Ragam

Janji dan Ilusi

SELAMAT datang di Cirebon, tanah subur yang dipenuhi padi, janji, dan ilusi koordinasi. Di sini, varietas unggul tak tumbuh di sawah, melainkan di seminar dan foto bersama.

Usman Efendi, sang petani idealis dengan varietas UFA 1 dan UFA 2, tampaknya telah keliru memahami satu hal mendasar: di negeri ini, inovasi harus tunduk pada irigasi politik.

Bayangkan, seorang petani membawa varietas padi baru, pupuk unggul, dan bahkan teknik pemangkasan modern—yang bisa meningkatkan hasil panen. Alih-alih disambut karpet hijau di lahan pertanian milik pemerintah, ia justru menemukan karpet merah telah digelar untuk “penyewa langganan”.

Tentu, harga sewa resmi Rp 12,5 juta per hektare memang terlalu biasa. Kenapa tidak Rp17 juta sekalian, asal “yang penting bukan Usman”?

Kita patut mengapresiasi kejelian para “pengunci lahan”.

Sebab, apa artinya produktivitas kalau tidak bisa dikunci dalam bentuk sewa-sewa penuh rasa gotong-royong kapitalistik?

Ironisnya, Bupati telah menyatakan dukungan. DPRD pun membuka telinga.

Tapi sayangnya, suara yang terdengar paling nyaring tampaknya bukan berasal dari gedung pemerintahan, melainkan dari balik meja persewaan dan kalkulasi keuntungan.

Jika janji tinggal janji, maka petani tinggal sendiri.

Usman bukan tidak sabar. Ia hanya tidak pandai bermain dalam sistem di mana lahan adalah harta karun, dan petani visioner adalah bajak laut tak diundang.

Teknik pruning ala Tiongkok mungkin bisa memangkas batang padi, tapi tak bisa memangkas ego dan kepentingan yang telah berakar dalam. Maka, demi efisiensi, mari kita gantikan istilah demplot dengan demo slot: tempat di mana inovasi harus antre, menunggu giliran yang tidak akan pernah datang.***

Back to top button