Opini

Fantasi Sedarah: Digital Brutal Abnormal

Oleh: Andrian Saba
Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UGJ Cirebon

Dunia digital seharusnya menjadi ruang ekspresi yang sehat dan aman. Namun, realita terkini justru menunjukkan wajah gelap dari dunia maya, salah satunya melalui grup Facebook bernama “Fantasi Sedarah”. Grup ini bukan sekadar tempat berkumpul, tapi sebuah komunitas berisi penyimpangan yang sangat mengerikan. Menjadikan inses dan anak-anak sebagai bahan candaan, fantasi, bahkan objek kekerasan seksual terselubung.
Dengan jumlah anggota mencapai 41 ribu orang, grup ini tidak hanya mencerminkan masalah individu, tetapi krisis moral kolektif yang telah merambah dan tumbuh subur secara daring. Angka tersebut bukan main-main. Ia menunjukkan bahwa penyimpangan semacam ini tak lagi berada di sudut gelap, tapi di ruang publik digital yang kita kunjungi setiap hari.
“Fantasi Sedarah” bukan hanya menormalisasi kekerasan seksual terhadap anak, tetapi juga menularkan ide-ide menyimpang kepada siapa saja yang penasaran. Sekali seseorang masuk, ia bisa dengan cepat disuguhi narasi, meme, hingga cerita pendek cabul yang menargetkan anak-anak dan anggota keluarga sendiri sebagai objek.
Kementerian Komunikasi dan Digital pun sudah bertindak. Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital, Alexander Sabar, menyatakan bahwa 30 link yang berafiliasi dengan grup tersebut telah diblokir. Tapi publik bertanya. Kenapa grup sebesar ini bisa berkembang begitu lama tanpa terdeteksi?
Di balik algoritma dan sistem AI yang katanya canggih, platform seperti Facebook ternyata masih gagal menyaring konten dengan muatan ekstrem semacam ini. Menyedihkan, karena anak-anak yang kita jaga mati-matian di dunia nyata, ternyata tak aman bahkan di layar yang ada di genggaman mereka.
Dari perspektif perlindungan anak, grup ini jelas melanggar segala bentuk norma hukum dan etika. UU Perlindungan Anak di Indonesia sudah tegas menyebutkan bahwa segala bentuk eksploitasi seksual terhadap anak, termasuk distribusi dan konsumsi kontennya, adalah tindak pidana.
Sayangnya, hukum kadang tertatih di belakang teknologi. Jejak digital memang ada, tetapi pelaku bisa menyembunyikan identitasnya dengan mudah. Sementara aparat bekerja dengan keterbatasan, konten-konten itu terus tersebar dan meninggalkan luka bagi korban yang tak terlihat.
Dari sisi psikologi, fenomena ini mencerminkan adanya gangguan kolektif, terutama dalam mekanisme pembentukan empati. Orang yang mampu tertawa atas kekerasan terhadap anak dan menyebarkannya, jelas menunjukkan ketumpulannya terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Dr. Irna Mulyani, psikolog anak dan keluarga, menilai ini sebagai bentuk delusi sosial atau tidak rasionalnya hubungan sosial. Ketika inses dijadikan hiburan, berarti kita sudah masuk fase paling jahatnya kejahatan. Yang abnormal dianggap biasa. Yang sakit dianggap lucu.
Tak kalah miris adalah komentar publik yang kadang justru menyalahkan korban atau sekadar menganggapnya fenomena dunia maya biasa. Padahal, banyak pelaku kekerasan seksual nyata memulai pelanggarannya dari ruang-ruang digital semacam ini.
Satu klik share bisa menguatkan jaringan predator. Satu komentar bisa memberi validasi untuk penyimpangan. Inilah brutalisme yang terjadi secara digital, tapi dampaknya sangat nyata di kehidupan anak-anak kita.
Kita pun harus menyadari, ada peran diam yang memperparah situasi, yakni ketidakpedulian publik. Ketika kita tahu tapi memilih diam, ketika kita lihat tapi menganggap itu bukan urusan kita, maka kita sedang membantu kejahatan tumbuh.
Dari perspektif ilmu komunikasi, fenomena “Fantasi Sedarah” adalah contoh sempurna dari normalisasi deviasi/ penyimpangan melalui komunitas daring. Mereka menciptakan ekosistem, bahasa, logika sendiri, dan itu yang membuat pelanggaran terasa wajar bagi anggotanya.
Bahkan, dalam studi digital behavior, semakin banyak interaksi dan komentar di grup semacam ini, semakin tinggi peluang kontennya naik ke permukaan. Ironisnya, Facebook sebagai platform justru diuntungkan dari segi engagement.
Maka wajar jika publik mempertanyakan, di mana tanggung jawab platform? Mengapa laporan pengguna sering diabaikan? Mengapa grup sebesar ini bisa lolos verifikasi dan terus aktif?
Tentu, kita tidak bisa berharap pada algoritma saja. Diperlukan gerakan moral kolektif, edukasi digital yang masif, serta pengawasan yang melibatkan masyarakat sipil, NGO, dan tokoh-tokoh pendidikan.
Kita juga harus mendorong lahirnya tim siber interdisipliner, yang tidak hanya terdiri dari ahli IT, tetapi juga psikolog, aktivis perlindungan anak, dan penegak hukum. Mereka harus bisa bertindak cepat, sigap, dan taktis.
Literasi digital bagi anak dan orang tua pun sangat krusial. Anak-anak perlu tahu bahwa mereka berhak aman di dunia maya. Orang tua harus sadar bahwa pengawasan digital sama pentingnya dengan pengawasan di dunia nyata.
Karena kalau tidak, kita akan terus mendengar cerita-cerita kelam dari balik layar ponsel. Dan ketika kejahatan itu akhirnya nyata menimpa anak-anak kita, penyesalan tak lagi berguna.
“Fantasi Sedarah” bukan sekadar grup menyimpang, tetapi cermin retak dari betapa lemahnya sistem kita melindungi anak. Maka, mari bersikap. Laporkan, edukasi, jangan pernah anggap kejahatan terhadap anak sebagai hiburan digital, dan jangan biarkan anak-anak kita menjadi korban selanjutnya karena kelalaian kolektif kita hari ini.***

Related Articles

Related Articles

Back to top button