Ibadah Praktis

Oleh: Angga Putra Mahardika
Mahasiswa KPI UINSSC
Ibadah diminta oleh para agamawan supaya jangan jadi gerakan fisik saja. Para agamawan melihat ibadah bukan sekadar aktivitas biasa, melainkan ruang batin manusia untuk mengenal Tuhan. Banyak literatur yang membicarakan hal ini, menekankan bahwa ibadah adalah penghubung rohani, bukan hanya rutinitas jasmani.
Pada mulanya, ibadah memiliki fungsi yang menyeluruh: jasmani dan rohani. Namun setelah wafatnya Nabi Muhammad, arah ibadah tidak lagi sama. Kegelisahan ini melahirkan aliran baru: sufisme. Sebuah golongan muslim yang memahami ibadah sebagai jalan penyucian jiwa untuk bertemu Tuhan secara batiniah.
Idealisme seperti ini sesungguhnya indah dan luhur. Namun tidak semua orang dapat menembus tingkatan ini. Kita tidak bisa menyalahkan masyarakat awam yang beribadah sebatas tuntunan agama, bukan karena dorongan kesadaran eksistensial. Sebagian besar hanya menjalankan, tidak merenungkan. Dan itu bukan salah siapa-siapa.
Dilema klasik ini pun melahirkan pertanyaan: apakah semua orang harus digenjot untuk mencapai sufisme? Ataukah biarkan saja seperti ini—yang sufi tetap dalam idealismenya, dan yang awam cukup dengan ibadah praktis?
Namun sebelum membandingkan dua jalan itu terlalu jauh, kita perlu menengok kembali akar ibadah itu sendiri: syariat, dan kepada siapa ia diturunkan.Ibadah adalah ajaran yang dibawa Nabi Muhammad. Ia merupakan bagian dari syariat Islam—perangkat hidup yang berasal dari Tuhan untuk menjaga keberlangsungan manusia. Dalam syariat ini ada ibadah wajib seperti shalat dan puasa. Ada ibadah sosial seperti silaturahmi, sedekah, wakaf, menyantuni yatim, dan amal jariyah. Bahkan ada dimensi ekonomi: zakat mal dan larangan riba. Semua ini adalah petunjuk-petunjuk kehidupan. Tuhan yang Maha Suci memberi kita kerangka hidup, tinggal apakah kita bersedia menggunakannya sebagai deru napas dan degup kehidupan.
Namun keresahan muncul kembali: mengapa orang yang telah melaksanakan ibadah tetap melakukan maksiat? Katanya, jika kita taat, hidup kita akan lebih baik. Tapi kenyataannya tidak sesederhana itu. Inilah pertanyaan dari mereka yang suka berpikir, namun enggan zikir.
Sebagian orang menjawab ini dari sudut spiritualitas yang lebih dalam. Kaum sufi, misalnya, menjawab dengan satu kata: “isi.” Mereka menekankan esensi, kedalaman, kehadiran batin. Bahwa ibadah adalah jalan menyatu dengan Tuhan, bukan sekadar gerakan tubuh. Bahwa syariat tidak dimaksudkan kecuali untuk melekatkan jiwa pada Sang Ilahi.
Puitis memang. Mendayu-dayu. Bahkan agung bagi mereka yang sudah menjejak jalan cinta pada Tuhannya. Tapi harus diakui: kaum sufi itu satu banding seratus. Apa yang mereka katakan mungkin benar, namun dalam realitas umat, sering kali tidak terasa efektif.
Jika efektivitas ibadah dinilai dari dampaknya dalam hidup, maka masyarakat tradisional justru memberi contoh konkret. Di sana, ibadah praktis menemukan bentuk alaminya. Petani tidak bertanya makna tasyahud. Ia cukup bersyukur kalau sawahnya subur. Nelayan pun tidak sibuk merenung tentang esensi sujud. Ia cukup gembira jika jaringnya tidak kosong.Mereka beribadah bukan demi surga atau filsafat, tetapi demi panen yang tidak gagal. Demi angin laut yang tidak murka. Harapan mereka sederhana: Tuhan hadir lewat keberkahan hasil.
Dalam masyarakat homogen, di mana kebutuhan tak banyak, ibadah menjadi bagian dari hidup sehari-hari. Mereka tidak mengejar “work life balance.” Gaji digunakan untuk syukuran, bukan konser. Mereka menikmati manfaat praktis ibadah dan, tanpa sadar, mulai menapaki makna meditatifnya.
Sementara itu, kehidupan modern menghadirkan tantangan yang berbeda. Waktu solat terhimpit. Jam kerja menekan. Kita sulit sekali khusyuk. Mau sedekah, terbayang cicilan. Mau amal jariyah, teringat uang sekolah anak. Bahkan rakaat pun kita sering lupa. Dalam dunia yang selalu bergerak, kita susah untuk berhenti. Kita terus dikejar—oleh target, oleh notifikasi, oleh kekhawatiran. Semua yang kita lakukan terasa belum cukup untuk dunia.
Di tengah ritme yang gila ini, manusia modern tak pernah selesai. Mereka hidup dari hasrat ke hasrat, dari pencapaian ke pencapaian. Seperti mesin lapar yang menyergap lalu tidur setelah kenyang. Hidup hanya untuk menghindari kesedihan dan mengejar rasa nyaman. Mengakali kesulitan, merekayasa kemudahan.
Mereka terjebak dalam lingkaran setan: bekerja untuk menghasilkan uang, lalu menghibur diri dengan uang itu. Padahal hidup sudah dirancang dengan keseimbangan oleh Sang Maha Kuasa. Tapi kita kehilangan peta. Jiwa rusak. Fisik tak kalah amburadul. Maka dari itu, dibutuhkan ibadah—bukan ibadah yang dalam dan sempurna, tapi ibadah yang membumi dan berguna. Ibadah yang memberi jeda, memberi tumpuan, memberi ruang tenang.Kalau kita tak sanggup mencapai puncak spiritualitas, barangkali kita bisa mulai dari dasar yang paling nyata: manfaat praktis ibadah.
Salat melatih disiplin. Jika kita mampu shalat tepat waktu, kita perlahan jadi pribadi yang menepati janji. Rangkaian gerakannya mengajari kita keteraturan. Sujud, rukuk, tasyahud—semuanya butuh fokus. Bahkan saat kita lupa rakaat, kita diajak kembali sadar: kau hadir atau hanya bergerak? Puasa pun demikian. Ia melatih tubuh untuk jeda dari nafsu makan. Dalam zaman di mana pola makan rusak dan anak-anak mengidap diabetes sejak kecil, puasa mengajari tubuh mengenali rasa cukup.
Zikir bukan hanya menyebut nama Tuhan, tapi latihan hadir di saat hati bisa ke mana-mana. Ia adalah meditasi dalam Islam: istirahat pikiran, peredam hasrat, penjernih batin. Zikir bukan sekadar wirid, tapi cara melatih jiwa agar tidak meledak dalam kecemasan.
Semua ini tidak perlu dijalani dengan kesadaran sufistik yang tinggi. Cukup dijalani dengan kehadiran sederhana.Banyak ibadah yang memiliki manfaat praktis. Hanya saja, kita terlalu asyik dengan dunia sendiri, sampai lupa hadir dalam apa yang kita kerjakan.
Ibadah tidak hanya tentang isi dan makna. Ibadah juga tentang apa yang dilihat dan dialami tubuh. Ia membentuk ulang kebiasaan. Menata ulang cara hidup. Melatih raga untuk merawat jiwa. Penulis sadar: menuju puncak hakikat bukan perkara sehari-dua hari. Tapi setidaknya, rangkullah syariat sebagai bagian dari diri kita—agar di tengah dunia yang makin bising ini, kita masih punya ruang untuk hadir, walau sebentar.***