Kelalaian Sistematis

TRAGEDI longsor di kawasan Galian C, RW 10 Karang Anyar Kedung Jumbleng, Kota Cirebon, yang menewaskan dua warga dan melukai tiga lainnya, bukan semata bencana alam. Ini adalah tragedi sosial yang lahir dari pembiaran dan kelalaian sistematis.
Aktivitas tambang ilegal yang terus berlangsung di wilayah rawan longsor, meski telah diberi peringatan berulang, menunjukkan lemahnya penegakan aturan dan ketidaktegasan otoritas dalam melindungi keselamatan warganya.
Peristiwa ini menyentuh ironi paling getir. Para korban bukan hanya warga setempat, tetapi juga masih satu keluarga dengan pemilik lahan tambang. Mereka menggantungkan hidup dari kerja sambilan di tanah yang telah lama diperingatkan rawan bencana.
Ketika upaya menyambung hidup berujung pada kematian tragis, negara tak bisa hanya berdiri sebagai penyampai belasungkawa.
Pemerintah Kota Cirebon sejatinya telah bertindak, memasang spanduk larangan, meninjau langsung lokasi, hingga mengeluarkan peringatan keras.
Namun, semua itu sia-sia jika tidak diikuti dengan pengawasan aktif dan penindakan tegas. Ketika larangan hanya berhenti pada baliho, dan pelanggaran tidak diikuti sanksi nyata, maka aparat dan warga sama-sama menjadi korban dari budaya abai yang menahun.
Tragedi ini harus menjadi garis batas. Tidak boleh ada lagi pembiaran atas aktivitas tambang ilegal di tengah lingkungan padat penduduk. Pemerintah Kota, bersama aparat penegak hukum, mesti bergerak cepat, tutup permanen titik-titik tambang ilegal, proses hukum bagi pelaku yang membandel, dan buat mekanisme pengawasan berbasis komunitas agar kejadian serupa tak terulang.
Di sisi lain, perlu ada pendekatan yang lebih manusiawi dan berkelanjutan terhadap masyarakat di sekitar lokasi tambang. Banyak dari mereka menggantungkan hidup pada aktivitas berisiko ini karena tidak ada pilihan pekerjaan lain.
Pemerintah perlu hadir dengan solusi alternatif: pelatihan keterampilan, program padat karya, atau bantuan sosial yang terarah.
Keselamatan warga tak bisa lagi ditawar dengan dalih ekonomi subsisten.
Setiap korban jiwa adalah bukti bahwa kita telah gagal memberikan perlindungan paling mendasar. Tragedi Argasunya harus menjadi peringatan terakhir. Bila tidak, kita hanya menunggu korban berikutnya.
***