Desa Budaya, Apa Urgensinya?

Oleh : Emup Muflihudin, S.Pd.
Mantan Pegawai Bidang Kebudayaan Disdikbud Kuningan
Ada yang patut mendapat perhatian serius dari kita warga Kabupaten Kuningan, yaitu gagasan pimpinan baru Kabupaten Kuningan. Bupati Kuningan Bapak Dr. H. Dian Rachmat Yanuar, M.Si. pernah melontarkan keinginan dan gagasannya untuk mewujudkan beberapa desa dan kelurahan di Kabupaten Kuningan sebagai Desa Budaya. Tentu, gagasan tersebut tidak dilatarbelakangi oleh alasan-alasan pragmatis, misalnya untuk mendokrak popularitas, karena gubernurnya seorang tokoh budaya, karena instruksi pimpinan, atau alasan-alasan populis lainnya.
Sepanjang pengetahuan penulis, gagasan itu muncul selain karena keyakinan Bupati Kuningan atas kekayaan dan potensi budaya Kuningan yang banyak dan tuntutan kewajiban pemerintah daerah untuk melakukan upaya pelestarian budaya. Terdapat alasan lain yang cukup menjadi dasar mengapa Desa Budaya mesti terwujud. Desa budaya akan menjadi inspirasi dan kearifan untuk menjawab segala bentuk tantangan yang secara kasat mata terlihat dan dirasakan oleh kita. Ada banyak keuntungan yang didapat dari manfaat inspirasi itu, di antaranya semakin menguatnya identitas desa, meningkatkan dan mendokrak ide-ide kreatif untuk menggairahkan kegiatan ekonomi masyarakat yang bukan tidak mungkin akan berdampat positif pada meningkatnya taraf hidup masyarakat, menarik wisatawan karena keunikan budaya lokal, meningkatnya kesadaran dan kebanggaan kolektif, dan manfaat-manfaat lain.
Jika mempertimbangkan tingkat kemanfaat gagasan mewujudkan Desa Budaya, maka tidak perlu lagi diperdebatkan urgensinya. Yang perlu mendapat perhatian dan menarik diperdebatkan adalah konstruksi Desa Budaya. Apa definisinya, kriterianya, indikatornya, orientasinya, dan apa langkah-langkah kongkret untuk mewujudknnya.
Dari beberapa literatur, Desa Budaya adalah desa yang mengaktualisasikan, mengembangkan, dan meng-konsentrasi-kan kekayaan dan potensi budaya yang dimilikinya yang ditunjukan dalam adat dan tradisi, kesenian, permainan tradisional, bahasa, sastra, aksara, kerajinan, kuliner, pengobatan tradisional, penataan ruang, dll. untuk dijadikan pedoman pengaturan tata kehidupan masyarakat. Berdasarkan definisi tersebut, orientasi utama dari Desa Budaya adalah terciptanya tatanan kehidupan di desa yang memiliki ciri tertentu di dalam bingkai adat istiadat unik yang terpelihara secara turun menurun, yang tidak dimiliki atau berbeda dengan kebiasaaan-kebiasaan di wilayah/desa yang lain.
Dari pendekatan aktivitas, Desa Budaya adalah wahana sekelompok manusia yang melakukan aktivitas budaya yang mengekspresikan sistem kepercayaan (religi), system kesenian, sistem mata pencaharian, sistem teknologi, sistem komunikasi, sistem sosial, dan sistem lingkungan/tata ruang/arsitektur. Untuk mewujudkan wahana tersebut, dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu mengaktualisasikan kekayaan dan potensi budayanya, dan mengkonservasinya dengan seksama atas kekayaan budaya yang dimilikinya terutama yang tampak seperti adat istiadat, seni pertunjukan, kerajinan, dan tata ruang/arsitektur.
Orientasi dari ide mewujudkan Desa Budaya, pertama, Desa Budaya harus diorientasikan pada upaya membantu merealisasi tujuan besar program pemajuan kebudayaan sebagaimana dicita-citakan dalam UU Nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Pemajuan kebudayaan dimaksud harus meliputi pelestarian, pelindungan, pembinaan, pengembangan, dan pemanfaatan nilai-nilai budaya yang ada dan berkembang di desa. Secara umum tujuan pemajuan dimaksud adalah untuk mengembangkan nilai-nilai luhur budaya bangsa, memperkaya dan menghormati keragaman budaya, memperteguh jati diri bangsa, dan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.
Kedua, Desa Budaya harus mampu menstimulasi munculnya gagasan-gagasan dan kreasitivitas dalam pengembangan usaha ekonomi produktif. Ini menjadi penting karena harapan pemanfaatan nilai-nilai budaya adalah semakin meningkatnya tingkat kesejahteraan manusia (masyarakat). Hal penting dalam mewujudkan Desa Budaya adalah perlu ditetapkannya kerangka dasar Desa Budaya yang berupa kriteria dan indikator pendukung konstruksi Desa Budaya.
Penulis berpendapat, sedikitnya ada enam kriteria yang dipandang dapat mendukung terbentuknya Desa Budaya, yaitu desa harus memiliki warisan (obyek) budaya, memiliki ciri tertentu atau kekhasan berdasarkan unsur-unsur kebudayaan, di desa terdapat orang (personil) dan/atau sekelompok orang yang bergerak dan mampu menggerakkan potensi budaya yang dimilikinya, adanya will political pemerintahan, Desa Budaya tidak bersifat statis, dan memiliki aksesibiltas budaya. Kriteria-kriteria tersebut tidak selamanya harus melekat secara integratif (keseluruhan) dalam satu Desa Budaya. Bisa saja Desa Budaya hanya memiliki satu atau dua kriteria. Yang terpenting atas kriteria tersebut adalah desa memiliki ciri yang khas berdasarkan nilai-nilai budaya yang telah disepakati. Hal tersebut terkait dengan asumsi bahwa dari kriteria yang ada, terdapat kriteria yang tidak bisa diciptakan, seperti warisan budaya. Selebihnya sepanjang mengandung unsur nilai budaya dan adanya wil political seluruh kompopnen masyarakat, kriteria tersebut bisa diciptakan.
Sebagai bahan pertimbangan para pemangku kebijakan, penulis memberikan tawaran berupa langkah-langkah konkret yang dapat dilakukan untuk mewujudkan Desa Budaya, yaitu perancangan konsepsi desa budaya, identifikasi potensi budaya desa dengan mempertimbangkan kriteria dan indokator desa budaya, pendataan dan pencatatan potensi budaya, penetapan Desa Budaya, penggalian dan pengorganisasian potensi sumber daya Desa Budaya (termasuk SDM), penyusunan program desa budaya (termasuk penyusunan kebijakan pemdes), pemberdayaan komunitas lokal dan kapasitas masyarakat, pengembangan budaya berkelanjutan melalui inovasi dan kreasi.
Berpendapat tentang langkah-langkah tersebut, penulis teringat klausa yang sering terbaca dan terdengar, “Ngaroris, Merenahkeun, jeung Mateahkeun Banda Budaya (Kuningan) nu Bacacar”. Ulah Loba adu renyom, beu cuang ngalengkah!***