Terkepung Sistem

DI tengah semangat reformasi sistem kesehatan dan pemerataan layanan publik, ironis rasanya ketika rumah sakit milik pemerintah justru tersingkir dari sistem yang mestinya menjamin keadilan, sistem rujukan BPJS.
Kasus RSUD Arjawinangun di Kabupaten Cirebon menjadi cermin buram dari persoalan sistemik yang belum tersentuh akar masalahnya.
Sinyalemen bahwa RSUD Arjawinangun sempat tak muncul dalam sistem rujukan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) adalah bukti nyata bahwa birokrasi digital bisa menciptakan diskriminasi baru jika tak diawasi.
Ketika rumah sakit pemerintah tidak bisa diakses melalui jalur resmi, sedangkan rumah sakit swasta muncul dominan, wajar jika publik curiga ada permainan arah rujukan yang tak transparan.
Apalagi, ini bukan kasus satu kali, melainkan telah berlangsung berbulan-bulan.
Apakah ini murni kesalahan teknis atau ada praktik tersembunyi yang membelokkan semangat pelayanan kesehatan universal?
Bila benar ada penghilangan nama rumah sakit tertentu secara sistematis dari sistem rujukan, itu bukan lagi sekadar gangguan administratif, melainkan bentuk sabotase terhadap hak dasar warga untuk memperoleh layanan kesehatan yang adil.
Pemerintah Kabupaten Cirebon harus menyikapi situasi ini dengan lebih tegas. Komunikasi dengan BPJS Kesehatan tidak cukup jika hanya bersifat koordinatif. Harus ada audit menyeluruh terhadap sistem rujukan di FKTP, termasuk menyelidiki kemungkinan praktik “penggiringan pasien” dan relasi bisnis yang menyimpang antara fasilitas kesehatan dengan rumah sakit tertentu.
Yang juga menjadi catatan penting adalah lemahnya peran pengawasan dalam sistem kesehatan publik.
Mengapa kondisi ini bisa berlangsung lama tanpa koreksi cepat? Mengapa suara masyarakat dan tenaga kesehatan tidak segera direspons dengan perbaikan sistematis?
RSUD Arjawinangun memang sedang dalam masa sulit.
Tapi justru karena itu, ia layak diberi ruang untuk bertarung secara sehat, bukan disingkirkan diam-diam lewat celah sistem digital. Upaya Pemkab untuk mendorong perbaikan pelayanan, memperkuat citra humanis, dan membangun daya saing RSUD adalah langkah positif.
Namun semua itu akan sia-sia jika sistem digital BPJS tetap menyaring rujukan secara tidak transparan.
Lebih luas lagi, peristiwa ini menggugah pertanyaan mendasar, benarkah sistem jaminan kesehatan nasional sudah menjangkau semua dengan adil?
Ataukah justru menjadi alat seleksi terselubung yang menjauhkan rumah sakit pemerintah dari masyarakatnya sendiri?
Warga berhak atas pilihan, dan rumah sakit pemerintah berhak bersaing secara terbuka. RSUD Arjawinangun adalah milik rakyat. Maka biarkan ia hidup dalam sistem yang adil, bukan tenggelam dalam permainan yang diam-diam.***