Harmoni yang Diuji

ISU keretakan hubungan antara Wali Kota dan Wakil Wali Kota Cirebon, Effendi Edo dan Siti Farida Rosmawati, belakangan ini menjadi bahan perbincangan publik. Berbagai spekulasi, tudingan, hingga narasi yang mengarah pada disharmoni kian berseliweran di ruang publik dan media sosial.
Namun di tengah arus tudingan tersebut, kelompok relawan pendukung pasangan ini, tampil membantah dan menegaskan bahwa keduanya masih menjalankan pemerintahan dengan harmonis dan sesuai koridor konstitusi.
Tentu, klarifikasi ini menjadi penting untuk menjaga stabilitas pemerintahan kota. Namun, publik patut pula untuk tidak sekadar menerima narasi tunggal tanpa mengamati dinamika kekuasaan secara lebih objektif.
Relasi antara kepala daerah dan wakil kepala daerah bukan hanya soal pembagian tugas administratif, tetapi juga menyangkut komunikasi politik, kesepahaman visa dan peran strategis di balik layar, yang sering kali menjadi ranah tak terlihat masyarakat.
Dalam sistem pemerintahan daerah yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, memang jelas bahwa wali kota memegang kendali utama atas roda pemerintahan. Namun, wakil wali kota bukan sekadar pelengkap. Ia adalah representasi dari separuh komitmen politik yang disepakati bersama ketika mencalonkan diri dalam satu paket.
Jika kemudian muncul narasi bahwa hubungan mereka renggang, meskipun dibantah, maka hal itu perlu dicermati dengan kacamata publik yang kritis dan jernih.
Isu terkait promosi, mutasi jabatan, dan pengangkatan direksi Perumda yang disinggung dalam bantahan Armada sesungguhnya menunjukkan bahwa ada gesekan di level kebijakan atau ekspektasi kekuasaan yang belum tentu sepenuhnya diselesaikan secara internal.
Bila tidak ditangani dengan baik, dinamika ini bisa berkembang menjadi polemik yang merugikan masyarakat.
Sebagai warga kota, masyarakat Cirebon berhak menuntut keterbukaan dan akuntabilitas dari para pemimpinnya.
Dalam era digital saat ini, isu-isu seperti ini tidak bisa ditepis hanya dengan pernyataan sepihak atau pengingkaran terhadap realitas yang berkembang. Justru transparansi, komunikasi publik yang terbuka, dan konsistensi dalam melayani rakyat adalah cara terbaik untuk membantah rumor dan spekulasi.
Selain itu, aroma kontestasi Pilkada yang mulai terasa juga menambah dimensi politik dari isu ini. Bisa jadi, sebagian pihak sengaja menghembuskan isu keretakan untuk menciptakan persepsi negatif menjelang tahun politik. Tapi bisa pula, ada kegelisahan nyata dari bawah yang tak boleh diremehkan.
Pemerintahan kota harus lebih peka terhadap suara publik. Harmoni tidak hanya perlu ditunjukkan di atas kertas atau melalui pernyataan relawan, tetapi juga lewat sinergi nyata, program yang dirasakan masyarakat, serta kematangan komunikasi antara dua pucuk pimpinan daerah.
Cirebon butuh kepemimpinan yang solid, tidak hanya di depan kamera, tetapi juga dalam pengambilan keputusan yang menyangkut masa depan warganya. Ketika publik mulai bertanya tentang relasi dua pemimpinnya, maka yang dibutuhkan bukan sekadar bantahan, melainkan bukti.
Dan bukti itu hanya bisa dibangun lewat kepercayaan publik, bukan lewat narasi tunggal kekuasaan.***