Ragam

Alarm Kegagalan Tata Kelola

BANJIR bandang yang melanda Kabupaten Cirebon dan Majalengka bukan semata-mata akibat curah hujan tinggi, melainkan cermin dari krisis tata kelola lingkungan dan abainya tanggung jawab pemerintah.
Ribuan rumah terendam, ratusan jiwa mengungsi, sekolah diliburkan, sawah rusak, fasilitas umum lumpuh, semua ini bukan potret kejadian luar biasa, tetapi perulangan yang nyaris dianggap biasa.

Di Cirebon Timur, warga dari Desa Mekarsari, Ciuyah, Gunungsari, Japurabakti, hingga Astanamukti kembali menjadi korban luapan Sungai Ciberes. Tak ada korban jiwa memang, tapi trauma dan kerugian ekonomi tak terelakkan.
Ironisnya, ini bukan kali pertama, bahkan disebut bisa terjadi 32 kali dalam satu musim hujan. Artinya, banjir telah menjadi rutinitas tahunan yang dihadapi tanpa solusi nyata.

Sama halnya di Majalengka, khususnya Kecamatan Kadipaten dan Dawuan. Penyebabnya tak jauh berbeda, hujan deras, pendangkalan sungai, sumbatan jembatan, dan alih fungsi lahan pertanian.
Bahkan, muncul fakta mengejutkan bahwa tanggul di salah satu desa sengaja ditinggikan secara ilegal demi kepentingan pengairan sawah, kebijakan sepihak yang justru memperparah banjir.
Ini bukan lagi urusan cuaca, tapi masalah perencanaan, pengawasan, dan penegakan aturan yang lemah.

Tokoh masyarakat dan warga pun bersuara lantang, mereka tidak butuh sandiwara empati, melainkan tindakan nyata.
Kehadiran aparat pemerintah yang hanya datang saat banjir melanda, membawa bantuan instan dan berfoto, sudah tidak relevan. Yang dibutuhkan rakyat adalah program jangka panjang—normalisasi sungai yang benar (pendalaman, bukan hanya pelebaran), sistem drainase terpadu, edukasi lingkungan, serta perlindungan kawasan resapan air.

Sayangnya, daerah-daerah yang kerap terdampak banjir seperti Cirebon Timur sering merasa dianaktirikan. Pemerataan pembangunan masih menjadi jargon kosong jika warganya harus terus hidup dalam kecemasan setiap kali awan gelap menggantung.
Bencana ini seharusnya menjadi peringatan keras bagi Bupati Cirebon, Bupati Majalengka, bahkan Gubernur Jawa Barat, bahwa kebijakan yang tak berpihak pada keadilan lingkungan adalah kegagalan nyata.

Sudah saatnya seluruh pemangku kepentingan—pemerintah pusat, daerah, hingga masyarakat—melihat banjir sebagai sinyal kegentingan yang harus dijawab dengan reformasi tata ruang dan lingkungan.
Jika tidak, maka banjir bukan lagi bencana musiman, tapi warisan abadi bagi generasi berikutnya.***

Related Articles

Back to top button