Ragam

Fenomena Sound Horeg, Gus Muhid: Keluarkan Fatwa Haram

Penulis: Andrian Saba

Fenomena Sound Horeg, dengan tata suara bertenaga besar dan volume mengguncang, menjadi ironi sosial yang menyakitkan. Bagi sebagian kecil orang, momen ini jadi ledakan euforia yang melegakan.

KH. Muhibbul Aman Aly (Gus Muhib) mengeluarkan fatwa haram terhadap Sound Horeg karena dampaknya yang lebih banyak membawa mudarat ketimbang manfaat

Related Articles

Sementara mayoritas warga yang terpaksa mendengar hanya bisa menanggung derita karena hak paling dasar untuk hidup tenang di rumah sendiri terusik habis-habisan. Lebih dari sekadar musik, situasi ini terasa seperti serangan suara tanpa kendali.

Menurut Kamus Bahasa Jawa – Indonesia (KBJI) keluaran Kemendikbud, istilah “horeg” berarti bergerak atau bergetar. Dalam jurnal berjudul “Jogja Horeg Proses Penciptaan Komposisi Berdasarkan Penerapan Improvisasi Tekstural Pada Gaya Musik Free Jazz” karya Harly Yoga Pradana, istilah tersebut berasal dari bahasa Jawa kuno yang mengandung arti gempa atau guncangan. Makna aslinya kini benar-benar terasa dalam bentuk getaran nyata yang justru menimbulkan kebisingan dan keresahan.

Penulis memandang Horeg sebagai potret pudarnya empati sosial. Segelintir orang bersuka ria sambil menutup mata pada dampak luas yang menyebar ke banyak kehidupan di sekelilingnya. Ruang publik terasa dijajah, bukan oleh tubuh, melainkan oleh kebisingan yang melumpuhkan keheningan.
Beberapa kalangan menyatakan Horeg sebagai bentuk ekspresi budaya dan hiburan rakyat. Padahal, konsep budaya tidak menoleransi kesenangan yang mengorbankan kenyamanan pihak lain. Nilai-nilai tradisi tidak mengandung praktik yang merugikan harmoni sosial. Argumen Sound Horeg sebagai pelipur lara masyarakat tidak berdiri di atas prinsip etis yang kokoh. Karena seyogianya budaya berperan menyatukan, memperkuat hubungan sosial, dan menjaga nilai kebersamaan. Kebisingan akibat Horeg memicu ketegangan sosial, mengganggu toleransi, dan menciptakan batas sosial antara kelompok penikmat dan kelompok terdampak.
Kontroversi Sound Horeg kian panas karena dua lembaga penting di Indonesia memiliki pandangan yang saling bertentangan. Satu pihak memberikan pengakuan dan dukungan, sementara pihak lain justru menolak keras hingga mengeluarkan fatwa haram.
Pada Selasa, 22 April 2025, Kementerian Hukum (Kemenkum) Jawa Timur mengapresiasi Sound Horeg dan menilainya pantas mendapat perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI).

Menurut pandangan mereka, Sound Horeg merupakan karya orisinal yang memadukan seni dan teknologi tata suara. Keputusan ini diyakini bisa menjadi pijakan hukum bagi para pelaku usaha dan memberi angin segar bagi industri kreatif.
Di sisi lain, suara berbeda datang dari kalangan ulama. KH. Muhibbul Aman Aly (Gus Muhib), Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatul Ulum Besuk, Pasuruan, baru saja mengeluarkan fatwa haram terhadap Sound Horeg. Fatwa ini dibahas dalam forum Bahtsul Masail, sebuah forum/ diskusi fikih di lingkungan pesantren NU yang digelar bersamaan dengan 1 Muharram 1447 H.
Menurut Gus Muhib, penggunaan Sound Horeg haram secara mutlak, baik menimbulkan gangguan maupun tidak. Ia menilai dampaknya lebih banyak membawa mudarat ketimbang manfaat. Pandangan tersebut mendapat dukungan dari KH Ma’ruf Khozin, Ketua Komisi Fatwa MUI Jawa Timur yang menyatakan siap mengkaji lebih dalam meski belum ada fatwa resmi dari MUI.
Pertentangan dua pandangan ini menyalakan suara sumbang dalam ruang publik. Satu pihak memberi pengakuan hukum, pihak lain memberi label haram demi menjaga maslahat. Keberadaan dua kutub ini menunjukkan kerumitan yang menuntut kebijaksanaan untuk diselami.
Sound Horeg merampas ruang tenang yang seharusnya dimiliki semua orang. Sound Horeg mengambil hak atas tubuh yang sehat, hak atas udara yang bersih, hak atas suasana yang damai. Hak-hak itu yang paling hakiki dalam hidup bersama, seakan lenyap di tengah riuh yang membelah keharmonisan nurani.
Jalan keluar dari dilema ini terletak pada kesadaran bersama yang ditanam melalui edukasi menyeluruh. Masyarakat perlu memahami dampak buruk kebisingan, dan para pelaku Sound Horeg perlu menyadari tanggung jawab sosial yang mereka emban. Kreativitas dan hiburan tetap bisa berkembang tanpa mengabaikan kenyamanan dan kesehatan warga sekitar.
Keberanian pemerintah daerah dalam mengambil keputusan tegas sangat dibutuhkan. Pengendalian kebisingan memerlukan aturan ketat, sanksi jelas, dan penegakan tanpa keberpihakan. Zona-zona hiburan bersuara keras sebaiknya diposisikan jauh dari ruang-ruang yang menuntut ketenangan, seperti kawasan padat penduduk, rumah sakit, dan rumah ibadah. Tindakan nyata ini tak lagi bisa ditunda.
Setiap acara yang melibatkan dentuman besar perlu diawasi secara ketat sejak izinnya diterbitkan. Pengendalian volume dan waktu penyelenggaraan harus menjadi bagian dari persyaratan mutlak. Bila ada pelanggaran, pencabutan izin dan proses hukum wajib ditegakkan. Peran warga menjadi penting, karena suara mereka mampu menjaga batas-batas kewajaran.
Pada akhirnya, isu Sound Horeg menjadi tantangan besar dalam membangun kehidupan sosial yang rukun dan manusiawi. Situasi ini menguji sejauh mana kita mampu menyeimbangkan kebebasan pribadi dengan kepentingan bersama, antara hiburan sekejap dan ketenteraman jangka panjang.
Kita harus mengembalikan inti dari hiburan yang sebenarnya. Hiburan memiliki makna luhur yang mestinya menjadi penghibur bagi semua, bukan luka yang dibagi dalam dentum dan gaduh. Setiap rumah pantas menjadi tempat yang tenang, di mana setiap orang berhak merasakan kedamaian tanpa gangguan.
Sebagai simpulan, apresiasi dari Kemenkum dan fatwa haram dari ulama terhadap Sound Horeg membuka tirai dilema besar, yakni antara suara kreativitas dan suara batin masyarakat yang mendambakan ketenangan. Akar kata horeg berarti bergetar, tetapi getarannya mengguncang ketenteraman. Agar kegaduhan tak terus membelah ruang hidup, negara perlu hadir dengan ketegasan, masyarakat perlu bersatu dalam kesadaran, dan semua pihak harus bergerak menjaga harmoni. Hanya dengan itu, kita bisa memastikan bahwa kesenangan minoritas tidak lagi menjadi derita yang harus ditanggung oleh mayoritas.

Fenomena Sound Horeg menjadi kontroversi di masyarakat karena dampaknya yang menimbulkan kebisingan dan keresahan. Berikut beberapa poin penting:

– *Dampak Sound Horeg*:
– Mengganggu ketenangan dan kenyamanan warga sekitar
– Memicu ketegangan sosial dan menciptakan batas sosial antara kelompok penikmat dan kelompok terdampak
– *Pandangan yang Bertentangan*:
– Kemenkum Jawa Timur mengapresiasi Sound Horeg sebagai karya orisinal yang pantas mendapat perlindungan HAKI
– KH. Muhibbul Aman Aly (Gus Muhib) mengeluarkan fatwa haram terhadap Sound Horeg karena dampaknya yang lebih banyak membawa mudarat ketimbang manfaat
– *Solusi*:
– Edukasi menyeluruh untuk memahami dampak buruk kebisingan
– Pengendalian kebisingan dengan aturan ketat, sanksi jelas, dan penegakan tanpa keberpihakan
– Zona-zona hiburan bersuara keras sebaiknya diposisikan jauh dari ruang-ruang yang menuntut ketenangan
– Peran warga dalam menjaga batas-batas kewajaran dan mengembalikan inti dari hiburan yang sebenarnya.

Related Articles

Back to top button