Pergantian Tahun: Bukan Perayaan, tetapi Peringatan

Oleh: Asep Firmansyah
Dosen UIN Walisongo Semarang
Segala puji bagi Allah Swt, Rabb semesta alam, yang masih memberikan kita nikmat luar biasa, tetapi sering kali kita lupakan, yaitu nikmat sehat. Dengan sehat, makan terasa nikmat, tidur terasa pulas, duduk terasa nyaman, berjalan pun terasa ringan. Coba bayangkan, jika ada penyakit kecil saja di tubuh, misalnya bisul di pantat, gigi ngilu, luka kecil di kepala atau di kaki, tentu kita tidak akan merasakan kenikmatan makan, tidur, duduk, berjalan seperti halnya ketika tubuh kita sehat sempurna. Aktivitas yang kita lakukan juga akan ikut terganggu. “Dua kenikmatan yang banyak manusia tertipu (lupa) akan keduanya: kesehatan dan waktu luang.”
(HR. Bukhari). Maka dari itu, mari kita syukuri nikmat sehat yang telah Allah anugerahkan kepada kita, serta berusaha menjaganya sebaik mungkin agar terjaga dari berbagai penyakit dan diberi kesempatan untuk menikmati umur panjang.
Namun, mari sejenak kita diam, berhenti, dan merenung lebih dalam. Setelah kita diberikan nikmat sehat dan umur panjang, lantas kemudian nikmat sehat dan umur panjang itu sebenarnya untuk apa? Pernahkah kita bertanya jujur kepada diri sendiri: “Untuk apa aku meminta umur panjang?” Apakah untuk menunda kematian dan terus mengejar dunia yang tak pernah cukup? Ataukah untuk memperbanyak amal dan mempersiapkan bekal menghadapi kematian? Apa artinya usia yang terus bertambah, jika hanya diisi dengan kesibukan tanpa menjadi amal saleh? Apa gunanya napas yang masih berhembus, jika hati dan perbuatan justru semakin jauh dari makna hidup yang sebenarnya? Seiring waktu, tubuh ini pasti menua, otot melemah, rambut memutih, gigi tanggal, kulit keriput, penglihatan kabur, pendengaran berkurang. Kita ini, sejatinya, seperti baterai—semakin hari, dayanya semakin berkurang. Sampai kapan kita bisa bertahan dengan umur panjang yang kita harapkan? Sementara hukum alam (sunatullah) tentang perjalanan hidup manusia sudah pasti akan terjadi, yakni berawal dengan kelahiran dan berujung pada kematian. Tak terasa baru kemarin rasanya kita anak-anak, bermain di halaman rumah, tidur di pangkuan ibu, bercanda sembari digendong ayah, disuapi makan oleh tangan orang tua dengan cinta. Baru kemarin rasanya kita remaja, penuh impian dan gelora, berambisi tinggi menaklukkan dunia. Baru kemarin rasanya kita menjadi dewasa, bekerja, menikah, membesarkan anak, menata rumah dan masa depan, dan kini tiba-tiba kita sudah menua; tubuh mulai goyah dan melemah, langkah mulai lambat, napas mulai terasa berat, dan kelak akan berakhir dengan satu kepastian yang tak bisa dihindari, yaitu kematian. “Setiap yang bernyawa akan merasakan mati…”(QS. Ali ‘Imran: 185).
Kita semua sejatinya sedang dalam perjalanan pulang. Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn. Sesungguhnya kita milik Allah dan hanya kepada-Nya-lah kita kembali (QS. Al-Baqarah: 156). Dunia ini hanya terminal singgah, bukan rumah abadi. Dan setiap dari kita, cepat atau lambat, pasti akan dipanggil pulang. Tak ada seorang pun yang bisa menghindari dan melawan takdir ini, meskipun ia orang yang paling kaya, berpangkat tinggi, atau memiliki pengaruh besar sekalipun. Oleh karena itu, yang terpenting bukanlah seberapa lama kita hidup, tetapi bagaimana kita mengisi usia yang diberikan dengan amal dan kebaikan yang bermakna. Rasulullah saw, manusia paling mulia yang pernah menginjakkan kaki di muka bumi, wafat di usia 63 tahun—usia yang secara angka terbilang singkat, namun dipenuhi dengan makna, perjuangan, cinta kasih, dan pengabdian total kepada Allah serta kepedulian tulus terhadap umat manusia. Lalu bagaimana dengan kita? Kita yang terus menghitung tahun demi tahun, tapi lupa menghitung amal dan kesalahan. Kita yang terus berdoa memanjatkan panjang umur, tetapi lupa berdoa agar diberikan kekuatan mengisi kehidupan ini dengan ibadah dan meninggal husnul khatimah. Jangan sampai kita baru sadar saat diri ini sudah tak berdaya, tubuh tak mampu bangun kembali, dan saat sekarat pertanda ruh akan berpisah dari raga. Na‘udzu billahi min dzalik. Kepada anak-anak muda, remaja, dan siapa saja yang merasa masih punya banyak waktu: jangan tertipu. Kematian tak menunggu kita tua. Ia bisa datang kapan saja. Bahkan ketika kita masih merasa “baru mulai hidup.” Maka, jangan tertipu oleh gemerlap dunia. Jangan silau dengan nikmat yang sementara. Karena semua yang terlihat indah hari ini, kelak akan pudar dan sirna. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. Kun fid-dunya ka’annaka gharîbun au ‘âbiru sabîl. “Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau seorang pengembara.” (HR. Bukhari).
Mari kita persiapkan diri sebaik mungkin agar saat akhir itu tiba, kita pulang dalam keadaan husnul khatimah, mendapatkan keberkahan dan keridaaan dari Allah Swt. Momen pergantian tahun seperti sekarang adalah saat yang tepat untuk bersyukur, merenung, dan bertaubat. “Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara: masa mudamu sebelum datang masa tuamu, sehatmu sebelum datang sakitmu, kayamu sebelum datang miskinmu, waktu luangmu sebelum datang waktu sibukmu, dan hidupmu sebelum datang kematianmu.”
(HR. Al-Hakim). Semoga Allah menjadikan kita hamba yang pandai bersyukur atas nikmat-nikmat yang telah diberikan-Nya dan menggunakannya semata-mata hanya untuk beribadah kepada-Nya. Amin. Wahai jiwa yang sering terlena, gunakan sehatmu tuk mencari surga. Beramal, bersujud, dan berbagi cinta, sebelum datang lemah, dan waktu tak tersisa. Jangan tunggu sakit baru tersadar, bahwa nikmat ini amatlah besar. Syukuri hari ini dengan amal yang benar, sebab sehat bukan selamanya tinggal.***