Negeri yang Tak Ramah bagi Perempuan

Oleh: Andrian Saba
Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UGJ Cirebon
Selamat datang di negeri yang rajin sekali berbicara tentang moral, pelecehan seksual justru tumbuh subur seperti ilalang di pekarangan rumah. Tak ditanam, tak juga dibasmi. Ia hadir di sekolah, berselimut seragam. Di pesantren, bersorban. Di kantor, berdasi. Di rumah, berbaju tidur.
Sekolah, tempat anak-anak diajarkan sopan santun, bisa berubah menjadi panggung sunyi tempat tubuh murid jadi objek eksperimental. Tangan guru yang seharusnya menggambar masa depan, malah sibuk menjelajahi peta tubuh yang bukan miliknya.
Di pesantren, tempat doa dan dzikir berkumandang, tapi ada suara lirih yang tak sempat menjadi takbir. Seorang santri perempuan memeluk takutnya di balik sajadah. Siapa yang akan percaya bahwa tangan sang ustadz yang bersih dari noda, ternyata kotor oleh nafsu?
Ini ujian kesabaran, mungkin ini yang menjadi kalimat bujuk rayu salah satu pengurus pesantren, seolah trauma adalah ladang pahala. Ah, betapa mudahnya menyucikan dosa dengan air wudu, sementara korbannya harus mencuci tubuhnya sendiri dengan air mata.
Di tempat kerja, godaan berwujud jabatan. Atasan menjelma serigala berbulu manajer. Merapatkan meja, menunduk dengan suara lembut, lalu berkata manipulatif, kamu berpotensi naik jabatan, asal tahu cara menyenangkan suasana lingkungan kantor.
Perempuan yang melawan, dijuluki terlalu sensitif. Yang diam, dituduh menikmati. Di tempat kerja, perempuan harus menjadi ninja; cekatan, sopan, tapi tak terlihat terlalu cantik, agar tidak menimbulkan fitnah.
Bahkan, di keluarga atau di rumah pun tak selalu jadi tempat aman. Banyak perempuan dan anak harus menanggung ketakutan setiap malam. Paman yang terlalu akrab, ayah tiri yang terlalu perhatian, atau kakak kandung yang tak pernah diajarkan batas. Kekerasan seksual di rumah bukan sekadar kekejian, tetapi juga ruang paling tabu untuk diungkap.
Menurut Komnas Perempuan, sebagian besar kekerasan seksual terjadi di lingkungan yang semestinya aman. Tapi masyarakat kita lebih terlatih menghakimi korban daripada menggugat pelaku. Mungkin karena menyalahkan rok korban lebih mudah daripada menyalahkan bejatnya perbuatan pelaku.
Sudut pandang lain, Tokoh NU, Savic Ali, menanggapi banyaknya temuan kasus kekerasan seksual dengan menekankan urgensi membangun sistem pencegahan, dan deteksi dini guna mencegah kekerasan seksual di lingkungan pesantren.
Di berbagai kampus dan sekolah unggulan, kasus pelecehan disapu di bawah karpet. Bukan diselesaikan, tapi dimutasi. Pelaku dipindahkan, korban diminta pindah sekolah. Yang mencabik malah dijaga reputasinya.
Dalam ruang pengadilan, korban ditanyai tentang pakaian, waktu kejadian, sampai ekspresi wajah. Seolah-olah tangisan tak cukup sebagai bukti luka.Di media sosial, banyak orang bicara soal sopan santun perempuan. Akan tetapi, tak banyak yang menyinggung tentang bagaimana pria seharusnya menjaga tangannya, mulutnya, hingga pikirannya. Media sosial memang menjadi ruang pelampiasan banyak korban. Tapi mereka juga tak luput dari ancaman, perundungan, dan komentar penuh kebencian. Seolah suara mereka mengganggu kenyamanan publik.
Pelecehan seksual kini bukan sekadar berita. Ia telah menjelma menjadi perbuatan tercela yang sering terjadi di sekolah, rumah, kantor, tempat umum, rumah sakit dan kendaraan atau transportasi umum. Yang menyedihkan, semua orang tahu, tapi sedikit yang benar-benar peduli. Laporan demi laporan masuk ke lembaga pemerintah dan media. Namun, yang naik ke permukaan hanyalah puncak dari gunung es. Sisanya mengendap di dasar ketakutan dan rasa bersalah yang dipaksakan pada korban.
Dari catatan di laman kemenpppa.go.id, tahun 2025 menorehkan luka. Sebanyak 6.767 kekerasan tercatat, dengan mayoritas korban menimpa perempuan sebanyak 5.832 jiwa, dan korban laki-laki sebanyak 1.390 jiwa.Dari sebaran wilayah, Jawa Timur tercatat sebagai provinsi dengan kasus kekerasan terbanyak, yakni 713 kasus. Menyusul di belakangnya, Jawa Barat mencatat 612 kasus. Sementara Jawa Tengah berada di posisi ketiga dengan 597 kasus.
Institusi kita lebih takut pada rusaknya nama baik, daripada rusaknya hidup seorang anak. Pendidikan kita masih mengajarkan hafalan, bukan keberanian untuk berkata, saya telah dilecehkan. Masyarakat kita juga masih gagap membedakan cinta dan kekuasaan, kasih sayang dan pengendalian. Hingga akhirnya, korban lebih sering diminta menyesuaikan diri dengan ketidakadilan.
Tapi harapan belum mati. Jika suara-suara korban terus disambut, bukan disingkirkan, maka perlahan kita bisa membawa perubahan demi mencegah banyaknya korban. Perempuan bukan penanggung dosa, melainkan penentu masa depan.
Lantas, apa solusinya? Ajarkan pendidikan seksual yang sehat dan menyeluruh, buat sistem pelaporan yang mudah dan berpihak, serta dukungan psikologis dan sosial yang berkelanjutan. Ini yang harus menjadi prioritas, dan ini tidak cukup dilakukan oleh negara saja. Masyarakat juga harus ikut bergerak. Pelecehan seksual merupakan perampokan martabat. Siapa pun pelaku yang merampoknya, harus dihukum bukan dengan ampunan publik, tetapi dengan hukum keadilan yang seadil-adilnya.***