Opini

Memelihara Nyala Api Ibadah Kurban

Memelihara Nyala Api Ibadah Kurban
Oleh: Saeful Millah Penulis Lepas Cirebon

Adalah Joachim Wach (1961), pakar Psychology Agama, yang menegaskan: “Religion makes the follower fervent, devoted, and sometimes fanatical,” Intinya, bukan agama jika ajarannya tidak membang¬kitkan emosi yang kuat, bahkan fanatik. Bukan agama jika tidak menumbuhkan kebanggaan, kesetiaan, dan kadang sikap radikal.

Itulah landasan pemikiran yang bisa diangkat untuk menjelaskan keputusan radikal Nabi Ibrahim yang hanya karena mimpinya diyakini sebagai perintah Allah bersedia menyembelih satu-satunya anak yang sangat disayanginya, Ismail, untuk dijadikan kurban; ibadah yang belum lama ini dipraktekan umat Islam.

Sikap radikal dalam hal meneguhkan aqidah keimanan yang berimplikasi pada penghargaan, penghormatan serta pembelaan terhadap nilai-nilai universal kemanusiaan, itulah pesan moral sangat fundamental dalam ajaran Islam. Itulah pula semangat yang perlu dirawat oleh umat Islam saat ini dan ke depan.

Disebut radikal, karena sulit membayangkan jika bukan karena panggilan aqidah, seorang Ibrahim tega mau menyembelih satu-satunya anak yang sangat dicintainya. Di sini, ibadah kurban adalah wujud kesetiaan dan kepasrahan total seorang hamba kepada Penciptanya, Allah yang Mahaagung, Allah yang merupakan satu-satunya sumber kehidupan, bahkan, merupakan satu-satunya sumber eksistensi itu sendiri.

Sikap setia, iklas dan kepasrahan total Nabi Ibrahim itu kemudian diabadikan Tuhan sendiri dalam Alqur’an Surah Al-An’am ayat 162 : Sesungguhnya shalatku, perjuanganku, hidup dan matiku dipersembahkan hanya kepada Allah Tuhan semesta alam”.

Keputusan Tuhan untuk pada akhirnya menebus Nabi Ismail dengan seekor domba dalam iritual kurban yang dipraktekan Nabi Ibrahim adalah isyarat jelas dan tegas yang mesti dibaca, bahwa Agama itu sengaja diturunkan oleh Tuhan melalui wahyu-Nya kepada para Nabi tidak sama sekali dimaksudkan agar manusia sibuk mengurus Tuhan,melainkan agar manusia bisa mengurus sesamanya,

Terkandung pesan moral di balik keputusan Nabi Ibrahim untuk hanya karena Perintah Allah mau menyembelih anak satu-satunya yang sangat dicintainya dalam ritual kurban itu juga adalah perintah Allah kepada manusia beriman untuk bersedia untuk menyembelih sikap ego, sikap serakah yang selama ini sering hadir jadi sumber ketidakberesan hidup bermasyarakat, bahkan hidup bernegara dan berbangsa.

Sikap ego itu memang penting, sebut seperti ego dalam mempertahankan keyakinan seperti ditunjukan Nabi Ibrahim. Tetapi dalam hidup bermuamah, sikap ego – lebih-lebih ego yang berlebihan – tak jarang menimbulkan banyak konflik, memperlebar jurang perbedaan dan bahkan menghancurkan semangat persaudaraan.

Dalam skala yang lebih luas, sebut seperti ego kesukuan, ego keberagamaan, terlebih ego politik atau kekuasaan, bisa lebih berbahaya lagi karena bisa menciptakan disintegrasi sosial yang akan menghambat bangsa ini bisa bangun dari berbagai ketertinggalannya.

Keputusan Allah menggantikan Nabi Ismail yang akan dijadikan kurban dengan seekor domba, dan kemudian perintah-Nya untuk membagi-bagikan daging kuban itu kepada sesama yang membutuhkan, sejatinya dibaca tidak saja dalam rangka bersyukur atas segala nikmat yang telah diberikan Tuhan kepada manusia beriman, tetapi juga perintah Allah untuk memelihara semangat berbagi, semangat beremphati terhadap sesama.

Fakta bahwa angka kemiskinan di negeri kita dengan jumlah penghuninya yang telah mencapai lebih dari 280 juta ini masih bertengger pada angka 8,57 persen sebagaimana dicatat BPS (2024), bahkan mencapai angka 68,3 persen dalam versi Bank Dunia, adalah wujud nyata dari besarnya persoalan kemanusiaan yang menuntut kita semua bisa memelihara semangat berbagi, berempati dan hidup dengan semangat altruistik itu.

Perintah berbagi dan beremphati itu juga dengan jelas tersurat dalam Alquran Surat Al-Ma’un yang terdiri dari 7 ayat itu yang intinya memerintahkan umat beriman untuk bisa mengaktualisasikan keimanannya dalam tindakan nyata yang yang bermanfaat bagi sesamanya yang mebutuhkan. Bahkan dalam surat pendek itu, Allah dengan keras mengatakan “ nerakalah tempatnya bagi orang yang rajin shalat, tetapi abai terhadap anak yatim dan sesama yang miskin.

Jangan diabaikan, adanya perintah Allah untuk membagi-bagikan daging kepada sesama yang membutuhkan dalam praktek ibadah kurban itu adalah perintah Sang Khalik kepada manusia beriman, lebih-lebih kepada para pemimpinnya, untuk senantiasa menjauhi sikap serakah dan rakus yang merupakan sikap hewaniyah yang sangat tidak terpuji, bahkan sangat dikutuk Tuhan.
Pemimpin yang serakah dan rakus itu sangat berbahaya. Tidak saja karena cenderung akan menjadikan kekuasaannya hanya untuk memperkaya diri atau kelompoknya, tetapi juga sangat berbahaya karena akan menjadi racun penyebab terjadinya penyalah-gunaan kekuasaan, praktik korupsi yang pada gilirannya berdampak pada penindasan rakyat yang dipimpinnya.

Jangan juga diabaikan, tersirat pesan penting tersembunyi di balik praktik ritual ibadah kurban itu juga adalah perintah Allah mengenai arti pentingnya penegakan keadilan sebagai salah satu pilar utama dalam menjalankan kepemimpinannya. Firman-Nya dalam Surat An- Nisa ayat 58: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu memerintahkan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia, kamu menetapkannya dengan adil……”

Mengakhiri tulisan ini, ada baiknya kita semua simak tesis berikut: bahwa hikmah sebuah ibadah itu, termasuk tentunya ibadah kurban, terletak pada banyak pesan-pesan moral yang disampaikannya. Sementara nilai ibadahnya itu sendiri akan banyak tergantung kepada sampai sejauh mana pesan-pesan moral ibadah itu bisa diaktualisasikan dalam keseharian hidup kita, keseharian hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Semoga…!***

Related Articles

Back to top button