Warga Melawan Debu

SUDAH lebih dari satu dekade persoalan batubara di Pelabuhan Cirebon menjadi duri dalam kehidupan masyarakat RW 01 Pesisir Selatan, Panjunan, Kecamatan Lemahwungkuk. Debu hitam yang beterbangan bukan hanya simbol pencemaran lingkungan, tapi juga ketidakpedulian sistematis terhadap hak-hak warga atas udara bersih, informasi jujur, dan perlindungan hukum.
Kini, gugatan hukum dilayangkan oleh warga, bukan semata sebagai bentuk perlawanan hukum, melainkan jeritan panjang atas kegagalan dialog, abainya rekomendasi DPRD dan Pemkot Cirebon, serta dugaan pemalsuan dokumen yang semakin memperkeruh kredibilitas pihak pengelola pelabuhan.
Gugatan immateriil sebesar Rp 15 miliar yang dilayangkan bukan hanya soal nominal. Itu adalah simbol luka kolektif atas polusi yang diduga telah menginfeksi paru-paru warga, serta trauma atas perasaan ditipu oleh dokumen yang mereka bahkan tak merasa menandatanganinya.
Pertanyaannya, di mana posisi pemerintah daerah dan pusat? Rekomendasi yang diabaikan, keluhan yang tak digubris, dan negosiasi yang mandek telah menjadikan warga sebagai korban yang bergerak sendiri.
Situasi ini mencerminkan lemahnya keberpihakan pada rakyat dalam konflik kepentingan antara ekonomi dan ekologi.
Adanya stockpile batubara yang kembali beroperasi diam-diam pada tahun 2022 adalah bentuk pengingkaran terhadap kesepakatan 2018.
Kesepakatan yang jelas menegaskan, lalu lintas batubara boleh, tapi tanpa penyimpanan (stockpile). Bukankah ini bentuk penghianatan terhadap suara publik?
Tajuk ini menegaskan, pembangunan tanpa keberpihakan pada lingkungan dan warga adalah pembangunan yang cacat secara etika.
Pelindo Regional II dan perusahaan terkait harus membuka semua data dan dokumen secara transparan. Pemerintah Kota Cirebon pun tidak bisa terus menjadi penonton. Ini waktunya menjalankan rekomendasi yang sudah dikeluarkan dan berdiri di sisi warganya.
Akhirnya, gugatan warga ini bukan hanya tentang debu, tetapi tentang martabat, hak hidup layak, dan tanggung jawab negara untuk melindungi rakyatnya dari bahaya yang nyata. Negara tidak boleh menepi ketika rakyat melawan untuk bernapas.***