Di Balik Kasus Siswi Tenggak Cairan Kimia, Di Mata Keluarga “M” Pendidikan Gratis Hanya Omon-omon

*Latar Belakang Kasus
-Seorang siswi SMA di Kabupaten Cirebon, berinisial M (17 tahun), mencoba bunuh diri dengan meminum cairan pembersih lantai.
-Aksi tersebut dilakukan pada Jumat malam, 6 Juni 2025, sekitar pukul 23.30 WIB di sebuah toko buah tempat M bekerja di Pasar Kalitanjung, Kota Cirebon.
-Diduga, M depresi dan putus asa karena tidak bisa melanjutkan sekolah akibat keterbatasan ekonomi.
*Kondisi M Saat Ini
-Saat ini, M masih dirawat di RS Gunung Jati, Cirebon.
-Kondisi fisik dan psikis M masih lemah dan terguncang, menurut Faozan TZ, Advokat dan Ketua LBH Badan Pejuang Demokrasi Kota Cirebon yang mendampingi kasus ini.
*Faktor Penyebab Kejadian
-M dikeluarkan dari sekolah karena tidak mampu membayar biaya pendidikan.
-Ia juga diusir dari kos karena tak mampu membayar sewa.
-Demi bertahan hidup, M bekerja sebagai pelayan toko buah dengan upah hanya Rp20.000 per hari.
-Orang tuanya tak sanggup mengumpulkan cukup uang untuk biaya sekolah menjelang tahun ajaran baru.
*Tanggapan dan Bantuan
-Kasus M menjadi sorotan Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi (KDM).
-SMA Negeri 1 Cirebon menyatakan siap menerima dan membantu M melanjutkan pendidikan.
-Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan, Karnengsih, menjelaskan bahwa pihak sekolah telah berkomunikasi langsung dengan orang tua M.
-Proses mutasi dan administrasi (Dapodik) sedang diurus.
-M akan masuk sebagai siswa kelas XI (sebelas).
-Kepala KCD Pendidikan Wilayah X Jabar, H Ambar Triwidodo, menegaskan bahwa proses penerimaan M sudah “clear” dan SMA 1 Cirebon masih memiliki kuota.
DI balik gemerlap pembangunan dan slogan “pendidikan untuk semua,” seorang gadis remaja di Kabupaten Cirebon berinisial M (17 tahun), nyaris kehilangan nyawanya karena satu alasan yang memilukan. Ia tak sanggup melanjutkan sekolah lantaran tekanan ekonomi keluarga.
M, siswi SMA di wilayah Tengahtani, mencoba mengakhiri hidupnya dengan menenggak racun. Aksi nekat itu membuka mata banyak pihak tentang betapa rapuhnya ruang hidup anak-anak dari keluarga rentan, terutama soal harapan mengakses pendidikan layak.
Kasus M segera mendapat perhatian Bupati Cirebon, H. Imron yang menyatakan kesiapannya untuk memberi bantuan pendidikan bagi M secara langsung.
“Kami siap membantu agar M kembali sekolah dan hidup dengan layak. Ini tanggung jawab kita bersama,” kata Imron, Selasa (10/6/2025).
Menurut Imron, pihaknya belum mengetahui secara pasti tempat tinggal M karena sang gadis sering berpindah-pindah. Namun, ia memastikan akan menelusuri dan memberikan ruang bantuan semaksimal mungkin, termasuk menawarkannya tinggal dan belajar di pondok pesantren (pontren) asuhannya.
“Kalau memang tidak keberatan, kami sangat siap bantu. Kami biasa menampung anak-anak dari latar belakang pesantren seperti M,” tambahnya.
Kisah M bukan hanya soal kegagalan akses pendidikan, tetapi juga soal krisis mental yang dialami remaja ketika mimpi-mimpi mereka runtuh oleh keterbatasan ekonomi. Di usia yang seharusnya penuh semangat dan cita-cita, M justru terjerumus ke dalam keputusasaan karena tak bisa melihat masa depan yang pasti.
Insiden ini menjadi alarm keras bahwa tekanan mental pada pelajar dari keluarga miskin sering kali luput dari perhatian, dan tak jarang berujung pada tragedi diam-diam.
Meski M kini dalam pengawasan medis di RSUD Gunung Jati dan mendapat perhatian juga dari Gubernur Jawa Barat, kasus ini menyisakan pertanyaan mendasar, berapa banyak siswa dengan kasus serupa lain yang diam-diam terperangkap dalam situasi serupa?
Jika pendidikan benar-benar menjadi hak dasar, maka negara, dalam hal ini pemerintah daerah, harus proaktif memetakan dan menjangkau anak-anak dari keluarga termiskin, bukan menunggu mereka berada di ambang putus asa.
Bupati Imron berencana menjenguk M secara langsung selepas Magrib. Ini bukan sekadar kunjungan, tapi langkah penting untuk menunjukkan bahwa negara hadir dan mendengar. Namun, lebih dari itu, perlu ada sistem yang menjamin tak ada satu pun anak Indonesia yang kehilangan harapan hanya karena mereka miskin.(Mail)