Pesan Ekologis Bencana Longsor Gunung Kuda

Oleh: Indra Yusuf
Alumni Jurusan Pendidikan Geografi UPI Bandung
Bencana longsor yang terjadi pada Jum’at (30/5/2025) di kawasan penambangan batu alam Desa Cipanas, Kecamatan Dukupuntang, Kabupaten Cirebon telah menimbulkan duka mendalam bagi pekerja tambang dan masyarakat Cirebon sekitanya. Berdasarkan informasi dari BPBD Kabupaten Cirebon dan Diskominfo Kabupaten Cirebon, bencana tersebut telah menelan 18 korban jiwa, dan kemungkinan masih bisa bertambah mengingat masih terdapat sejumlah korban yang belum ditemukan
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi atau yang akrab disapa KDM, mengambil langkah cepat dengan mengehentikan seluruh aktivitas tambang batu alam di kawasan Gunung Kuda, Kabupaten Cirebon. Tidak hanya itu bahkan Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah resmi mencabut setidaknya 3 perusahaan tambang galian C yang beroperasi di Kawasan Gunung Kuda.
Peristiwa longsor di Gunung Kuda sebetulnya telah terjadi beberapa kali dan seringkali menimbulkan korban jiwa, salah satunya bencana longsor terjadi pada tahun 2015 silam. Secara geologis bencana longsor Gunung Kuda merupakan salah satu bentuk gerakan tanah yang terjadi akibat bahan rombakan pada tebing dimana terdapat aktifitas tambang batu alam atau bahan galian C. Faktor lain yang menjadi pemicu bencana tersebut adalah kemiringan lereng yang sangat terjal dan gangguan pada lereng akibat pemotongan lereng.
Tentunya selain duka mendalam dari para korban bencana longsor tersebut terdapat juga pesan lingkungan (ekologis) bagi masyarakat sekitarnya. Aktifitas pertambangan di lokasi tersebut telah dilakukan selama berpuluh tahun. Kejadian longsor pun bukan kali ini saja dan telah beberapa kali menimbulkan korban jiwa. Keberadaan penambangan dan industri batu alam dikawasan tersebut telah sejak lama menimbulkan permasalahan lingkungan akibat limbahnya mencemari sungai dan ekosistem lain disekitarnya. Menurut data yang ada dari sekian banyak pengusaha batu alam, masih sangat sedikit yang memiliki instalasi pengolahan air limbah (IPAL).
Sementara berdasarkan data Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Kabupaten Cirebon akibat aktifitas industri batu alam tersebut sungai yang mengaliri sawah tercemar hingga tingkat kekeruhan mencapai 7.920 miligram per liter. Padahal ambang batas kandungan mineral dalam air hanya 200 miligram per liter. Akibat pencemaran tersebut produktifitas pertanian menjadi menurun karena lahan di areal persawahan menjadi keras. Di samping itu sungai cepat mengalami pendangkalan serta budidaya perikanan yang dilakukan warga menjadi terganggu.
Sementara secara umum faktor penyebab terjadinya longsor di lokasi tersebut adalah adanya aktivitas penambangan yang menyalahi aturan. Penambangan dilakukan mulai dari bawah bukan dari lereng atas. Padahal areal penambangan tersebut memiliki lereng yang terjal. Seharusnya sistem penambangan dilakukan dengan metode terasering, agar kondisi tanah tidak bergeser.
Seharusnya setiap kegiatan penambangan dapat memperhatikan aspek geologi, sosial-ekonomi-budaya (sosekbud) dan penggunaan lahan sekitarnya. Aspek geologi yakni aspek yang berkaitan dengan topografi, sifat fisik batuan, hidrogeologi dan kebencanaannya.
Berdasarkan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Jawa Barat secara umum batuan penyusun daerah kawasan Gunung Kuda berupa Formasi Kaliwangu yang terdiri dari batulempung dengan sisipan batupasir tufan, konglomerat, lapisan batupasir gampingan (Tpk); Hasil Gunungapi Muda Tak Teruraikan yang terdiri dari breksi, lava, pasir tufan, lapili dari G. Cereme (Qyu); Hasil Gunungapi Muda-Lava yang terdiri dari aliran lava G. Cereme (Qyl).
Sementara menurut peta zona Gerakan tanah dari Badan Geologi, bahwa potensi gerakan tanah di Kecamatan Dukupuntang termasuk pada zona kerentanan gerakan tanah menengah hingga tinggi. Artinya pada zona ini terdapat potensi terjadinya gerakan tanah jika curah hujan di atas norma, terutama pada daerah yang berbatasan dengan lembah sungai, gawir, tebing, tebing jalan atau jika lereng mengalami gangguan, serta gerakan tanah lama bisa aktif kembali.
Terkait dengan bencana longsor tersebut Badan Geologi Kementerian Energi Sumber Daya Mineral merekomendasikan beberapa hal guna mencegah terjadinya bencana gerakan tanah yang serupa di kemudian hari, yakni sebagai berikut: Pertama. agar masyarakat yang berada dekat dengan lokasi bencana agar segera mengungsi ke lokasi yang lebih aman dari bencana gerakan tanah, karena daerah tersebut masih berpotensi terjadi gerakan tanah/longsor susulan. Kedua, pemasangan rambu rawan bencana longsor di sekitar lokasi yang longsor untuk meningkatkan kewaspadaan.
Ketiga, penanganan longsoran (evakuasi/pencarian korban tertimbun) agar memperhatikan cuaca dan lereng terjal, agar tidak dilakukan pada saat dan setelah hujan deras, karena daerah ini masih berpotensi terjadi gerakan tanah susulan yang bisa menimpa/menimbun petugas yang berwenang. Patuhi anjuran/intruksi petugas yang berwenang. Keempat. melakukan pemantauan secara rutin agar bisa mendeteksi lebih dini terkait potensi gerakan tanah/longsor.
Kelima, cara penggalian penambangan yang baik antara lain adalah dengan memotong lereng secara undak-undak dan pemotongan lereng tebing dimulai dari lereng bagian atas. Keenam, Perlu dilakukannya sosialisasi masalah kebencanaan oleh pemerintah daerah kepada masyarakat untuk pemahaman dan antisipasi tanah longsor.
Di samping itu dari bencana longsor ini setidaknya ada beberapa pesan ekologis bagi pemerintah khususnya dan semua masyarakat pada umumnya. Pertama, bencana lingkungan lebih dominan terjadi karena kelalaian manusia dalam memperhatikan lingkungannya. Kedua, bencana lingkungan seringkali merupakan bencana laten atau tersembunyi karena prosesnya yang berjalan sangat lambat (creeping disaster) sehingga kita pun seringkali mengabaikannya.
Ketiga, kebijakan pembangunan yang dilakukan mutlak mempertimbangkan aspek-aspek ekologis. Keempat, perlu ditingkatkannya monitoring terhadap daerah yang memiliki tingkat kerawanan (vulnerability) bencana hidrometeorologi seperti daerah lereng curam, tingkatkan pemeliharan dan rehabilitas sungai, situ atau waduk yang tersebar di seluruh Jawa Barat.
Sebenarnya pesan ekologis telah disampaikan alam secara berulangkali, baik melalui banjir bandang maupun tanah longor. Hanya saja kita yang selalu mudah lupa dan tidak pandai melakukan tindakan preventif melalui mitigasi prabencana. Kita hanya terbiasa dengan tindakan reaktif manakala bencana telah terjadi. Kita berharap pesan kali ini tidak sekedar menjadi pesan tak bermakna melainkan sebuah peringatan alam terhadap perilaku kita semua terutama stakeholder pembangunan agar dapat lebih bijak dalam mengelola lingkungan.***