Ragam

Langgar Alit Keraton Kasepuhan Kota Cirebon, Merawat Warisan Leluhur Lewat Bubur Suro

SORE itu, suasana di Langgar Alit Keraton Kasepuhan Kota Cirebon terasa berbeda. Semilir angin membawa aroma rempah khas dari bubur suro yang mengepul hangat. Senin (7/7/2025), keluarga besar Keraton bersama warga sekitar berkumpul dalam satu kehikmatan yang sudah terjalin lintas generasi—Tradisi Suroan 10 Muharram.

Di bawah langit bulan Suro, lantunan doa dan tawasul dipimpin KH Jumhur, Penghulu Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Suaranya tenang namun menggetarkan hati, mengajak semua yang hadir memanjatkan harap, keselamatan, perlindungan, dan rasa syukur atas nikmat hidup yang terus mengalir.

“Tradisi Suroan ini sudah berjalan dari generasi ke generasi,” ucap KH Jumhur. “Kita syukuran, sedekah, sekaligus mendoakan orang-orang terdahulu. Ini bentuk hormat dan cinta kepada leluhur kita.”

Bubur suro yang disajikan bukan sekadar makanan. Di dalamnya terkandung makna dan simbol—tempe goreng sebagai kerendahan hati, kacang tanah sebagai pengingat akar kehidupan, daun kemangi yang melambangkan ketenangan, hingga bumbu rempah yang mewakili warna-warni kehidupan. Semua ini kemudian dibagikan kepada siapa pun yang hadir, tanpa memandang latar belakang.

Bagi masyarakat sekitar Keraton, bubur suro bukan hanya soal rasa, tapi tentang rasa kebersamaan. Ini adalah ritual yang menyatukan, membaurkan doa-doa dalam semangkuk hidangan warisan.

“Tradisi Suroan sudah diwariskan secara turun-temurun. Selain pelestarian budaya, ini juga momen penting untuk mengenang dan mendoakan para leluhur,” tambah KH Jumhur.

Di tengah perubahan zaman, tradisi ini tetap hidup. Diam-diam, bubur suro menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini—mengikat nilai, merawat identitas, dan membumikan makna syukur dalam kehidupan sehari-hari.(Jak)

Related Articles

Back to top button