Rawan Banjir, Sungai di Pamengkang Jadi Tempat Sampah

kacenews.id-CIREBON-Sungai Pamengkang di Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, tak lagi hanya mengalirkan air, tetapi juga menjadi tempat “pelarian” sampah rumah tangga yang tak tertangani.
Di bawah jembatan desa, tumpukan plastik, botol, dan limbah sisa konsumsi rumah tangga menyumbat aliran air, menciptakan pemandangan yang kontras dengan cita-cita desa sehat dan bersih.
Ironisnya, persoalan ini bukan hanya soal kebiasaan buruk warga yang membuang sampah sembarangan, tapi juga cerminan dari kebuntuan sistemik, tidak adanya tempat pembuangan sementara (TPS) yang diterima warga, minimnya fasilitas, dan lemahnya kontrol sosial.
Kepala Desa Pamengkang, Kosasih yang akrab disapa Kuwu Ujang mengaku, sudah berulang kali mengingatkan warga untuk tidak membuang sampah ke sungai, melalui spanduk, pengeras suara, hingga sosialisasi langsung. Tapi hasilnya nihil.
“Kami sudah lakukan imbauan terus-menerus. Tapi mentalitas membuang sampah ke sungai itu, masih dianggap hal biasa. Parahnya, banyak juga pengguna jalan yang sengaja lempar sampah dari kendaraan mereka,” ujar Ujang, Rabu (2/6/2025).
Pemerintah desa bukan tidak berupaya. Mereka sempat membangun TPS di sekitar area pemakaman, tapi warga protes karena bau. TPS dipindah ke sisi barat sekolah menengah, lagi-lagi ditolak, kali ini oleh pihak sekolah yang khawatir terganggunya aktivitas belajar.
“Sudah dicoba dua tempat, dua-duanya gagal. Padahal tanpa TPS, warga tidak punya tempat buang sampah. Tapi kalau TPS ada, yang lain protes,” ujar Ujang.
Kini, Pemdes Pamengkang berada dalam posisi serba salah, warga tidak ingin ada TPS di dekat mereka, tapi juga terus buang sampah ke sungai karena tak ada pilihan. Situasi yang membuat desa tampak buntung di tengah masalah yang makin pelik.
“Lahan terbatas, opsi makin sedikit. Ini bukan sekadar soal kesadaran warga, tapi juga minimnya infrastruktur lingkungan. Kami sedang upayakan pendekatan lain agar masalah ini tidak terus jadi sumber konflik,” katanya.
Masalah ini tak bisa diselesaikan oleh desa sendirian. Butuh intervensi dan dukungan lebih serius dari pemerintah kabupaten, khususnya untuk menyediakan sistem pengelolaan sampah yang terintegrasi dan didukung edukasi berkelanjutan bagi warga.
“Lingkungan desa kami jadi korban. Kalau dibiarkan, bukan cuma soal estetika, tapi bisa jadi sumber penyakit, dan yang terparah bisa menyebabkan banjir,” kata Ujang.
Seorang warga yang ditemui saat membuang sampah ke sungai bahkan menganggap hal itu sebagai “solusi alami”.
“Tidak ada TPS, ya kami buang ke sini saja. Kalau hujan juga sampahnya hilang dibawa air,” ujarnya, tersenyum tanpa rasa bersalah.
Fenomena di Pamengkang menunjukkan bahwa masalah sampah bukan hanya soal fisik, tetapi krisis mentalitas kolektif dan lemahnya budaya gotong royong dalam menjaga lingkungan.
Tanpa perubahan dari dua sisi, fasilitas dan kesadaran, krisis ini hanya akan terus berulang. Sungai-sungai di desa akan terus menjadi tempat pelarian, dan pemerintah desa akan terus terjebak dalam posisi “dipersalahkan tapi tak berdaya”.
Diperlukan strategi berbasis komunitas, edukasi rutin, dan partisipasi warga secara aktif agar sampah tidak terus menjadi bencana diam yang perlahan menggerogoti kualitas hidup masyarakat.(Mail)