Pacu Jalur: Ketika Kearifan Lokal Bertemu Dunia Digital

Andrian Saba
Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UGJ Cirebon
Pacu Jalur, hajatan akbar kebanggaan masyarakat Kuantan Singingi, Riau, terus memikat hati. Bukan sekadar lomba dayung perahu panjang, tradisi ini menyimpan nilai gotong royong dan ketangguhan yang diwariskan turun-temurun. Tradisi ini menjadi roh budaya yang kini menembus batas-batas wilayah, mencuri perhatian dunia lewat sentuhan teknologi masa kini.
Dahulu, sebaran informasi mengenai Pacu Jalur terbatas di kawasan Sungai Kuantan, dengan narasi perjuangan atlet jalur, antusiasme penonton, serta bunyi tabuhan tradisional yang tersebar melalui komunikasi lisan. Kondisi tersebut telah mengalami transformasi signifikan seiring perkembangan teknologi dan media massa.
Kamera-kamera ponsel pintar berjejer di tangan penonton, merekam setiap detik ketegangan dan euforia. Drone terbang melayang di atas sungai, menyajikan perspektif udara yang memukau, membuka mata dunia pada keindahan dan kemegahan tradisi ini. Gambar dan video beresolusi tinggi itu lantas diunggah, dibagikan, dan menjadi viral dalam hitungan menit.
Media sosial menjadi corong utama. Instagram, TikTok, Facebook, dan YouTube menjadi etalase digital bagi Pacu Jalur. Para pegiat budaya, komunitas, hingga wisatawan berlomba-lomba membagikan konten. Tagar-tagar terkait Pacu Jalur memuncaki daftar tren, menarik perhatian jutaan pasang mata dari berbagai penjuru dunia.
Fenomena ini bukan sekadar kebetulan. Ada upaya sadar dari berbagai pihak untuk memanfaatkan teknologi demi melestarikan dan mempromosikan tradisi. Pemerintah daerah hingga masyarakat setempat bergerak aktif. Mereka menyadari bahwa di era serbadigital ini, absen dari ranah maya sama dengan terkubur dalam keheningan.
Konten-konten kreatif pun bermunculan. Tidak hanya video dokumentasi lomba, tetapi juga wawancara dengan para atlet, kisah-kisah di balik layar pembuatan jalur, liputan tentang persiapan ritual adat sebelum perhelatan dimulai. Tak berhenti di situ, adanya sosok anak yang Bernama Rayyan Arkan Dikha, atau biasa dipanggil Dika menjadi viral melalui tren Aura Farming di TikTok. Anak berusia 9 tahun ini berasal dari Kuantan Singingi (Kuansing), Provinsi Riau, dan berperan sebagai penari dalam tradisi olahraga mendayung Pacu Jalur, mewakili tim Tuah Koghi. Narasi-narasi ini memperkaya pemahaman publik, menunjukkan bahwa Pacu Jalur adalah warisan yang kompleks dan kaya makna.
Tren Aura Farming Dika memperoleh perhatian global setelah akun resmi klub sepak bola asal Prancis, Paris Saint-Germain (PSG), mengunggah video perayaan gol yang menampilkan para pemainnya menirukan gerakan khas Dika. Selain PSG, maskot klub sepak bola Italia, AC Milan, juga turut berpartisipasi dalam tren ini. Dalam pendekatan yang bersifat humoris, mereka menulis, “Aura Farming 1899% Accuracy,” sembari memperagakan gerakan tari yang serupa.
Perlu diketahui bahwa Aura Farming merupakan istilah slang (bahasa gaul) yang berasal dari komunitas permainan daring (gamer). Istilah ini memiliki makna seseorang yang mampu menampilkan kesan menarik atau keren tanpa menunjukkan usaha yang berlebihan untuk mencapainya.
Sementara itu, teknologi juga mempermudah akses informasi. Wisatawan yang ingin menyaksikan langsung tak perlu lagi bergantung pada informasi lisan. Peta digital menunjukkan lokasi, situs web menyediakan jadwal lengkap, dan aplikasi membantu pemesanan akomodasi. Semua serba mudah, serba cepat, membuka gerbang Kuantan Singingi bagi dunia.
Dampak ekonominya pun membuka peluang yang lebih menguntungkan. Peningkatan kunjungan wisatawan, baik domestik maupun mancanegara, memicu roda perekonomian lokal. Pedagang UMKM di sekitar lokasi acara meraih omzet lebih tinggi. Penginapan penuh, restoran ramai, dan produk-produk kerajinan tangan laku keras. Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Riau, Roni Rakhmat pun menyatakan bahwa tradisi Pacu Jalur semakin mempertegas perannya sebagai daya tarik utama dalam sektor pariwisata berbasis budaya di wilayah Riau.Ini adalah efek domino positif dari viralitas digital.
Lebih dari itu, kecanggihan teknologi telah memperkuat ikatan emosional terhadap tradisi. Generasi muda, yang mungkin dulu menganggap Pacu Jalur sebagai acara orang tua, kini melihatnya sebagai sesuatu yang keren dan relevan. Mereka bangga membagikan konten Pacu Jalur, menjadi duta digital bagi budaya mereka sendiri.
Di sisi lain, tentu ada tantangan yang menyertai di kala Pacu Jalur mulai terkenal. Banjirnya informasi di ranah digital juga berarti perlunya filterisasi. Pengelolaan citra di dunia maya juga menjadi krusial. Satu kesalahan kecil dalam konten yang diunggah bisa saja menjadi bumerang, mencoreng nama baik tradisi. Oleh karena itu, kolaborasi antara pegiat budaya, pemerintah, dan pembuat konten profesional sangat diperlukan.
Digitalisasi juga menuntut Pacu Jalur harus mampu beradaptasi dengan perubahan tren. Konten yang menarik hari ini mungkin usang besok. Kreativitas dan inovasi tiada henti menjadi kunci agar Pacu Jalur tetap relevan dan dicari di tengah hiruk pikuk informasi digital.
Penting juga untuk diingat bahwa teknologi hanyalah alat. Jiwa dan esensi Pacu Jalur tetaplah pada kearifan lokalnya, yakni semangat gotong royong, kekuatan fisik yang luar biasa, penghormatan terhadap alam, dan nilai-nilai persatuan yang diwariskan leluhur.
Teknologi tidak menggantikan peran tradisi, tetapi memperluas cakupannya secara signifikan. Berfungsi sebagai media amplifikasi, teknologi menyebarluaskan nilai-nilai lokal ke tingkat global. Keberadaannya menjadi penghubung antara masa silam dan masa depan, sekaligus menjaga kesinambungan identitas budaya.
Maka, ketika kita menyaksikan Pacu Jalur hari ini, kita tidak hanya melihat perahu-perahu melaju kencang di sungai. Kita melihat sebuah simfoni harmoni antara gema masa lampau dan gemuruh modernitas. Kita melihat sebuah keajaiban di mana tradisi kuno menemukan cara untuk tetap relevan di tengah arus perubahan zaman.
Ini menjadi bukti nyata bahwa tradisi tidak harus beku dalam masa lalu. Dengan sentuhan yang tepat, dengan pemanfaatan teknologi yang cerdas dan bijaksana, kearifan lokal bisa terbang tinggi, menembus cakrawala global, dan menginspirasi banyak orang.
Secara keseluruhan, Tradisi Pacu Jalur di Kuantan Singingi merepresentasikan bentuk kolaborasi yang harmonis antara kearifan lokal dan kemajuan teknologi. Dalam konteks modernisasi, tradisi ini tidak hanya terjaga kelestariannya, tetapi juga mengalami ekspansi jangkauan secara internasional. Hal ini membuktikan bahwa akar budaya yang kuat mampu berkembang dengan baik dalam era digital dan dapat menjadi model inspiratif dalam upaya pelestarian warisan budaya nasional lainnya.***