Markesot: Arsitek Kesadaran Kaum Terpinggirkan

Markesot: Arsitek Kesadaran Kaum Terpinggirkan
(Kado untuk Emha Ainun Nadjib)
Oleh: Syarifuddin
Penelaah Teknis Kebijakan pada Bagian Prokopim, Setda Kota Cirebon
Saya tidak pernah benar-benar bisa menjelaskan kapan saya mulai merasa bahwa Emha Ainun Nadjib (seterusnya ditulis Mbah Nun) adalah bagian dari sistem berpikir saya. Ketertarikan saya pada Mbah Nun bukan semata karena membaca tulisan atau mendengarkan ucapannya, tetapi karena saya merasa sedang dibaca dan dinasihati oleh beliau. Ketertarikan saya pada Mbah Nun juga bukan karena saya selalu sepakat pada setiap pendapatnya, tetapi justru karena Mbah Nun menumbuhkan semacam kebebasan di dalam diri saya untuk tidak harus selalu sepakat.
Namun, baiklah. Dari semua pintu masuk perkenalan saya pada Mbah Nun, Markesot adalah salah satunya. Nama Markesot muncul pertama kali dalam hidup saya sebagai karakter fiksi dalam buku-buku Mbah Nun, semisal Markesot Bertutur, Markesot Bertutur Lagi, Sinau Bareng Markesot, Siapa Sebenarnya Markesot?, dan Markesot Belajar Ngaji.
Namun, seperti semua tokoh fiksi besar, Markesot tidak berhenti di halaman buku. Markesot pada akhirnya hidup di lorong pikiran dan di gang sempit permenungan. Setelah membaca berulang-ulang, setelah sekian lama ditafakuri, saya sampai pada satu keyakinan bahwa Markesot bukan siapa-siapa dan karena itu Markesot adalah Mbah Nun sendiri.
Markesot bukan topeng dan bukan sosok yang banyak gaya. Markesot adalah bentuk perlawanan paling elegan dari seorang manusia yang menolak menjadi Tuhan kecil di podium dan memilih menjadi murid kehidupan yang duduk bersila di tikungan zaman. Markesot bukan guru besar, bukan ulama panggung, bukan motivator dengan jas parlente. Ia hanya manusia yang ingin tetap waras di tengah kegilaan yang dirayakan.
Di negeri ini, jadi penting bisa semudah tampil di televisi atau cerewet di media sosial. Namun, Mbah Nun hadir dengan jalan lain: tidak mengejar panggung, tidak haus pengakuan, bahkan tampak tidak peduli jika tidak disebut sebagai tokoh. Justru dari ketidaktergesaan itu, pentingnya beliau tidak bisa dibatalkan oleh rating atau algoritma.
Markesot—sosok yang saya rasa adalah Mbah Nun sendiri—bukan tokoh yang tampil untuk menghibur. Ia justru menjadi semacam cermin kusam dari zaman ini. Ia tampak bodoh, kadang lucu, sering tampak nyeleneh. Tetapi dari situ, kita sadar: terlalu banyak yang pura-pura tahu sedang memimpin dunia ini.
Ia tidak menyebut diri suci, tidak mengaku benar. Ia berjalan pelan, mendengar detidak batin orang kecil—berbeda dari elite yang sibuk tampil bijak sambil menindas nurani. Dalam Markesot Bertutur dan Markesot Belajar Ngaji, Mbah Nun menyampaikan gagasan yang dalam tanpa terlihat menggurui. Tulisannya lahir bukan dari mimbar, melainkan dari tikungan warung kopi.
“Kadang yang benar bukan yang disepakati. Tetapi yang diam-diam menanggung luka dari kesepakatan.” Kalimat itu cukup menjelaskan mengapa suara Markesot terasa makin relevan. Di zaman ketika ramai dianggap bijak dan mayoritas dianggap benar, Markesot datang membawa pesan pelan—dan justru karena itu menggugah.
Markesot bukan menarik diri, tetapi menjaga kewarasan di tengah hiruk-pikuk yang tidak lagi waras. Ketidakhadirannya di ruang formal bukan karena tidak mampu, tetapi karena tahu: kadang hadir justru merusak makna. Ia menolak diakui, karena pengakuan kerap melahirkan kemunafikan.
Dalam masyarakat yang gila tampil, Markesot diam. Bukan karena tidak tahu, tetapi karena paham: tidak semua harus dikatidakan. Ia tahu, kebisingan tidak selalu mencerdaskan—dan keheningan bukan tanda kalah. Justru dari sunyi, hikmah tumbuh. Di situlah akal sempat bernapas dan hati sempat bersih.
Ia tidak ikut lomba bicara. Saat semua tokoh berlomba tampil—pejabat, agamawan, aktivis—Markesot memilih menjadi jeda. Ia tahu, tidak semua hoaks harus dibantah, tidak semua kesalahan elite perlu diumbar, apalagi jika publiknya masih asyik menonton alih-alih membangun.
Di tengah zaman yang keranjingan bicara, Markesot adalah pengingat: diam pun bisa menjadi keberpihakan. Bukan karena tidakut, tetapi karena tahu, suara sejati lahir dari keheningan yang jujur. Mungkin karena itulah Mbah Nun memilih menjadi Markesot. Di dunia yang mengukur penting dari sorotan kamera, menjadi jeda adalah bentuk protes paling radikal. Dan di dalam jeda itu, kita akhirnya bisa benar-benar mendengar.
Sebagai seorang alumnus Program Studi Sastra Inggris, saya pernah belajar tentang para tokoh eksistensialis: Meursault dari The Stranger karya Camus, Ivan Karamazov dari Dostoyevsky, hingga Gregor Samsa dari Kafka. Tokoh-tokoh yang seolah hidup di semesta yang berbeda—mereka tidak tunduk pada logika umum masyarakat, tidak tunduk pada norma agama yang mapan, dan tidak percaya pada bahasa kekuasaan yang penuh tipuan. Mereka adalah manusia-manusia yang tidak nyaman di dunia, dan dunia pun tampaknya tidak nyaman dengan kehadiran mereka.
Dan saya sempat terpikat pada itu semua. Pada absurditas. Pada pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban. Pada renungan yang tidak berujung. Tetapi dari semua itu, yang paling saya ingat adalah rasa lelah. Sebab filsafat absurditas mengajak kita untuk tetap hidup meskipun tahu semuanya tidak punya makna. Bahwa keberanian terbesar manusia adalah tetap berjalan, meski tahu akhirnya hanya dinding hampa. Itu menggugah, tentu saja. Tetapi juga menguras tenaga.
Ia juga absurd, tetapi dengan cara yang berbeda. Ia tidak bisa dipahami oleh sistem kekuasaan yang mengukur segalanya dengan angka. Ia tidak diterima utuh oleh tata agama formal yang terlalu mengatur. Ia juga sulit dicerna oleh para ekonom yang bicara efisiensi dan pertumbuhan. Tetapi dari ketidaktercernaannya itulah justru muncul makna yang paling jernih. Markesot adalah jenis manusia yang ketika dunia memintanya lurus, ia justru membelok—bukan untuk melawan, tetapi untuk menemukan jalan pulang yang lebih sunyi.
Berbeda dengan Meursault yang menjauh dari Tuhan, atau Ivan Karamazov yang menolak rencana ilahi, Markesot tidak mendebat Tuhan. Ia justru menyapa Tuhan dengan cara yang sangat manusiawi: dengan tertawa, dengan mencibir, kadang dengan tangis diam-diam. Ia tidak menjadikan Tuhan sebagai sistem, tetapi sebagai sahabat yang bisa diajak bercakap dalam batin. Markesot tidak menantang langit, tetapi juga tidak buta terhadap luka di bumi.
Itulah mengapa Markesot bisa menawarkan harapan, sementara tokoh-tokoh eksistensialis klasik lebih sering meninggalkan kekosongan. Harapan dalam versi Markesot bukanlah optimisme palsu, bukan juga slogan motivasi, tetapi harapan yang tumbuh dari pengakuan akan luka, ketidaktahuan, dan keterbatasan. Harapan yang tidak dipaksakan, tetapi mengalir—seperti air sumur tua yang jernih karena tidak terus-menerus diaduk.
Markesot tidak menyuruh kita kuat, tetapi mengajarkan bahwa rapuh pun tidak apa-apa. Tidak menjadi seperti orang lain juga bukan masalah. Dunia terlalu sibuk meminta kita jadi sama. Tetapi Markesot, dengan cara jalan pincangnya, justru mengajarkan bahwa keanehan adalah tanda bahwa kita masih hidup sebagai diri sendiri. Karena memang begitulah hidup: tidak harus dimengerti seluruhnya.
Tidak harus bisa dijelaskan ke siapa pun. Cukup dijalani dengan kesadaran, dan kalau bisa—dengan sedikit cinta. Di tengah masyarakat kita hari ini—yang mudah sekali patah semangat, mudah sekali sinis, mudah sekali saling mencurigai—Markesot datang membawa versi kewarasan yang tidak diajarkan di sekolah mana pun. Ia hadir sebagai absurditas yang tidak melelahkan, tetapi menghangatkan. Ia menghibur yang putus asa, bukan dengan janji, tetapi dengan pelukan batin yang sunyi.
Dan saya pikir, mungkin inilah yang membuat Mbah Nun, melalui Markesot, tetap relevan. Ia tidak menawarkan utopia. Ia tidak menyuruh kita lari dari dunia. Tetapi ia menyodorkan sebuah cara bertahan yang tidak menyakiti. Cara hidup yang tidak harus selalu menang, tetapi tetap bermakna. Markesot mengajak kita untuk tetap berjalan, meski jalannya aneh. Karena keanehan itu bukan kegagalan menjadi manusia. Tetapi mungkin, justru itu bentuk paling jujur dari menjadi manusia seutuhnya.
Di tengah zaman yang memuja suara keras, Mbah Nun memilih diam. Bukan karena tak punya yang hendak dikatakan, tetapi karena tahu: hikmah bukan perkara siapa bicara paling lantang, melainkan siapa yang paling mampu mendengarkan zaman dengan batin yang jernih. Ada yang mendekat ke pusat kuasa agar bisa menyisipkan bisikannya. Ada pula yang menjauh karena takut basah oleh lumpur. Namun, Mbah Nun berdiri di tempat yang tidak bisa dipetakan oleh strategi kekuasaan. Ia tidak menjilat, tidak pula menyumpahi. Ia menjaga jarak bukan demi kemurnian citra, tetapi demi kejernihan makna.
Yang ia tempuh bukan jalan sunyi karena putus asa, melainkan jalan sepi yang justru paling ramai oleh tanya. Jalan yang tidak dilintasi kamera, tidak dihiasi tepuk tangan. Ia tidak menampik media, tetapi juga tidak menyesuaikan diri dengan irama viral. Ia tidak melawan zaman, hanya enggan ikut gempitanya.
Yang dilakukan Mbah Nun bukan “menyampaikan pendapat”—itu terlalu kecil. Ia merawat nalar yang sepi, yang tidak sibuk meyakinkan orang, tetapi sibuk berdamai dengan ketidaktahuan. Ia menulis, tetapi tidak untuk membangun altar pemujaan. Ia bicara, tetapi tidak untuk memenangkan debat. Ia hadir, lalu pergi, tanpa perlu diumumkan. Karena apa yang ingin ia tinggalkan bukan kesan, melainkan pengaruh yang bekerja diam-diam dalam kesadaran.
Di forum Maiyah, ia tidak menggurui. Di tulisan-tulisannya, ia tidak menuntut untuk dikutip. Ia hanya menabur benih makna, lalu membiarkannya tumbuh di tanah batin pembaca. Karena ia tahu: makna yang dipaksa lahir biasanya mati muda.
Kita hidup dalam era di mana semua hal harus tampil. Penderitaan pun harus layak tonton. Marah pun harus punya audiens. Kebijaksanaan dikemas seperti snack—cepat saji, mudah cerna, shareable. Namun, Mbah Nun menolak menjadikan kebajikan sebagai konten. Ia tidak menjual ketenangan sebagai produk. Ia menepi, bukan karena takut dilupakan, tetapi karena tahu: kehadiran sejati justru bekerja dari kejauhan.
Hikmah, kata Mbah Nun tanpa mengucapkannya, tidak lahir dari ruang penuh koor, tetapi dari kesunyian yang bersih dari kepentingan. Ia bukan sesuatu yang bisa dipoles agar tampak bijak. Ia lahir dari luka yang tidak diumbar. Dari cinta yang tidak ditagih. Dari pengalaman batin yang utuh—dan sering kali, pedih.
Orang yang membawa hikmah jarang terdengar paling keras. Mereka justru yang paling banyak kehilangan: pernah dicintai dan dikhianati, dipuja dan disingkirkan, dipanggil guru lalu dicurigai sebagai musuh. Dan mereka membalas zaman bukan dengan caci, tetapi dengan pengertian.
Maka tidak heran, Mbah Nun tidak tergesa menyatakan sikap setiap kali publik ribut. Ia tahu: suara yang terlalu cepat muncul seringkali hanya gema dari ego, bukan hasil dari perenungan. Justru karena itu, keberaniannya paling murni—ia berani tidak menjadi bagian dari keramaian. Sunyi yang ia pilih bukan bentuk absen, tetapi bentuk kehadiran yang tidak bisa diatur. Ia tidak tampil setiap hari, tetapi sekali datang, mengubah cara orang melihat hidup. Dan mungkin hanya mereka yang betul-betul berani hidup dalam sunyi—sunyi dari sorotan, dari pujian, dari citra—yang mampu menyampaikan hikmah tanpa suara.
Hari ini, ketika orang ramai-ramai berbicara agar dianggap peduli, kita rindu sosok seperti Markesot—yang tidak menawarkan pencerahan, tetapi memancarkannya. Ia tidak menuntut diyakini. Ia hanya menghidupi apa yang diyakininya. Dan itu cukup. Karena pada akhirnya, hikmah tidak perlu ramai. Ia hanya perlu tulus. Dan nyata.
27 Mei tahun ini, usia Mbah Nun genap 72 tahun. Tidak akan ada pesta megah. Tidak akan ada baliho besar bertuliskan “Dirgahayu Budayawan Kami”. Tidak akan ada panggung resmi dengan protokol lengkap. Dan tidak perlu ada semua itu. Sebab Mbah Nun, sejak awal, sudah memilih jalan yang tidak butuh perayaan. Ia sudah merayakan hidup dengan caranya sendiri—diam-diam, tetapi terus menerangi.
Ia tidak membutuhkan perayaan karena dirinya sendiri adalah perayaan: perayaan atas keberanian untuk tidak ikut arus, perayaan atas kesetiaan pada nilai yang tidak laku di pasar kekuasaan, perayaan atas kemanusiaan yang tidak pernah dijual murah. Ia hadir bukan dalam billboard atau headline berita, tetapi di percakapan warung, di peluk kesunyian orang yang sedang kehilangan arah, di air mata jamaah yang tidak tahu bagaimana cara menyebut Tuhan, tetapi tiba-tiba merasa dekat.
Mbah Nun tidak membangun universitas dengan gedung-gedung bertingkat, tetapi ia telah menjadi madrasah bagi ribuan orang—mereka yang hidup dalam keraguan, dalam gelisah, dalam luka. Ia tidak memberikan gelar, tetapi banyak yang merasa lulus dari ketidaktahuan karena pernah duduk di lingkaran Maiyah, atau sekadar membaca kalimat-kalimatnya yang seolah ditulis khusus untuk dirinya sendiri.
Sebagian orang menyebutnya budayawan. Sebagian lain menyebutnya kiai, penyair, seniman, pemikir jalanan. Tetapi buat saya, itu semua terlalu sempit. Sebab Mbah Nun adalah Markesot. Dan itu sudah cukup. Bahkan terlalu cukup.
Markesot tidak perlu menjadi ikon. Ia hanya ingin menjadi jalan setapak yang sepi, tempat orang bisa berjalan pulang ke dirinya sendiri. Ia tidak ingin disebut guru. Ia hanya ingin dikenal sebagai orang yang, di tengah kegaduhan, masih percaya bahwa manusia bisa diajak berbicara. Bahwa hidup bisa dijalani dengan sederhana, tetapi tidak sembarangan. Bahwa Tuhan tidak harus diteriakkan, cukup dihayati dengan hati yang bersih.
Saya tidak punya kado. Tidak ada bunga. Tidak ada buku pujian. Tidak ada sambutan yang berbunga-bunga. Hanya tulisan ini—yang mungkin kecil, mungkin remeh. Tetapi saya percaya, seperti yang panjenengan ajarkan: yang kecil, jika datang dari hati yang jujur, bisa melintasi batas-batas waktu dan nasib.
Terima kasih, Mbah. Terima kasih karena panjenengan telah mengajari saya untuk tidak tidak takut menjadi “bukan siapa-siapa.” Terima kasih karena panjenengan telah menunjukkan, bahwa menepi bukan berarti kalah. Bahwa diam bukan berarti tidak peduli. Bahwa menjadi manusia, cukup dengan menjaga akal sehat dan hati nurani, meski dunia mengolok-olok keduanya.
Selamat ulang tahun ke-72. Semoga umur panjang panjenengan terus menjadi jalan cahaya bagi saya yang masih sering tersesat di dalam terang. Semoga kesehatan dan ketenangan senantiasa mengiringi langkah-langkah sunyi panjenengan yang kami ikuti, pelan-pelan, sambil belajar memahami hidup.
Markesot tetap diam. Tetapi dari diamnya, saya belajar membaca arah pulang. Dan seperti yang panjenengan bilang: pulang itu bukan soal tempat. Tetapi tentang mengerti siapa diri kita, dan untuk apa kita dilahirkan.
Terima kasih, Mbah. Doa kami selalu mengiringi, meski mungkin tidak pernah terdengar. Tetapi saya tahu, panjenengan lebih percaya sunyi daripada suara.***