Opini

Memahami Playing Victim

Oleh : Andrian Saba
Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UGJ Cirebon

Kita sering bertemu dengan orang yang tampak terus-menerus disakiti, merasa tidak pernah dipahami, dan selalu menjadi pihak yang paling menderita. Mereka menempatkan diri dalam posisi korban, bahkan dalam situasi di mana peran itu seharusnya tidak melekat pada mereka. Fenomena ini dikenal dengan istilah playing victim, yaitu kecenderungan seseorang untuk berperan sebagai korban, bukan karena mereka benar-benar disakiti, tetapi karena merasa diuntungkan dari posisi tersebut.
Playing victim adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan seseorang yang berpura-pura atau sengaja menempatkan dirinya sebagai korban. Padahal, sebenarnya dia mungkin ikut bersalah, bertanggung jawab, atau bahkan pelaku dari masalah.
Secara psikologis, playing victim ialah kondisi ketika seseorang secara sadar atau tidak sadar menempatkan dirinya sebagai korban untuk menghindari tanggung jawab, memanipulasi orang lain, atau menarik simpati.
Setiap lingkungan, entah itu di kantor, pertemanan, keluarga, mungkin kita pernah bertemu dengan seseorang yang selalu merasa menjadi korban. Tak peduli situasinya seperti apa, dia akan membuat cerita seolah-olah dialah yang paling tersakiti. Playing victim seperti ini bisa dikatakan sebagai pola perilaku yang terlihat sepele, tetapi sebenarnya memiliki dampak besar secara emosional dan sosial.
Ditinjau dari cabang ilmu bahasa yang menyelidiki asal-usul kata serta perubahan dalam bentuk dan makna (etmologi), istilah playing victim berasal dari bahasa Inggris. Kata “playing” memiliki makna bermain. Sedangkan kata “victim” memiliki makna korban. Jika kedua kata digabungkan, maka mempunyai makna bermain korban. Dalam konteks psikologi dan perilaku, secara harfiah playing victim berarti “berpura-pura menjadi korban” atau “berperan sebagai korban”. Istilah ini mulai populer di ilmu psikologi lantaran viral di media sosial.
Dalam penggunaan sehari-hari, playing victim tidak hanya berarti berpura-pura jadi korban, tetapi juga memiliki konotasi manipulatif, yaitu menggunakan posisi “korban” sebagai alat untuk menghindari kesalahan atau mempengaruhi simpati orang lain.
Kamus Besar Bahasa Indonesia belum memiliki padanan baku tunggal untuk playing victim. Namun, ada beberapa idiom, istilah atau frasa yang sering digunakan sebagai terjemahan yang kontekstual. Pertama, berpura-pura menjadi korban; frasa yang paling mendekati makna harfiah. Kedua, memainkan peran sebagai korban; frasa netral atau bisa dipakai dalam konteks ilmiah. Ketiga, sikap mental korban; frasa atau istilah psikologis. Keempat, mentalitas korban atau mental korban; frasa yang biasa digunakan untuk menggambarkan pola pikir seseorang yang selalu merasa disakiti atau dianiaya, meski belum tentu kebenarannya. Kelima, drama korban; frasa yang digunakan secara informal untuk menyindir orang yang memanfaatkan narasi korban demi mendapatkan simpati.
Seseorang yang playing victim biasanya memiliki ciri khas, seperti suka menyalahkan orang lain atas masalahnya, sulit menerima kritik, dan sering menarik simpati dari lingkungan sekitar. Mereka seolah-olah tidak pernah salah dan dunia terlalu kejam pada mereka. Perilaku seperti ini berasal dari pengalaman traumatis, pola asuh yang otoriter, atau bahkan strategi pribadi untuk menghindari tanggung jawab.
Psikolog klinis asal Indonesia, Anastasia Nadya Caestara, menyatakan bahwa perilaku playing victim sering kali muncul karena individu tidak dibiasakan bertanggung jawab sejak kecil. Dalam wawancara yang dikutip dari jurnal Psikologi Universitas Katolik Atma Jaya, ia menjelaskan bahwa individu yang memiliki ego cenderung membentuk narasi diri sebagai korban agar tetap diterima secara sosial dan terhindar dari rasa malu atau gagal.
Fenomena ini juga mendapat sorotan dari Dr. Guy Winch, penulis buku Emotional First Aid. Ia mengatakan, “Menjadi korban adalah pengalaman, tapi memainkan korban adalah pilihan.” Konteks ini, playing victim merupakan bentuk manipulasi emosional yang bertujuan memperoleh simpati atau kekuasaan emosional atas orang lain.
Contoh nyatanya banyak terjadi dalam hubungan interpersonal. Misalnya, seorang pasangan yang bersikap kasar, tetapi ketika ditegur, justru menangis dan berkata, “Aku begini karena kamu nggak pernah perhatian.” Alih-alih mengakui kesalahan, ia menggunakan posisi korban untuk menghindari tanggung jawab dan membuat lawannya merasa bersalah.
Dalam skala lebih besar, playing victim juga banyak ditemukan di dunia politik atau selebritas. Seorang politikus yang dikritik karena kebijakannya bisa saja berkata, “Saya diserang terus, padahal niat saya baik.” Atau publik figur yang terlibat skandal tapi tampil di depan publik dengan tangisan dan pernyataan “saya hanya manusia biasa”. Jika dilakukan secara sadar dan terus-menerus, ini adalah bentuk manipulasi citra yang berbahaya.
Sebuah studi dari Journal of Personality and Social Psychology menemukan bahwa individu yang memiliki victim mentality (mentalitas korban) sering kali merasa lebih berhak atas empati dan mendapat perlakuan khusus. Mereka juga lebih cenderung memutarbalikkan situasi agar terlihat benar di mata orang lain, bahkan ketika mereka yang memicu konflik.
Sosiolog Indonesia, Imam B. Prasodjo, dalam beberapa kesempatan mengkritisi budaya “selalu merasa dizalimi” dalam masyarakat. Menurutnya, kebiasaan merasa jadi korban tanpa refleksi akan menghambat pembangunan karakter dan budaya tanggung jawab. “Kalau semuanya merasa dizalimi, siapa yang mau membenahi keadaan?”
Sebagai masyarakat, kita perlu lebih cermat membedakan antara korban yang sungguh-sungguh perlu dukungan, dengan mereka yang menjadikan status korban sebagai cara untuk menghindari introspeksi. Sementara itu, jika kita menyadari diri sendiri sering merasa sebagai korban, cobalah untuk lebih jujur. Apakah saya benar-benar disakiti, atau saya hanya tidak mau disalahkan?
Dampak dari pola ini cukup serius. Selain merusak hubungan pribadi dan profesional, mentalitas korban juga melemahkan kemampuan individu untuk menghadapi kenyataan secara dewasa. Jangka panjangnya, ini bisa berujung pada learned helplessness, yaitu kondisi di mana seseorang merasa tidak mampu mengubah nasibnya meskipun sebenarnya bisa. Jika tidak diatasi, playing victim bisa mengakar sebagai identitas sosial yang menghambat pertumbuhan pribadi.
Playing victim bukan sekadar sikap manja, tapi bisa menjadi bentuk manipulasi psikologis yang merusak. Memahami perilaku ini adalah langkah pertama untuk menciptakan hubungan yang sehat, baik dalam keluarga, pekerjaan, maupun kehidupan sosial.
Karena pada akhirnya, menjadi korban sejati bukanlah pilihan, tapi memainkan peran korban demi keuntungan pribadi adalah keputusan.***

Related Articles

Back to top button