Banyak Anak Banyak Masalah: Ketika Negara Tak Lagi Diam

Oleh: Angga Putra Mahardika
Mahasiswa Jurusan KPI UINSSNC
Vasektomi ramai disebut-sebut karena Gubernur Jawa Barat Kang Dedi Mulyadi (KDM) menjadikannya syarat untuk menerima bantuan sosial. Jelas ini bukan sesuatu yang bisa diselesaikan dengan logika. Dengan iya atau tidak, setuju atau menolak. Bukti bahwa kemiskinan struktural ada itu sebab banyak orang miskin yang memiliki anak. Petuah “Banyak anak, banyak rezeki” jadi tameng pelindung. Kemiskinan selalu jadi masalah yang berlarut-larut di negara kita tercinta. Dari sekian alasan dan jawaban, vasektomi jadi solusinya. Banyak negara yang sudah mengamini khasiat solusi ini. Namun, apakah bekerja dengan baik? Atau, malah mencederai masa depan negara? Tulisan ini tidak hendak membela atau menolak, melainkan mengajak kita membuka ruang berpikir bersama—dengan dialektika, bukan sekadar logika.
Secara sederhana, vasektomi adalah penutupan saluran sperma (vas deferens) laki-laki. Bisa disebut juga sterilisasi pria. Apakah nanti tidak bisa sama sekali ejakulasi? Bisa, tetapi tidak mengandung sperma yang bisa membuahi sel telur. Sebenarnya yang lebih diuntungkan adalah pihak pria. Sebab tidak ada efek samping hormon, gairah seksual, dan kemampuan ereksi. Dan juga pihak wanita tetap pada hormon estrogen prima. Tidak muncul jerawat atau naik berat badan. Aktivitas seksual juga bisa dilakukan beberapa kali sehari tanpa khawatir kebobolan. Selanjutnya pasti ada pertanyaan lagi, apakah vasektomi bisa dihilangkan? Ya, dengan proses kanalisasi.
Meskipun begitu, proses kanalisasi (vasektomi reversal) ini tidak semudah apa yang dibayangkan. Banyak hal yang mesti dipertimbangkan; upaya keberhasilan dibawah 100 persen, mahal, lebih rumit, dan tingkat kehamilan rendah. Ditilik lebih lanjut, rasa khawatir seharusnya tidak usah dihiraukan untuk lelaki yang sudah memiliki 2-3 anak. Karena pasti niat berhubungan badan juga bukan untuk mendapat keturunan, kan? Hanya sebagai pemuas kebutuhan biologis. Ironisnya, niat hati hanya untuk itu, malah Tuhan memberikan rezeki berupa janin dalam kandungan. Tidak ada yang salah dalam keadaan ini, karena keputusan hamil dan tidak bukan wilayah manusia. Ya, itu keputusan yang Maha Esa.
Ketika kebijakan ini dilempar ke khalayak, tidak semua berjalan lurus. Contohnya MUI, karena khawatir merusak keturunan, tidak bisa normal, dan lebih banyak mudharat-nya. Tentu keadaan miskin dan banyak anak, bukan ranah agama untuk menanggapi. Meskipun sebagian besar rakyat Indonesia beragama Islam, sangat sedikit sekali dari mereka yang melaksanakan salat–hanya 38,9 persen. Jadi jelas, agama tidak selalu jadi solusi terpercaya.
Di sinilah terjadi ketegangan antara dua kepentingan: hak asasi untuk bereproduksi dan tanggung jawab negara dalam melayani warga dengan layak. Permasalahan vasektomi ini harus diselesaikan dengan dialektika, bukan dengan logika. Yang menjadi objek adalah manusia, menurut Tan Malaka dalam buku madilog. Untuk menyelesaikan permasalahan soal benda yang bergerak, mestilah dipakai dialektika. Masyarakat miskin memiliki upah bulanan yang kecil. Mereka sangat susah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hiburan seperti TV, media sosial, belum tentu mereka ada. Bisa jadi berhubungan badan adalah salah satu hiburan bagi mereka–tanpa mampu membeli alat kontrasepsi. Ironisnya, kegiatan yang mereka anggap hiburan, berbalik menusuk takdir garis mereka sendiri. Istri hamil, kalau digugurkan, berbuat dosa, dikenai sanksi sosial. Dibiarkan lahir, bingung bagaimana cara memberi makan.
Sangat sulit jika kita membicarakan kemiskinan. Semuanya terasa begitu sulit, pedih, dan perih. Lalu, bagaimana negara ikut campur pada tingkat keluarga? Negara mengatur kehidupan rakyat dalam 3 tingkat; makro (besar), meso (menengah), mikro (kecil). Salah satu kebijakan meso adalah keluarga berencana dan PKK. Jelas pemerintah ikut menginterupsi manusia lewat keluarga. Vasektomi ini juga termasuk. Ada kehendak negara untuk mengatur populasi warga negaranya. Karena makin banyak warga, maka pelayanan yang diberikan pemerintah juga beragam dan kompleks. Sedangkan di sisi lain, mempunyai anak adalah bagian dari HAM. Perkara ini tidak bisa diputuskan dengan iya dan tidak. Kalau kita menyepelekan HAM, maka supremasi sipil bisa hilang. Bila kita tidak memperhatikan jumlah populasi, segera pelayanan negara tidak bisa mengikuti keadaan.
Penulis yakin, negara bersungguh-sungguh dalam mensejahterakan rakyat. Rakyat juga sudah melakukan banyak hal untuk mendukung negara. Bonus demografi adalah contoh alami yang bisa dilakukan rakyat untuk negara. Dan untuk mengendalikan bonus ini supaya tidak menjadi beban, maka negara harus ikut campur bila rakyat kewalahan. Salah satu solusinya KB, alat kontrasepsi. Fakta dan kenyataan, KB membuat wanita menderita secara hormonal. Dan tidak semua laki-laki ingin memakai kondom ketika berhubungan badan. Jadi sebenarnya, masalah kelahiran ini bukan masalah teknis. Melainkan masalah kesadaran dan pemahaman.
Kesadaran dan pemahaman ini juga hak rakyat. Serta kewajiban yang harus diberikan negara. Yang kita tahu, serta penulis rasakan adalah pemerataan pendidikan di ranah kuantitas dan kualitas, belum terwujud penuh. Banyak sekolah swasta yang lebih bagus dari sekolah negeri. Di mana sekolah swasta biasanya membutuhkan biaya lebih, ketimbang sekolah negeri. Jadi kembali lagi, komersialisasi pendidikan dan kapitalisasi ambil bagian dalam hidup masyarakat Indonesia. Penulis merasa soal uang dan pendidikan ini wilayah yang sangat luas untuk ditulis. Oleh karena itu penulis ingin kembali ke tema vasektomi lagi.
Jika memang KDM sangat ingin terealisasi program ini, harus dilakukan sosialisasi terlebih dahulu untuk para rakyat. Tambahan, solusi preventif adalah memberikan sex education bagi semua orang. Beberapa negara juga sempat melakukan kebijakan ini. India yang pernah menempati negara dengan penduduk terbanyak nomor 2, sudah memiliki pengalaman dengan vasektomi pada tahun 1970an. Walaupun ujungnya tetap ricuh dan rusuh.
Cina, 1979-2015. Menganjurkan kebijakan “Satu keluarga, satu anak”. Negara yang juga pernah memiliki penduduk terbanyak sedunia, mengalami efek negatif dari vasektomi. Kesenjangan jumlah usia tua dan muda. Tekanan sosial untuk pria. Perempuan yang tetap menjadi sasaran sterilisasi. Karena sudah merasakan negatifnya, Cina melakukan hal sebaliknya. Memberikan uang insentif bagi siapa pun yang ingin memiliki anak.
Iran, berbeda dengan 2 negara tadi. Apa yang dilakukan oleh negara ini lebih sukses. Justru didukung oleh ulama-ulama setempat. Bahkan Iran adalah negara di Timur Tengah yang angka fertilitasnya menurut drastis. Akhirnya, tetap saja Iran membenahi angka yang menurun itu dengan anjuran memiliki anak.
Bagaimanapun kebijakannya, tetap tergantung pada visi misi negara dan cara melaksanakannya. Apakah dengan damai? Atau paksaan. Kalau mengingat soal bonus demografi, rasanya kebijakan vasektomi ini justru kontra dari apa yang sudah direncanakan tahun 2045.
Adapun posisi penulis di sini adalah mencoba berpikiran terbuka. Banyak sekali komentar kritis soal vasektomi. Katanya rakyat jangan jadi objek politis dan medis. Hak rakyat mendapatkan bantuan dari pemerintah itu valid. Negara menyuapi orang susah dengan sisa-sisa makanan orang kaya. Banyak polemik yang mempengaruhi ihwal ini. Tidak bisa kita katakan “Boleh” atau “Jangan” saja.
Penulis juga terpikir, dengan suksesnya pendidikan militer untuk para siswa yang bandel. Jangan-jangan, vasektomi ini memiliki nasib baik pula? Ujung-ujungnya, soal vasektomi ini tidak bisa selesai hanya dengan debat warung kopi atau forum elite kampus. Ini bukan sekadar urusan medis, agama, atau angka-angka statistik. Ini tentang hidup manusia yang punya hasrat, kebutuhan, dan hak, juga tentang negara yang sering kali sibuk mengatur tanpa betul-betul hadir memahami. Mau dibuat aturan, dibungkus program, tetap saja semua kembali ke pemahaman dan kesadaran. Kalau memang niatnya menyejahterakan, bukan memaksa atau mensterilkan, maka rakyat harus diajak bicara. Diberi ruang, diberi ilmu, bukan hanya diberi syarat. Jangan sampai program yang katanya demi kebaikan, justru menambah luka yang belum selesai. Vasektomi, pada akhirnya, hanyalah satu titik dari peta besar persoalan bangsa ini, yang terlalu kompleks untuk disederhanakan, tapi juga terlalu penting untuk diabaikan.***