Opini

Dari Kota Udang ke Kota Wacana

Oleh: Andrian Saba

Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UGJ CirebonDulu, Cirebon dikenal sebagai Kota Udang. Sebuah simbol kejayaan ekonomi lokal yang tumbuh dari kekayaan laut dan kegigihan para nelayannya. Tapi kini, sebutan itu seolah tenggelam, tergantikan oleh julukan yang lebih ironis, yakni Kota Wacana. Wacana jadi provinsi, wacana jadi daerah istimewa, dan wacana kawasan Rebana atau pertumbuhan ekonomi baru, semua dibicarakan. Namun, pekerjaan rumahnya masih berantakan.
Wacana demi wacana bermunculan dengan gegap gempita, dari ruang DPRD hingga forum-forum elite lokal. Sayangnya, banyak jalanan yang masih bolong, pelayanan publik lamban, dan tumpukan sampah jadi dekorasi tetap di sudut-sudut kota. Ibarat orang yang bercita-cita kuliah ke Harvard, tapi belum bisa menyelesaikan PR matematika kelas tiga SD.
Ambisi Cirebon menjadi provinsi baru sebenarnya sah-sah saja. Indonesia adalah negara demokrasi, dan aspirasi masyarakat harus dihormati. Tapi apakah Cirebon siap? Apakah infrastruktur, tata kelola, dan kualitas layanan publiknya sudah mencerminkan kesiapan administratif? Jawabannya, untuk saat ini, belum.
Menurut data dari Ombudsman RI (2024), Kota dan Kabupaten Cirebon masih termasuk wilayah dengan tingkat maladministrasi (kelalaian administratif yang dilakukan oleh pejabat negara) yang cukup tinggi. Banyak warga mengeluh soal proses pelayanan publiK yang berbelit, ketidakpastian layanan, hingga pungli yang masih bercokol diam-diam. Cita-cita jadi provinsi tidak akan menyapu bersih itu semua kalau mental birokrasinya masih bobrok.
Ada pula wacana dari Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi yang ingin menjadikan Cirebon sebagai “Yogyakartanya” Jawa Barat. Dasarnya? Kuliner, destinasi wisata dan budaya Cirebon. Padahal, konflik internal antar kesultanan sendiri sudah mencoreng wajah budaya lokal di mata publik. Perlu diingat, keistimewaan bukan sekadar romantisme sejarah, tapi kemampuan membuktikan ke publik tentang keunggulan tata kelola berbasis kearifan lokal.
Kalau ingin menjadi kota istimewa, benahi dulu hal-hal yang paling mendasar. Istimewa itu bukan titel kosong, tetapi kualitas hidup warga yang meningkat. Lihat Yogyakarta, pendidikan kuat, transportasi publik teratur, pemimpin dipercaya. Cirebon belum sampai di tahap itu.
Di tengah semua ini, sebelumnya kawasan Rebana datang membawa harapan. Pemerintah provinsi Jawa Barat menyebut Rebana sebagai masa depan industrialisasi regional. Cirebon menjadi bagian dari strategi besar itu. Tapi lagi-lagi, kesiapan lokal menjadi titik lemah. Infrastruktur menuju kawasan industri masih tambal sulam. Drainase buruk, transportasi publik minim, dan minimnya koordinasi antarinstansi.
Sementara itu, warga Cirebon sehari-hari masih berjuang dengan persoalan klasik. Air bersih yang tak merata, jalanan yang rusak bertahun-tahun, keamanan lingkungan yang minim, dan musibah banjir yang masih sulit diatasi.
Tentu saja, di sisi lain, wacana itu tak datang tanpa motif. Sebagian pihak menilai ada kepentingan politik di baliknya. Provinsi baru berarti struktur pemerintahan baru, gubernur baru, kantor baru, jabatan baru. Ini artinya, panggung kekuasaan baru. Bagi sebagian elite, ini bukan soal kesejahteraan rakyat, tapi soal distribusi kekuasaan yang lebih menguntungkan kelompoknya.
Apakah publik terlibat dalam pembicaraan ini? Tidak sepenuhnya. Banyak warga yang bahkan tidak tahu apa itu kawasan Rebana, atau mengapa Cirebon ingin jadi daerah istimewa. Mereka hanya tahu satu hal, hidup makin sulit, harga kebutuhan pokok yang sering merangkak naik, dan lowongan pekerjaan masih sulit didapat.
Sebenarnya, Cirebon bukan kekurangan potensi. Lokasinya strategis, punya pelabuhan, punya jalur kereta utama, dan sejarah budaya yang kaya. Tapi semua itu tak akan jadi apa-apa jika tidak ditangani dengan niat baik dan tata kelola yang jujur. Potensi hanya akan jadi catatan kaki di buku visi misi kepala daerah.
Memasuki periode kedua Bupati Imron, ini seharunya menjadi pelecut untuk mengubah Cirebon dari pabrik mimpi menjadi laboratorium solusi. Bukan sekadar membahas status administratif, tapi membenahi sistem pelayanan, membangun infrastruktur dengan standar, dan memotong birokrasi yang menyulitkan masyarakat.
Pembangunan tidak bisa berbasis ego elite. Ia harus berbasis data, aspirasi, dan realitas. Jangan sampai warga hanya jadi objek perayaan simbolik yang tak berdampak nyata dalam hidup mereka.
Ambisi tanpa eksekusi hanya melahirkan frustrasi. Kalau mau jadi provinsi, buktikan dulu bisa jadi kota yang tertib dan bersih. Kalau ingin jadi kota istimewa, pastikan warganya merasakan keistimewaan lewat layanan publik, bukan lewat pidato-pidato kosong.
Kita bisa memulai dari hal-hal kecil. Tambal jalan berlubang, atur ulang jadwal pengangkutan sampah, perbaiki sistem antrean pelayanan publik. Ini bukan hal spektakuler, tapi inilah hal-hal yang membuat warga merasa dihargai.
Jangan terus menambah mimpi baru ketika PR lama belum selesai. Jika Cirebon terus berjalan seperti sekarang, lebih banyak narasi daripada aksi. Maka, kota ini akan dikenal bukan karena kejayaan masa depan, tetapi karena kegagalannya mengelola masa kini. Sudah saatnya Cirebon keluar dari jebakan wacana dan masuk ke dunia nyata. Kota ini punya sejarah, punya potensi, dan punya daya.
Sebuah penegasan, kota yang besar bukan ditentukan oleh gelar administratif atau nama baru. Akan tetapi bagaimana ia memperlakukan warganya. Dari Kota Udang ke Kota Wacana, semoga Cirebon segera menemukan jati dirinya Kembali, bukan sebagai pabrik mimpi, tapi sebagai tempat tinggal yang manusiawi dan membanggakan.***

Related Articles

Back to top button