Opini

DD ‘Wajib’ untuk Pangan: Desa Jadi Garda Depan?

Oleh: Fahmi Nurul Islam Kosasih
Pejabat Fungsional PTPN Terampil KPPN Cirebon

Dalam rangka memperkuat ketahanan pangan nasional dan mendorong kemandirian ekonomi desa, pemerintah telah menerbitkan Keputusan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kepmendes) Nomor 3 Tahun 2025. Kebijakan ini mewajibkan setiap desa untuk mengalokasikan sekurang-kurangnya 20 persen Dana Desa (DD) guna mendukung program ketahanan pangan, dengan skema penyertaan modal kepada BUMDesa, BUMDesa Bersama, atau lembaga ekonomi masyarakat desa lainnya.
Langkah ini merupakan bagian dari komitmen pemerintah untuk memberdayakan desa sebagai aktor utama pembangunan, sekaligus menjawab tantangan krisis pangan global dan mendorong penguatan ekonomi lokal. Dana yang dialokasikan diharapkan dapat dimanfaatkan untuk kegiatan produktif seperti pengembangan pertanian, peternakan, perikanan, dan pengolahan hasil pangan, yang berbasis potensi dan kebutuhan masing-masing desa.
Dengan adanya skema penyertaan modal ke lembaga ekonomi desa, pemerintah mendorong lahirnya badan usaha yang mandiri dan kompetitif, sehingga hasil produksi pangan lokal tidak hanya cukup untuk kebutuhan desa, tetapi juga mampu membuka akses pasar yang lebih luas.
Meski kebijakan ini memiliki tujuan yang strategis, implementasinya di lapangan tidak lepas dari sejumlah tantangan teknis dan administratif. Pertama, alokasi dana ketahanan pangan melalui penyertaan modal memerlukan penyesuaian dokumen Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes). Proses ini dapat menyebabkan keterlambatan penetapan APBDes, yang pada akhirnya berdampak pada penyaluran Dana Desa Tahap I. Sesuai ketentuan, desa harus menetapkan APBDes sebelum 15 Juni 2025 agar dapat menerima pencairan dana tepat waktu.
Kedua, pergeseran sebagian Dana Desa ke pos pembiayaan (penyertaan modal) berimplikasi pada penurunan porsi belanja desa, termasuk belanja penghasilan tetap (siltap) kepala desa dan perangkat desa. Berdasarkan Pasal 100 PP Nomor 43 Tahun 2014, belanja siltap tidak boleh melebihi 30 persen dari total belanja desa. Ketika belanja desa berkurang karena adanya pembiayaan, proporsi untuk siltap pun terancam tidak mencukupi, terutama di desa yang memiliki sumber daya terbatas.
Ketiga, tidak semua desa memiliki BUMDes yang siap secara kelembagaan. Data per Februari 2025 menunjukkan bahwa hanya sekitar 36 persen desa memiliki BUMDes, dan sebagian besar masih dalam status “perintis”. Rendahnya kesiapan ini berpotensi meningkatkan risiko penyimpangan dalam pengelolaan dana, jika tidak diimbangi dengan pembinaan dan pengawasan yang optimal.
Sebagian desa bahkan belum memiliki lembaga ekonomi masyarakat sama sekali. Dalam kondisi seperti ini, pelaksanaan program harus dilakukan secara swakelola, yang menuntut kapasitas aparatur desa yang baik dan komitmen terhadap tata kelola yang transparan.
Dalam rangka mendukung kelancaran implementasi kebijakan penyaluran Dana Desa, Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) dan Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) turut berperan aktif dalam memberikan pendampingan kepada pemerintah daerah dan desa. Berbagai langkah konkret telah dilakukan, antara lain melalui sosialisasi ketentuan serta persyaratan penyaluran Dana Desa, pendampingan dalam penyusunan dokumen anggaran desa seperti ADK dan APBDes, serta monitoring pemenuhan persyaratan melalui sistem OM-SPAN, termasuk perekaman pagu earmark untuk ketahanan pangan. Selain itu, penyesuaian tagging penggunaan dana pada sistem keuangan desa juga dilakukan untuk memastikan kesesuaian penggunaan anggaran, serta penguatan kapasitas aparatur desa melalui kegiatan pelatihan dan bimbingan teknis. Seluruh upaya ini bertujuan agar Dana Desa dapat dimanfaatkan secara tepat sasaran dan akuntabel dalam mendukung pembangunan di tingkat desa.Penting untuk dicatat bahwa meskipun kebijakan ini bersifat wajib, desa tidak dikenakan sanksi apabila belum mampu mengalokasikan dana sesuai ketentuan. Namun, ketidaksesuaian ini akan berdampak pada penilaian kinerja desa, yang memengaruhi besaran Alokasi Kinerja Dana Desa pada tahun anggaran berikutnya.
Sebagai solusi atas keterbatasan kelembagaan, Kementerian Desa memberikan alternatif pelaksanaan program secara swakelola melalui pembentukan Tim Pelaksana Kegiatan (TPK) Ketahanan Pangan Desa. Tim ini bertanggung jawab menjalankan program secara langsung dengan tetap berpedoman pada prinsip akuntabilitas dan efisiensi.
Desa juga diberikan fleksibilitas dalam proses penganggaran, di mana tagging program ketahanan pangan dapat dilakukan baik pada akun belanja maupun akun pembiayaan di sistem keuangan desa. Hal ini diatur dalam PMK 108 Tahun 2024, yang memperbolehkan Dana Desa digunakan untuk kegiatan non-earmark selama masih mendukung prioritas nasional.
Namun demikian, dalam praktiknya, sistem SISKEUDES masih memiliki keterbatasan teknis. Penyertaan modal belum bisa langsung ditagging sebagai belanja ketahanan pangan, karena sistem hanya mengenali akun belanja untuk tagging program prioritas. Oleh karena itu, pemerintah desa perlu memahami mekanisme penghitungan secara akumulatif agar total alokasi untuk ketahanan pangan tetap terpenuhi.
Implementasi Kepmendes Nomor 3 Tahun 2025 bukan sekadar instruksi administratif, tetapi sebuah langkah strategis untuk membangun desa sebagai pusat ketahanan pangan dan perekonomian lokal. Dengan Dana Desa sebagai instrumen fiskal, desa didorong untuk memanfaatkan potensi lokal, meningkatkan produktivitas, dan membangun kemandirian secara berkelanjutan.
Program ketahanan pangan desa juga memiliki nilai sosial yang besar. Ia mampu menciptakan lapangan kerja, menurunkan angka kemiskinan, mengurangi ketergantungan pada bantuan, dan memperkuat solidaritas antarwarga. Lebih dari itu, ketika dikelola dengan baik, program ini dapat menjadi sumber pendapatan asli desa dan memperkuat fondasi fiskal desa ke depan.
Keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada sinergi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan desa, serta dukungan berkelanjutan dalam bentuk pendampingan, pelatihan, dan pengawasan. Di sisi lain, komitmen kepala desa dan aparatur untuk menerapkan prinsip tata kelola yang baik juga menjadi kunci utama.
Dengan pengelolaan yang baik dan akuntabel, Dana Desa tidak hanya menjadi instrumen pembangunan infrastruktur, tetapi juga modal awal menuju desa yang mandiri, sejahtera, dan tahan terhadap guncangan krisis pangan global.***

Back to top button