Pendidikan Gratis Berbiaya Tinggi

DI negeri yang katanya “pendidikan gratis” ini, rupanya yang gratis hanyalah slogan, bukan realitas. Baru-baru ini, seorang siswi SMA di Kabupaten Cirebon mencoba mengakhiri hidupnya dengan menenggak cairan pembersih lantai, mungkin karena biaya sekolah tak bisa dibersihkan dengan air mata.
Remaja berinisial M ini, membawa kita pada pertanyaan besar, sebenarnya, siapa yang sedang gila? Anak yang depresi karena tak mampu sekolah, atau sistem pendidikan yang membuatnya depresi?
Tak mampu bayar sekolah, tak mampu bayar kos, lalu terdampar jadi penjaga toko buah dengan gaji Rp20.000 per hari.
Dengan nominal itu, ia bisa beli, ya, seteguk harapan. Tapi tentu tidak cukup untuk formulir pendaftaran.
Untunglah, negara hadir. Setelah kisah M viral, datanglah pejabat satu per satu, membawa janji manis dan wajah penuh keprihatinan.
SMA Negeri 1 Cirebon siap menerima, pemerintah siap membiayai, dan semua pihak siap bersimpati. Luar biasa! Sayang, reaksi baru muncul setelah percobaan bunuh diri, bukan sebelumnya.
Kita jadi bertanya-tanya, apakah untuk mendapatkan hak dasar bernama pendidikan, rakyat kecil harus dulu meracuni diri? Apakah harus viral dulu agar dapat belas kasih dari birokrasi?
Satirnya tak berhenti di situ. Salah satu pejabat bahkan menyebut ini sebagai “titik awal aksi nyata”.
Lucu juga, karena selama ini publik justru mengira pemerintah sudah berlari jauh dalam urusan pendidikan. Ternyata, masih pemanasan. Tapi jangan salah sangka. Ini bukan hanya soal satu anak. Ini adalah potret tragis bagaimana birokrasi lebih cepat menertibkan lapak pedagang kecil daripada menertibkan akses pendidikan.
Kita hebat membuat spanduk “Wajib Belajar 12 Tahun”, tapi kalah telak ketika rakyat bertanya: “Bagaimana cara membayar seragam?”
Kalau saja sistem pendidikan kita benar-benar gratis dan inklusif sejak awal, M mungkin sedang menghafal rumus fisika, bukan bereksperimen dengan zat beracun.
Dan tentu saja, sekarang semua akan berlomba jadi pahlawan. Tapi rakyat sudah hapal, di negeri ini, solusi datang bukan dari sistem, melainkan dari simpati setelah tragedi.***