CirebonRaya

Kiai Abbas Buntet Pesantren Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional

kacenews.id-CIREBON-KH Abbas Abdul Jamil Buntet Pesantren diusulkan menjadi Pahlawan Nasional. Hal tersebut merupakan ikhtiar dalam merawat semangat perjuangannya dalam mewujudkan dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Jejak perjuangan KH Abbas Abdul Jamil tak lagi sebatas cerita lisan atau penghormatan simbolik. Sosok ulama pejuang itu dinilai sebagai salah satu tokoh paling kuat secara historis untuk meraih gelar Pahlawan Nasional.

Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP), Prof Usep Abdul Matin, dalam gelaran Istighosah dan Seminar Nasional bertema pengusulan KH Abbas Abdul Jamil sebagai Pahlawan Nasional, di Pendopo Kabupaten Cirebon, Sabtu (17/5/2025).

“Sumber primer tentang KH Abbas Abdul Jamil adalah yang terbanyak yang pernah saya temukan selama menjadi anggota hingga kini ketua TP2GP,” kata Prof Usep, Guru Besar Sejarah Peradaban Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Menurutnya, total terdapat 67 sumber primer yang membuktikan kiprah Kiai Abbas, baik dalam bidang pendidikan pesantren, pergerakan kemerdekaan, maupun perlawanan terhadap kolonialisme.

Tak hanya dari dalam negeri, sejumlah dokumen juga tercatat dalam arsip luar negeri seperti Belanda dan bahkan media internasional seperti The New York Times.

Sumber-sumber ini mencatat peristiwa-peristiwa nyata yang diikuti Kiai Abbas pada era 1920-an hingga 1940-an, termasuk pemberitaan di media seperti Swara Nahdlatoel Oelama dan Kedaulatan Rakjat.

“Dalam ilmu sejarah, tanpa dokumen berarti tidak ada sejarah. Tapi dalam kasus Kiai Abbas, justru dokumennya paling banyak. Ini bukan sekadar wacana, tapi fakta yang teruji,” tegas Usep.

Pada tahun sebelumnya, pengusulan Kiai Abbas sempat terkendala karena keterbatasan data primer, yang kala itu hanya lima. Namun dengan kerja keras berbagai pihak, kini data itu melonjak drastis, menjadikannya salah satu kandidat terkuat.

Meskipun demikian, Usep mengingatkan bahwa dukungan publik tetap penting. Pengusulan gelar Pahlawan Nasional tidak semata-mata administratif, tetapi juga memerlukan dorongan moral dari masyarakat, termasuk melalui doa bersama atau istighosah.

Sementara itu, dalam tausiyahnya, Prof KH Asep Saifuddin Chalim menekankan pentingnya mengiringi ikhtiar ilmiah ini dengan ketulusan spiritual.

“Tawakkal bukan berarti diam. Tawakkal berarti berjuang sepenuh tenaga dan doa sepenuh hati. Buku tentang Kiai Abbas bisa selesai karena Allah membimbing lewat usaha keras kita,” ujarnya.

Sebagai putra daerah yang lahir di Setu, Plered, dan tumbuh di Majalengka, KH Asep merasa memiliki tanggung jawab moral untuk turut mengangkat nama besar Kiai Abbas.

Ia berharap sosok Kiai Abbas bisa menjadi simbol kebanggaan masyarakat Cirebon, Jawa Barat, dan bangsa Indonesia secara luas.

“Cirebon ini tanah besar, dan sudah saatnya memiliki pahlawan nasional yang bisa dibanggakan di tingkat nasional,” katanya.

Sementara itu, KH Mustahdi Abdullah Abbas yang mewakili keluarga KH Abbas Abdul Jamil dalam sambutannya mengungkapkan, yang terpenting dari perjuangan Kiai Abas adalah ikhtiar menumbuhkan sikap kebangsaan.

“Gelar Pahlawan Nasional tidaklah penting bagi sosok Kiai Abbas. Namun hal tersebut menjadi penting bagi kita semua sebagai ikhtiar merawat spiritnya, menjaga semangatnya, dan menumbuhkan sikap kebangsaan dan kepahlawanan beliau di dalam diri kita dan anak cucu kita generasi Indonesia, masa depan Cirebon yang akan datang,” katanya.

Kiai Mustahdi menjelaskan,Kiai Abbas tidak saja berjuang dalam medan peperangan, tetapi kesehariannya sebagai pengasuh Pondok Buntet Pesantren tidak bisa dilepaskan dalam dunia pendidikan.

Kiai Abbas didapuk sebagai panglima dalam perang 10 November 1945. Dalam pendidikan, Kiai Abbas juga merupakan sosok pembaharu pendidikan dengan membentuk sistem klasikal madrasah di saat banyak pesantren yang masih menolaknya. Di madrasah itu juga dimasukkan berbagai mata pelajaran pengetahuan umum.

“Ijtihadnya di bidang pendidikan dengan mendirikan madrasah dan sistem klasikal sejak tahun 1920-an menjadi catatan penting dalam sejarah pendidikan pesantren,” katanya.

Kiai Abbas aktif dalam wacana keagamaan melalui pengajarannya kepada santri-santri khusus sehingga lahir sosok seperti Prof KH Ibrahim Hosen yang menjadi Ketua MUI bidang Fatwa. Ada juga KH Tubagus Sholeh Ma’mun dan KH Jawahir Dahlan yang membidani lahirnya Jamiyyatul Qurra wal Huffazh bersama KH Abdul Wahid Hasyim.

Dalam gerakan sosial, Kiai Abbas juga terlibat aktif dalam jamiyyah Nahdlatul Ulama mulai tingkat cabang hingga nasional. Lebih spesifik lagi, Kiai Abbas juga menaruh perannya yang sangat kontributif dalam wacana keislaman dan gerakan sosial.

Dari tangan dinginnya, lahir sosok-sosok tokoh nasional seperti Prof KH Ibrahim Hosen, yang mendapat laqab Mujtahid Fatwanya Indonesia karena kontribusinya yang sangat penting di dalam perumusan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pemikirannya itu ia akui terinspirasi dari pengajiannya dengan Kiai Abbas yang sangat terbuka dengan keragaman mazhab fiqih.

Tidak saja dalam bidang fiqih, Kiai Abbas juga ‘melahirkan’ tokoh penting dalam bidang Al-Qur’an, yaitu KH Tubagus Sholeh Ma’mun dan KH Jawahir Dahlan. Keduanya menjadi sosok yang terlibat dalam pendirian Jam’iyyatul Qurra wal Huffazh Nahdlatul Ulama bersama KH Abdul Wahid Hasyim.

Di Nahdlatul Ulama, Kiai Abbas juga tercatat turut terlibat aktif dalam berbagai pertemuan di tingkat cabang hingga nasional.

Oleh karena itu, ia menegaskan, pengusungan Kiai Abbas menjadi Pahlawan Nasional menjadi penting. Sebab, Kiai Abbas adalah milik bangsa Indonesia yang perjuangannya harus terus dilanjutkan.

“Perjuangan Kiai Abbas masih harus dilanjutkan. Jika melihat pada hal tersebut, Kiai Abbas telah memulai dan kita harus terus melanjutkan perjuangan ini untuk masa kini dan masa depan yang lebih baik. Pengusungan Kiai Abbas sebagai Pahlawan Nasional adalah ikhtiar menuju ke sana,” katanya.

Senada, Penjabat Ketua Yayasan Lembaga Pendidikan Islam (YLPI) Buntet Pesantren KH Aris Ni’matullah meyakini Kiai Abbas sendiri tidak berkenan dengan gelar Pahlawan Nasional itu. Seperti orang tua yang memberikan jiwa raganya untuk anak, tentu tidak ada harapan mendapatkan balasannya.

“Kita sebagai santrinya, murid-muridnya, tentu saja ingin menempatkan beliau dalam posisi yang sebenarnya. Hanya itu yang bisa diberikan kepada beliau,” katanya.

Perjuangan Kiai Abbas ditunjukkan keberangkatannya dalam perang 10 November 1945. Meskipun jauhnya melebihi diperbolehkan qashar sebagaimana batasan fatwa diwajibkan untuk berperang, Kiai Abbas jauh-jauh berangkat menuju Surabaya demi mempertahankan kemerdekaan NKRI.

“Tapi beliau, integritas beliau, bukan persoalan kifayah atau sunnah, ini persoalan penjajahan harus hengkang dari Nusantara. Ini untuk lii’lai kalimatillah (meninggikan kalimat Allah),” katanya.

Oleh karena itu, pengusungan Kiai Abbas sebagai Pahlawan Nasional merupakan ikhtiar penting sebagai penghormatan masyarakat atas kontribusinya kepada bangsa.

“Ini keinginan mendalam sebagai penghormatan yang bisa kita lakukan untuk beliau sebagai teladan sebagai pilot bagi kita semua anak cucunya keluarganya santrinya,” katanya.

Sementara itu, Anggota TP2GD Mohammad Fathi Royyani menyampaikan bahwa secara dokumen, pengusungan Kiai Abbas sebagai pahlawan nasional sudah memenuhi kriteria. Kontribusinya tercatat dalam berbagai dokumen. Namanya diambil sebagai nama-nama gedung, mulai masjid, mushala, perpustakaan, hingga gedung pertemuan dan asrama haji.

“Seluruh kebutuhan data Insyaallah sudah terpenuhi. Banyak data primer terbaru yang ditemukan untuk menambah kekayaan dokumen, seperti dokumen Belanda hingga surat kabar New York Times,” kata Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) itu.(Mail/Fan)

Related Articles

Back to top button