Opini

Membunyikan dan Menyembunyikan Kekuasaan

Syarifuddin
Mahasiswa Prodi Magister Ilmu Administrasi Publik Sekolah Pascasarjana UT

Seorang teman suatu ketika bercerita pengalamannya ketika dulu (sebagai mahasiswa) harus mengikuti rapat besar himpunan. Dalam rapat tersebut, sang pemimpin rapat (tentu saja seorang senior) berujar banyak kalimat yang membuat teman saya itu agak terganggu. “Dulu, waktu saya jadi … (menyebut nama sebuah jabatan), saya bisa bikin ini itu dan berhasil,” kata sang senior. “Tapi, situasinya sekarang berbeda, Kang.” teman saya menimpali. “Sama saja. Kalau dulu bisa, ya sekarang juga pasti bisa.” tegas sang senior.
Teman saya bercerita banyak ihwal ragam ujaran yang terjadi selama rapat berlangsung. Beberapa lama saya terdiam dan mencoba memahami ragam ujaran yang mengganggu benak teman saya itu. Hingga akhirnya saya datang pada kesimpulan bahwa ujaran-ujaran sang atasan yang menganggu benak teman saya itu dapat dikategorikan sebagai ‘jebakan bahasa’. Dalam diskusi linguistik, jebakan bahasa memang kerap digunakan oleh kelompok dominan (pihak yang merasa memiliki kuasa lebih besar) untuk membenamkan kelompok subdominan dalam kerendahdirian yang akut, antara lain stigma, penyimpangan makna, dan kata bertaksa.
Hal tersebut menjadi dasar penulisan esai ini. Tentu saja, bukan untuk menyalahkan satu atau dua strategi komunikasi tetapi semata untuk menunjukkan betapa kayanya wacana komunikasi dalam ranah konsep dan praktik, apalagi dalam gaya komunikasi politik-kekuasaan.
Seorang tokoh besar bernama Peter F. Drucker, yang dijuluki “The Father of Modern Management,” pernah melontarkan kalimat yang terus menggema dalam ruang-ruang pemikiran tentang komunikasi: “The most important thing in communication is hearing what isn’t said.” Hal paling penting dalam komunikasi, katanya, adalah mendengarkan apa yang tidak diucapkan. Sebuah nasihat yang, meski sepintas terdengar sederhana, menyimpan kedalaman makna yang luar biasa. Dalam dunia yang makin gaduh oleh kata-kata, kita justru diajak untuk memberi perhatian pada senyap. Dalam era di mana setiap orang berusaha keras untuk didengar, Drucker mengingatkan kita akan pentingnya mendengar yang tak terdengar.
Ucapan ini membuka jendela pemahaman bahwa komunikasi tidak semata-mata soal ujaran, bukan melulu perkara apa yang terucap di mulut pembicara. Komunikasi sejatinya adalah jaringan makna yang dijalin oleh kata-kata, nada suara, intonasi, gestur, jeda, bahkan diam itu sendiri. Apa yang tidak dikatakan sering kali lebih berpengaruh ketimbang yang terang-terangan disampaikan. Sebuah alis yang terangkat, sebuah tarikan napas yang tertahan, atau pandangan mata yang berbelok tiba-tiba—semuanya adalah tanda. Tanda-tanda inilah yang membentuk semiotika sunyi yang sayangnya sering luput dari pembacaan kita yang terburu-buru.
Dalam konteks kekuasaan, “yang tak dikatakan” ini bahkan lebih mendebarkan. Di balik sebuah pernyataan “kita sudah kaji secara matang,” bisa tersembunyi seribu ketidakterbukaan metodologis. Di balik frasa “masyarakat sudah dilibatkan” bisa terselip absennya suara-suara minoritas yang tak pernah diundang ke ruang partisipasi. Maka, komunikasi tidak netral. Komunikasi adalah medan tarik-menarik antara siapa yang bisa mengatakan dan siapa yang hanya bisa diam; antara yang memiliki hak untuk memaknai dan yang sekadar dimaknai.
Itulah sebabnya, kesadaran akan komunikasi tidak cukup berhenti pada keterampilan berbicara atau menulis. Hal tersebut harus diperluas menjadi kesadaran hermeneutik—kesadaran menafsirkan. Kita harus menyadari bahwa setiap peristiwa komunikasi menyimpan celah interpretasi, menyimpan lapisan-lapisan yang perlu dikupas satu demi satu. Maka, seseorang yang hendak menjadi komunikator yang baik tak cukup hanya fasih, tapi juga peka. Tak cukup hanya tahu berkata-kata, tapi juga tahu kapan harus membaca yang tak terlihat dan mendengar yang tak terdengar.
Dalam bahasa filsuf Paul Ricoeur, komunikasi bukan sekadar transmisi informasi, tapi sebuah peristiwa pemahaman. Ada proses pembentukan makna yang terus bergerak, dan tidak selalu hadir secara eksplisit. Kata-kata yang diucapkan hanya sebagian kecil dari bangunan makna yang kompleks. Sisanya tersebar dalam konteks sosial, dalam sejarah pribadi pembicara dan pendengar, dalam kekuasaan simbolik yang mengikat struktur wacana.
Karena itu, dalam ruang-ruang komunikasi publik—baik itu ruang birokrasi, ruang media, maupun ruang pergaulan sosial sehari-hari—kita harus mulai memberi ruang pada keterampilan yang lebih halus: kepekaan terhadap yang tersirat. Jangan buru-buru mengambil kesimpulan dari apa yang dikatakan. Lihatlah juga siapa yang sedang tidak bicara, siapa yang sedang menunduk, siapa yang berulang kali mencoba menyela tapi tak pernah didengar. Mungkin di sanalah letak kebenaran yang paling jujur, yang selama ini terkurung dalam keheningan.
Sebagaimana kita tahu, tidak semua keheningan itu kosong. Ada keheningan yang bising oleh perlawanan batin. Ada diam yang justru berteriak karena terbungkam. Maka, memahami komunikasi adalah juga memahami distribusi kuasa atas suara. Dan kadang, keadilan komunikasi bukan terletak pada siapa yang paling banyak bicara, tetapi pada siapa yang paling sedikit diberi kesempatan untuk didengarkan.
Dalam struktur komunikasi kekuasaan, tidak semua orang memiliki hak bicara yang setara, bahkan dalam ruang yang tampak demokratis seperti rapat. Siapa yang berbicara paling awal, paling keras, dan paling sering, sering kali diasosiasikan sebagai “pemilik wacana”. Di sinilah kita menjumpai konsep powerful speech versus powerless speech. Yang pertama adalah ucapan yang sarat keyakinan, naratif heroik, dan absolutisme pengalaman, sedangkan yang kedua biasanya dibungkam sebelum berkembang.
Teman saya, yang mencoba memberi pandangan alternatif dengan menyebut “situasi sekarang berbeda,” langsung ditebas oleh generalisasi masa lalu. Hak untuk menyampaikan pikiran alternatif sering kali dibenturkan pada romantisme kejayaan. Maka, ucapan sang senior tidak hanya menunjukkan kuasa, tapi juga menciptakan penundukan: subordinasi terhadap sejarah pribadi.
Ketimpangan ini bukan hanya lahir dari struktur jabatan, tetapi juga dipelihara oleh bahasa itu sendiri. Ada yang dibolehkan menjadi narator, dan ada yang cukup menjadi objek narasi. Dalam diskursus publik, ini tercermin dalam praktik framing media, narasi pejabat publik, hingga konstitusi kebahasaan dalam forum-forum resmi. Bahasa akhirnya tidak netral. Ia bisa menjadi palu hakim sekaligus tirai yang menutupi beragam ide-ide baru.
Bahasa kekuasaan sering kali dibentuk dalam bentuk-bentuk kalimat yang seolah tak bisa dibantah. Kata-kata seperti “demi kepentingan bersama”, “demi stabilitas”, “demi kelancaran program strategis nasional” adalah contoh bagaimana kata-kata bisa membekukan nalar publik. Ketika frasa ini diucapkan, kritik dianggap tidak relevan, bahkan bisa dianggap ancaman. Inilah yang disebut oleh banyak linguis sebagai frozen language – bahasa yang dimaknai tunggal dan tidak memberi ruang dialog. Praktik ini tidak lagi mengundang tafsir, melainkan memaksakan makna.
Padahal, dalam kenyataannya, makna seharusnya lahir dari interaksi antara penutur dan pendengar, antara pembuat kebijakan dan masyarakat. Tapi kekuasaan, demi menjaga hegemoninya, kerap menjadikan bahasa sebagai pagar – bukan jembatan. Kata-kata yang seharusnya menjelaskan malah jadi alat untuk menutupi. Bahasa yang seharusnya memberi makna, justru menciptakan kekaburan.
Michel Foucault mengingatkan kita bahwa kekuasaan modern tidak lagi bekerja lewat kekerasan langsung, melainkan melalui mekanisme wacana. Artinya, kuasa hari ini tak lagi melulu tampak dalam bentuk larangan atau represi fisik, tetapi dalam cara berpikir yang dianggap “normal”, “rasional”, dan “logis” oleh masyarakat.
Di sinilah bahasa memainkan peran sentral dalam menyembunyikan kekuasaan di balik legitimasi teknokratik. Misalnya, ketika seorang pejabat mengatakan, “ini sudah hasil kajian,” maka seolah tak ada ruang bagi publik untuk bertanya, “kajian siapa?”, “dengan pendekatan apa?”, “berdasarkan kepentingan siapa?” Bahasa semacam ini sering digunakan untuk meloloskan keputusan politik dengan baju saintifik, atau menyamarkan agenda ideologis di balik istilah administratif.
Kita pun menjadi terbiasa mendengar kalimat-kalimat seperti “optimalisasi aset”, “revitalisasi kawasan”, “perampingan birokrasi” – tanpa pernah tahu siapa yang paling dirugikan, siapa yang diuntungkan, dan mengapa istilah-istilah itu terdengar sangat rapi tetapi juga sangat jauh dari realitas hidup warga biasa.
Dalam dunia yang kata Yasraf Amir Piliang disebut sebagai “dunia yang dilipat”, relasi kuasa dan wacana pun mengalami kompresi. Yang seharusnya terbuka menjadi tertutup, yang seharusnya dibahas bersama malah dimonopoli oleh segelintir orang. Dalam dunia yang serba cepat dan kabur ini, penting bagi kita untuk mengasah kesadaran linguistik agar tidak menjadi korban jebakan bahasa kekuasaan. Karena pada akhirnya, suara bukan hanya perkara volume, tetapi juga perkara siapa yang mengatur mikrofon dan siapa yang menentukan narasinya.***

Related Articles

Back to top button