Baru Juga Hijau, Sudah Diklaksoni

Oleh: Andrian Saba
Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UGJ Cirebon
Di berbagai kota besar dan kecil di Indonesia, terutama Jakarta, Bandung, Surabaya hingga Cirebon, pemandangan yang satu ini seolah sudah menjadi bagian dari rutinitas harian di jalan raya. Lampu lalu lintas atau lampu merah yang baru saja berubah hijau, tapi pengendara di belakang langsung membunyikan klakson dengan keras, seolah-olah yang di depan lupa sedang berada di persimpangan. Kejadian ini mungkin terdengar sepele, tetapi pada praktiknya mencerminkan persoalan yang lebih kompleks tentang budaya berkendara dan etika publik.
Penulis mengamati fenomena ini bukan semata soal kesabaran pribadi. Ini merupakan contoh dari budaya jalanan atau budaya di jalan raya yang kian kehilangan kesantunan. Bahkan, di tengah tata kota yang semakin padat dan tegang.
Dalam survei yang dilakukan oleh Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) pada 2023 terhadap perilaku pengendara di lima kota besar, ditemukan bahwa 62% pengendara mengaku pernah membunyikan klakson saat lampu baru berubah hijau, dan lebih dari separuhnya menyebut alasan agar yang di depan cepat jalan. Akan tetapi, hanya 11% yang sadar bahwa hal itu bisa menimbulkan tekanan psikologis bagi pengemudi di depan.
Peristiwa ini disebut sebagai aggressive impatience, kata Dr. Sari Meilani, psikolog transportasi dari Universitas Indonesia. Ini bentuk agresivitas yang terselubung, karena didorong oleh rasa cemas, terburu-buru, dan tidak mampu mengelola emosi di ruang publik.
Tidak jarang pengendara yang berada di posisi paling depan merasa terintimidasi. Padahal, mereka kerap membutuhkan sepersekian detik untuk memindahkan kaki dari pedal rem ke gas, atau memastikan tidak ada kendaraan yang menerobos dari arah berlawanan. Klakson dari belakang hanya menambah tekanan dan bisa memicu kemarahan.
Dalam sejumlah kasus yang penulis amati di Cirebon, saat memantau lalu lintas, pengendara di depan yang terlalu terburu-buru karena diklasoni sering kali kagok; ingin bertabrakan dengan pengendara lain dari arah simpang kiri ataupun kanan, nyaris menabrak pejalan kaki yang terlambat menyeberang, sampai motornya tiba-tiba mati mendadak. Semua karena tekanan dari suara klakson di belakang.
Ternyata, klakson dalam konteks lalu lintas memiliki fungsi utama sebagai alat komunikasi peringatan, bukan sebagai alat desakan. Ini diatur jelas dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Pasal 72 ayat 1, yang menyebutkan bahwa klakson digunakan untuk memberikan isyarat peringatan kepada pengguna jalan lain.
Kendati demikian, dalam praktiknya, klakson kerap menjadi pelampiasan emosi atau cara memaksa agar kendaraan lain bergerak sesuai keinginan sendiri. Hal seperti ini tentu bertentangan dengan prinsip berlalu lintas yang mengedepankan kesabaran, kepedulian, dan keselamatan bersama.
Budaya tergesa-gesa di jalanan Indonesia juga didorong oleh tekanan waktu yang konstan. Orang berangkat kerja dengan waktu mepet, anak sekolah takut terlambat, kurir dikejar target pengiriman. Akumulasi tekanan ini tercermin di persimpangan jalan. Klakson menjadi semacam peluit kemarahan yang terus-menerus ditiup.
Tapi apakah klakson bisa menyelesaikan masalah? Tidak. Justru ia bisa memperparahnya. Dalam laporan WHO tahun 2022, Indonesia menempati urutan ke-5 sebagai negara dengan tingkat stres lalu lintas tertinggi di Asia Tenggara, salah satunya dipicu oleh polusi suara yang berasal dari klakson berlebihan.
Dalam perspektif sosiologi urban, perkara ini juga menunjukkan bagaimana ruang publik di kota-kota kita semakin menjadi arena konflik mikro. Di jalanan, ruang menjadi sempit, waktu menjadi mahal, dan empati menjadi barang langka. Pengendara saling mendesak, bukan saling memahami.
Lantas, bagaimana solusinya? Pemerintah daerah, melalui Dinas Perhubungan, perlu lebih gencar melakukan edukasi publik. Kampanye “Sabar di Simpang” dan “Klakson Seperlunya” bisa menjadi gerakan yang dimulai dari sekolah mengemudi hingga ke media sosial.
Selain itu, teknologi seperti traffic light countdown (penghitung waktu mundur di lampu merah) terbukti mampu mengurangi kebiasaan membunyikan klakson secara prematur. Ketika pengemudi bisa memperkirakan kapan harus siap jalan, ketegangan pun berkurang.
Kita juga membutuhkan peran komunitas, baik komunitas pengemudi, ojek online, maupun kurir untuk menanamkan nilai bahwa kesopanan di jalan bukan kelemahan, tapi kekuatan. Etika berkendara adalah bagian dari kecerdasan sosial yang belum banyak diajarkan.
Klakson yang dibunyikan tanpa keperluan mendesak tidak hanya tidak berguna, melainkan juga bisa menjadi pemicu konflik. Di banyak kota, pertengkaran di jalan sering bermula dari klakson yang terdengar terlalu cepat atau terlalu lama.
Lebih jauh, ini bukan hanya soal etika pribadi. Ini menyangkut tata kelola kota secara umum. Kota yang beradab ialah kota yang warganya mampu menjaga diri, walaupun ketika tidak diawasi. Sebab lalu lintas itu gambaran paling telanjang dari mentalitas para pengendara.
Jika ingin jalan raya yang tertib dan aman, maka perubahan harus dimulai dari kesadaran bahwa setiap pengemudi memiliki hak waktu yang sama. Tidak semua orang memiliki respons yang secepat reflek supir balap. Memberi jeda dua detik sebelum jalan bukanlah sebuah permasalahan.
Lebih jauh lagi, di negara-negara dengan lalu lintas padat seperti Jepang atau Norwegia, membunyikan klakson sembarangan bisa dianggap sebagai tindakan tidak sopan atau pelanggaran kecil. Di sana, keteraturan dimulai dari kepercayaan bahwa yang di depan tahu apa yang harus dilakukan.
Oleh karena itu, mari kita membangun kesadaran jalanan yang lebih ramah. Bukan dengan mempercepat segalanya yang bisa menimbulkan konflik antar pengendara. Mungkin, jika kita mulai dengan menahan satu kali klakson, kita juga sedang menahan satu konflik kecil yang bisa berdampak besar.
Perilaku membunyikan klakson tepat ketika lampu hijau menyala bukanlah bentuk kepedulian, melainkan desakan yang tak perlu. Di tengah hiruk-pikuk lalu lintas yang padat dan waktu yang selalu terburu, marilah kita belajar menunggu dengan sabar. Karena sejatinya, orang sabar bukan karena tak mampu bergerak cepat, tapi karena tahu waktu yang tepat. Sebagaimana peribahasa bilang, biar lambat asal selamat.***