Opini

Dilema Diplomasi Indonesia Dalam Konflik Iran-Israel

Oleh: Andrian Saba
Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UGJ Cirebon
Konflik berkepanjangan antara Iran dan Israel kian memanas. Dunia bersiap menghadapi konsekuensi geopolitik yang tidak bisa dihindari. Di tengah kekacauan ini, Indonesia berada pada posisi yang rumit, antara idealisme dan kepentingan strategis. Sebagai negara yang menjunjung tinggi prinsip nonblok dan perdamaian dunia, Indonesia telah dikenal luas. Komitmen itu ditegaskan oleh konstitusi dan arah politik luar negeri. Yang sayangnya, sering kali idealisme itu berbenturan dengan kalkulasi pragmatis dalam realitas diplomasi.
Ketika Israel melakukan agresi militer, Indonesia dengan cepat mengutuk tindakan tersebut. Ketika Iran membalas, suara pemerintah terdengar lebih hati-hati. Di sinilah letak dilema itu. Ingin berdiri tegak pada prinsip, tapi harus bermain aman di antara kepentingan besar.Di mata publik, Indonesia sering tampil tegas dalam mengecam tindakan Israel terhadap Palestina. Namun, apakah sikap itu konsisten ketika menyangkut konflik regional yang melibatkan Iran, sebuah negara yang juga memiliki agenda dan aliansi strategisnya sendiri?
Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Luar Negeri, menyampaikan keprihatinan mendalam atas eskalasi konflik. Pernyataan-pernyataan itu cenderung normatif, yakni menyerukan semua pihak untuk menahan diri dan mencari solusi damai. Ironisnya, dunia tidak sedang berjalan dalam naskah diplomatik yang rapi. Iran dan Israel bukan hanya berkonflik, mereka sedang mempertaruhkan dominasi dan pengaruh di Timur Tengah. Dalam konstelasi seperti itu, seruan damai tanpa posisi strategis terdengar kosong.
Netralitas Indonesia memang terjaga, tapi apakah netralitas itu masih relevan ketika ketidakadilan begitu telanjang? Indonesia tampak memilih menjadi penonton yang cemas daripada pemain aktif di gelanggang diplomasi internasional. Banyak yang bertanya, mengapa Indonesia tidak mengambil posisi lebih vokal dalam membela Iran? Jawabannya mungkin sederhana, politik luar negeri kita takut kehilangan keseimbangan antara moral dan realitas global.
Indonesia punya sejarah panjang dalam membela Palestina. Hal ini menjadi identitas diplomatik kita. Tapi konflik Iran-Israel bukan hanya soal Palestina. Ini soal dominasi kawasan, perebutan pengaruh, dan jaringan kekuatan global yang lebih luas. Dalam konteks ini, Indonesia tampak gamang. Kecaman terhadap Israel tetap disuarakan, tetapi tidak pernah secara langsung menyebut Iran sebagai pihak yang sepenuhnya benar. Pemerintah lebih memilih jalur dua sisi yang aman.
Sikap hati-hati ini bisa dimaklumi, dan sikap seperti ini juga bisa dipertanyakan. Sebagai negara besar di ASEAN dengan penduduk muslim terbanyak di dunia, Indonesia punya potensi menjadi mediator aktif. Akan tetapi, potensi itu belum dikelola maksimal.Di panggung diplomasi internasional, kredibilitas tidak hanya ditentukan oleh retorika, melainkan juga keberanian mengambil posisi yang jelas. Ketika negara-negara lain mulai berpihak berdasarkan nilai dan kepentingan nasionalnya, Indonesia tetap berputar dalam kalimat seruan damai.
Diplomasi bukan hanya seni berkata lembut, diplomasi juga seni membaca momentum dan menaruh keberanian pada pernyataan. Pemerintah Indonesia tampaknya belum siap untuk itu, apalagi bila melibatkan negara-negara yang punya dampak besar pada perekonomian global. Dalam banyak forum internasional, Indonesia tampak memilih menjadi suara moderat. Ini bukan kesalahan. Dalam kasus seperti Iran-Israel, sikap moderat justru dapat menjelma menjadi ketidakjelasan, bahkan ketidaktegasan.
Sebagian masyarakat Indonesia yang kritis mulai mengajukan pertanyaan tentang apakah pemerintah kita benar-benar memegang prinsip, atau sekadar memainkan peran pengamat aktif dalam konflik yang seharusnya bisa kita dampingi sebagai pihak netral yang dihormati. Media sosial menjadi saksi gelombang opini publik yang menuntut Indonesia bersikap netral sekaligus adil. Netral bukan berarti diam. Netral bukan berarti takut. Netral harus tetap berpijak pada nilai kemanusiaan dan keadilan.
Pemerintah perlu mengingat bahwa sikap diplomatik dinilai oleh negara-negara besar dan juga oleh rakyatnya sendiri. Dalam era keterbukaan, suara rakyat lebih keras daripada desakan negara pemberi bantuan. Indonesia bisa menginisiasi dialog internasional yang lebih terbuka tentang konflik ini. Bukan hanya menyerukan damai, tetapi menyediakan platform dan memimpin gerakan negara-negara netral yang ingin menyuarakan keadilan tanpa harus tunduk pada kekuatan besar.
Seharusnya, pemerintah belajar dari sejarah Konferensi Asia Afrika di Bandung 1955. Saat itu, Indonesia tidak takut bersuara, tidak takut memimpin. Kini, semangat itu seakan terkubur dalam rutinitas diplomasi yang terlalu normatif dan datar.Di tengah dunia yang semakin terbelah, sikap abu-abu bisa dianggap sebagai kelemahan. Indonesia harus menemukan kembali semangat diplomasi berani yang menghindari konflik dan berani menyuarakan kebenaran.
Dunia butuh suara-suara yang jujur dan tegas. Dunia tidak membutuhkan lebih banyak basa-basi. Apalagi ketika nyawa manusia menjadi korban dari ambisi dan arogansi negara-negara besar. Indonesia bisa, dan seharusnya bisa menjadi penjaga nilai moral dalam diplomasi internasional. Tapi hal itu hanya akan terjadi bila kita berani berpihak pada keadilan, bukan pada kepentingan.
Oleh karenanya, dalam konflik yang kompleks antara Iran dan Israel, sikap netral tidak boleh menjadi tameng bagi ketidakpedulian. Indonesia harus bersuara, bukan saja karena kita negara besar, di samping itu juga karena kita memiliki tanggung jawab moral yang besar. Diplomasi yang efektif bukan hanya tentang menjaga hubungan baik, tetapi juga menjaga martabat bangsa.***

Related Articles

Back to top button