bukan sekadar soal teknis, melainkan menyangkut hak dan peran konstitusional seluruh anggota dewan dalam fungsi penganggaran (budgeting). Adalah hal yang sah dan bahkan sehat jika dalam tubuh legislatif terdapat perbedaan pendapat.

Namun yang menjadi persoalan utama adalah saat perbedaan tersebut tak diberi ruang dialog yang layak dan prosedural. Percepatan agenda dengan dalih telah dijadwalkan Banmus (Badan Musyawarah), tidak serta-merta dapat menutup mata dari prinsip keterbukaan dan partisipasi kolektif dalam pembahasan anggaran publik.

APBD bukan sekadar dokumen formal. Ia adalah peta jalan pembangunan daerah, menyangkut hajat hidup jutaan masyarakat. Karena itu, pembahasannya tidak boleh hanya menjadi urusan segelintir pihak, seberapapun strategis posisinya dalam Badan Anggaran atau pimpinan DPRD. Proses harus tetap menyertakan seluruh komisi dan anggota dewan yang memiliki mandat mewakili kepentingan konstituennya.

Bahwa, pada akhirnya Raperda Perubahan APBD disahkan, tentu patut diapresiasi sebagai bentuk kelanjutan kinerja pemerintahan. Namun, dinamika yang terjadi sebelum pengesahan tak boleh diabaikan. Justru di situlah DPRD Kabupaten Cirebon dihadapkan pada keharusan untuk melakukan evaluasi mendalam atas pola komunikasi, mekanisme musyawarah, dan transparansi prosedural yang berjalan selama ini.

Kita tidak bisa membiarkan proses politik menyusut menjadi sekadar formalitas administrasi. Demokrasi lokal perlu ditopang oleh etika deliberatif, di mana setiap suara anggota dewan dihargai, setiap interupsi ditanggapi secara substantif, bukan dimarginalkan atau dibatasi waktunya.

Jika tidak, publik akan semakin kehilangan kepercayaan terhadap parlemen daerah sebagai lembaga wakil rakyat. Dan ketika kepercayaan publik surut, maka legitimasi keputusan yang dihasilkan, sekalipun sah secara hukum, akan selalu dipertanyakan secara moral dan sosial.

Sudah saatnya, DPRD Kabupaten Cirebon membenahi sistem internal dan membangun kembali budaya musyawarah yang inklusif, transparan, dan bertanggung jawab. Perbedaan tidak perlu dipadamkan. Justru dari perbedaan itulah lahir keputusan yang matang dan berkeadilan.***

Related Articles

Back to top button