Menertibkan Tukang Parkir Liar

Menertibkan, Tukang ,Parkir, Liar
Oleh: Andrian Saba
Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UGJ Cirebon
Pemandangan seperti ini sudah terlalu biasa. Seorang pria berkaus lusuh berdiri di tepi jalan minimarket, mengibaskan tangan ke arah pengemudi yang hendak parkir sembari berkata terus, terus, setop, dan sesekali membunyikan peluit. Usai kendaraan berhenti, ia mengincar dan mengejar jendela kaca mobil pengemudi. Lalu, berharap ada imbalan jasa parkir berupa uang. Tidak ada karcis, tidak ada tanda pengenal, apalagi seragam.
Gejala maraknya tukang parkir liar menjadi bagian dari lanskap kota-kota besar dan kecil di Indonesia. Mereka muncul di tepi-tepi minimarket, taman kota, halaman rumah ibadah, trotoar pertokoan, sampai di kawasan larangan parkir. Mereka hadir di mana pun ada ruang dan peluang.
Di balik peluit mereka, terselip masalah sistemis, yaitu lemahnya penegakan hukum, pengangguran yang tinggi, serta absennya penataan ruang dan layanan parkir yang tidak manusiawi. Parkir liar tidak tumbuh dalam ruang hampa. Ia menjalar di sela-sela ketidaktertiban.
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, serta Peraturan Daerah terkait retribusi parkir, jelas menyatakan bahwa pengelolaan parkir adalah kewenangan pemerintah daerah. Sayangnya, dalam praktiknya banyak ruang publik dikuasai oleh pihak-pihak tak berizin.
Di mata hukum, tukang parkir liar masuk dalam kategori pungutan liar (pungli). Praktik ini dapat dijerat dengan ketentuan pidana dalam UU Tipikor atau KUHP, tergantung konteks dan pelakunya. Akan tetapi, penegakan hukum terhadap parkir liar lebih banyak bersifat situasional ketimbang sistemis.
Pemerintah daerah melalui Dinas Perhubungan memiliki perangkat untuk menata parkir. Petugas resmi parkir biasanya mengenakan seragam khusus, membawa identitas petugas, serta menyediakan karcis parkir yang menjadi bukti transaksi resmi atas nama negara.
Sementara itu, tukang parkir ilegal umumnya tidak memiliki atribut apapun. Mereka berdiri secara individual atau berkelompok, menetapkan tarif parkir sesuka hati, dan tak pernah menyetorkan pendapatan kepada kas daerah.
Tak jarang, praktik parkir liar dibungkus dengan kekerasan simbolis. Pengemudi terpaksa membayar karena khawatir kendaraannya dirusak. Ada rasa terintimidasi yang menyelinap dalam interaksi sepintas. Ini menjadikan parkir liar sebagai bentuk pemerasan terselubung.
Meski demikian, sebagian dari mereka juga merupakan potret buram dari kota yang tak mampu menyediakan pekerjaan layak. Tukang parkir liar bukan hanya pelaku pelanggaran, tetapi juga korban dari ketimpangan struktural. Di sinilah dilema sosial muncul.
Di sisi lain, tidak sedikit praktik parkir liar yang justru dibiarkan karena ada keterlibatan oknum aparat atau pengelola lahan. Ruang-ruang publik menjadi dimiliki oleh kelompok informal (tidak resmi) yang tak tersentuh hukum.
Pemerintah daerah tidak bisa hanya mengandalkan operasi penertiban secara insidental atau dilakukan hanya pada waktu tertentu. Diperlukan strategi jangka panjang untuk membangun sistem parkir yang terintegrasi, transparan, dan berbasis digital agar dapat memutus rantai liar ini.
Penggunaan aplikasi parkir, pemasangan meteran parkir digital, serta penunjukan pihak ketiga yang profesional untuk mengelola layanan parkir publik adalah langkah yang patut diperluas. Teknologi seperti inilah yang bisa memangkas ruang abu-abu yang kini dikuasai peluit liar.
Perlu diketahui bahwa meteran parkir ialah alat elektronik atau mekanik yang digunakan untuk mengatur dan memungut biaya parkir kendaraan di tempat umum, terutama di kota-kota besar. Alat ini mempunyai banyak fungsi, seperti menghitung waktu parkir kendaraan secara otomatis, menentukan biaya parkir berdasarkan lama waktu kendaraan terparkir, mencegah parkir sembarangan karena ada batasan waktu dan biaya, serta mendukung transparansi dan mengurangi pungutan liar.
Penataan parkir tidak akan berhasil tanpa dukungan masyarakat. Edukasi publik tentang hak dan kewajiban dalam menggunakan ruang publik perlu terus ditingkatkan. Pengemudi perlu dibekali informasi tentang siapa petugas resmi parkir, berapa tarifnya, dan di mana lokasi legal untuk parkir.
Selain itu, Pemda perlu menjalin koordinasi yang erat antara Dishub, Satpol PP, hingga aparat keamanan untuk memastikan bahwa ruang-ruang publik tidak jatuh ke tangan preman bermodal peluit.
Untuk membedakan tukang parkir resmi dan liar, masyarakat bisa mencermati beberapa hal. Petugas resmi memakai seragam (biasanya oranye atau biru dengan atribut dinas), membawa karcis atau alat cetak digital, serta bertugas di zona parkir yang ditetapkan Pemda.
Jika tidak memenuhi ciri-ciri itu, besar kemungkinan mereka adalah petugas ilegal. Bila diminta membayar di zona bebas parkir atau dikenakan tarif tak wajar tanpa karcis, masyarakat berhak menolak.
Sudah tentu dibutuhkan keberanian warga untuk bersikap kritis dan aktif melaporkan pelanggaran. Namun, keberanian itu hanya akan tumbuh jika negara hadir di sisi mereka, memberi perlindungan hukum dan ruang gerak yang aman.
Parkir seharusnya menjadi bagian dari layanan publik yang terstandar, bukan arena kompromi dengan ketakutan. Kota yang sehat itu kota yang tertib, termasuk dalam urusan sekecil parkir.
Tak boleh lagi ada ruang-ruang yang dikuasai oleh mereka yang mengklaim hak atas nama ketidakteraturan. Tidak semua yang bersiul itu petugas. Tidak semua yang tersenyum itu memberi layanan.
Menertibkan tukang parkir liar bukan semata urusan lalu lintas, melainkan kerja besar menata kota, mengembalikan kepercayaan publik, dan menghadirkan keadilan sosial di ruang-ruang yang selama ini terpinggirkan.
Membersihkan parkir liar tak bisa disapu dengan peluit, apalagi dibasmi dengan spanduk larangan. Dibutuhkan keberanian hukum, ketegasan pemerintah, dan kesadaran bersama. Jika tidak, kelak bukan hanya jalan yang dikuasai tukang parkir liar, tetapi juga kewarasan kota yang terus dikikis oleh kesemrawutan yang dibiarkan.***