Ayumajakuning

Tahun Baru Islam, Warga Jatitujuh Pertahankan Tradisi Bubur Suro

Diyakini Terhindar dari Segala Musibah (Alis)

kacenews.id-MAJALENGKA-Hampir semua warga desa di Kecamatan Jatitujuh, Kabupaten Majalengka masih mempertahankan tradisi membuat bubur suro atau bubur sura, sebuah kegiatan mengawali awal tahun baru Islam yang dikenal masyarakat sebagai bulan bala.

Membuat bubur sura diantaranya dilakukan warga Desa Sumber Kulon, Kecamatan Katitujuh pada Selasa (1/7/2025). Walaupun kini bubur sura yang mereka buat sudah lebih modern karena terdapat kuah dan ayam.

Menurut keterangan tokoh masyarakat Desa Sumber Kulon Kibagus Sudino Husodo serta warga lainnya Kibagus Waskana dan Katijah, bubur suro biasa dibuat masyarakat di wilayahnya setahun sekali pada awal bulan Suro yang sudah dilakukan secara turun temurun dari nenek moyang meraka.

Pembuatan bubur suro diyakini warga sebagai tolak bala agar terhindar dari segala musibah dan berbagai penyakit yang akan menimpa.

“Bubur Suro ini terbuat dari beras dicampur dengan umbi umbian dan kacang-kacangan kemudian di masak hingga menyatu atau menjadi bubur, agar lebih terasa nikmat dan gurih bubur ditambah bumbu lainnya diantaranya garam dan penyedam rasa,” ungkap Kibagus Sudino Husodo

Bubur suro yang telah dibuat warga kemudian dibagikan ke warga desa dan diharapkan dengan memakan bubur suro ini warga terhindar dari musibah di bulan bala.

Menurut Kibagus Sudino Husodo, bubur suro bukan sekadar kuliner, namun mengandung nilai-nilai religius, sejarah, dan budaya yang telah hidup selama berabad-abad.

Dikatakan Kibagus Sudino tgradisi bubur Suro berawal dari kisah Nabi Nuh AS. Diceritakan setelah banjir besar yang berlangsung selama 150 hari dan kapalnya terombang ambing di laut, kapal Nabi Nuh akhirnya mendarat.

Sebagai bentuk rasa syukur atas keselamatan tersebut, Nabi Nuh mengumpulkan berbagai bahan makanan yang tersisa seperti beras, gandum, jagung, dan kacang – kacangan, kemudian dimasak menjadi satu hidangan bersama para pengikutnya. Hidangan inilah yang diyakini menjadi asal mula bubur suro.

Tradisi ini kemudian diteruskan dalam budaya Jawa, khususnya sejak masa pemerintahan Kesultanan Cirebon dan Mataram, yang menyatukan kalender Hijriah dengan kalender Jawa.

“Sejak saat itu, bubur suro menjadi bagian dari ritual menyambut tahun baru, khususnya di lingkungan masyarakat Jawa yang beragama Islam,” ungkapnya.

Simbol Syukur, Doa, dan Harapan

Walaupun kerap dianggap mistis, menurut Kibagus Waskana bubur suro sebenarnya bukan sesajen. Bubur suro lebih tepat dipahami sebagai uba rampe unsur simbolik dalam sebuah upacara yang memiliki makna mendalam.

Pembuatan dan pembagian bubur suro merupakan wujud rasa syukur kepada Allah SWT atas nikmat dan keselamatan, sekaligus doa untuk mengawali tahun baru dengan kebaikan, perlindungan, dan rezeki yang berkah.

“Tradisi ini juga memperkuat nilai solidaritas dan kebersamaan di tengah Masyarakat, karena semua bahan dikumpulkan bersama dan diolah bersama. Bubur suro bukan hanya tentang makanan, tapi menyimpan beragam makna, tentang akulturasi budaya, serta tentang hubungan manusia dengan Tuhan dan sesama.” ungkap Kibagus Waskana yamg menyebut setiap sendok bubur yang dibagikan, mengalir pula doa-doa agar tahun baru membawa keselamatan, kedamaian, dan keberkahan (Tati/KC)

Related Articles

Back to top button