Opini

Tafsir Sosial Kotoran Ayam dan Psikologi Kepegawaian

Oleh: Syarifuddin
Penelaah Teknis Kebijakan pada Bagian Prokopim, Sekretariat Daerah Kota Cirebon

Setiap akhir pekan, musala di desa saya mengadakan pengajian yang biasanya dihadiri oleh para ibu paruh baya. Lokasi rumah yang tidak sampai 100-meter dari musala membuat saya dapat dengan mudah mendengarkan lantunan bacaan Alquran dan juga ceramah dari Pak Kiai. Suatu ketika, sayup-sayup saya mendengarkan ceramah Pak Kiai soal “tahi ayam”. Ya, “tahi ayam”.
Saya coba sarikan kisah yang dituturkan Pak Kiai. Kurang lebih begini. Ada tiga takmir yang masuk ke masjid dan mendapati tahi ayam nlecek di mana-mana. Takmir pertama marah bukan kepalang. Harga dirinya sebagai takmir merasa direndahkan. Karena itu, dia segera mencari tahu siapa yang terakhir meninggalkan masjid tanpa menutup pintu sehingga membuat ayam bisa buang air sembarangan.
Takmir kedua juga marah tetapi yang jadi sasarannya adalah ayam. Kemarahan mendorongnya mengambil kerikil dan melempari ayam di sekitar masjid supaya segera menjauh. Semua ayam di sekitarnya menjadi sasaran kekesalan. Takmir ketiga pergi ke kamar mandi untuk mencari alat cuci. Baginya, ini kesempatan mempraktikkan materi tentan thaharah (bersuci) yang baru saja ia pelajari dari sang kiai.
Untuk memahami determinasi tafsir dalam kehidupan, sktesa dan kisah yang diceritakan Pak Kiai ini seketika menyentak nalar dan batin saya. Ini kisah sederhana tetapi mendalam maknanya. Tahi ayam adalah realitas harfiah dalam sketsa di atas. Sebagai realitas, tahi ayam memiliki wujud harfiah yang ajek; kotor, bau, dan mengandung najis. Wujud harfiah itu cukup memberi alasan bagi banyak orang untuk tidak menyukainya. Karena itu, perasaan paling lazim yang muncul ketika mendapat tahi ayam adalah jijik, kemudian kesal.
Namun, bagi orang yang memiliki kesadaran tafsir, tahi ayam bisa dieksplorasi sebagai simbol yang bermakna banyak. Dari sekian banyak kemungkinan makna yang bisa dilekatkan pada tahi ayam, selalu ada makna positif yang bisa ditemukan. Tahi ayam yang bau dan menjijikkan itu ternyata adalah juga ruang kelas, sebuah kesempatan mendalami ilmu.
Bagi saya, di titik ini, Pak Kiai tidak sedang main-main. Ia sedang menanam benih kesadaran bahwa dunia ini tidak cuma harus dihadapi, tapi juga dimaknai. Dan tafsir, dalam pengertian paling dasarnya, adalah kemampuan membacakan makna dari sesuatu yang tampaknya tidak bermakna atau bahkan dari sesuatu yang awalnya tampak menjijikkan. Tahi ayam, dalam tafsir Pak Kiai, bukan sekadar kotoran. Ia bisa berubah menjadi ladang pelajaran tentang sabar, tentang rendah hati, bahkan tentang kecemerlangan berpikir.
Saya coba membuat sedikit analogi. Apabila dunia adalah adalah teks raksasa, maka setiap realitas di hadapan kita ssemua adalah frasa yang menunggu untuk (terus) dibaca ulang. Tahi ayam, yang diucapkan oleh Pak Kiai, adalah frasa kecil yang tampak sepele dan realitasnya kerap dihindari. Padahal, di situlah letak kebijaksanaan tersembunyi. Siapa yang bisa membaca makna dari sesuatu yang tampak hina, ia sedang menyentuh kebijaksanaan yang sejati.
Sebaliknya, siapa pun yang hanya melihat kenyataan sebatas apa yang tampak, akan hidup dalam jebakan reaksi yang spontan dan dangkal. Ia jijik, lalu marah, dan selesai. Padahal, dalam hidup, tak semua hal bisa disikapi dengan buru-buru. Banyak hal justru menuntut kita duduk sejenak, lalu bertanya: “Apa maknanya?”
Dan dari situlah, perlahan-lahan dari kisah Tahi Ayam yang dituturkan oleh Pak Kiai, kita mungkin sedang diajak belajar jadi dewasa dalam berpikir. Tafsir bukan hanya urusan bahasa atau kitab. Tafsir adalah seni membaca hidup dengan mata batin yang lebih dalam. Dan kadang, seperti yang diajarkan Pak Kiai, jalan masuk ke kedalaman itu justru lewat sesuatu yang seremeh tahi ayam.
Jika dalam kisah yang dituturkan Pak Kiai kita belajar tentang pentingnya tafsir atas realitas yang tampak menjijikkan, maka dalam dunia kepegawaian pun, pelajaran itu relevan. Tidak semua yang tampak buruk dalam sistem birokrasi benar-benar buruk. Kadang, apa yang kita persepsikan buruk, hanyalah hasil tafsir yang terburu-buru—tafsir yang miskin empati dan malas menggali.
Sebaliknya, bisa jadi dalam tumpukan berkas pegawai yang jarang dilirik, atau dalam unit kerja yang dianggap pinggiran, tersembunyi potensi dan dedikasi luar biasa. Sebab, dalam segala keterbatasan pemahaman yang dimiliki, saya meyakini bahwa yang kita perlukan bukan sekadar sistem kepegawaian yang rapi, tapi cara pandang yang lebih arif; yang melihat manusia, bukan hanya data; yang membaca dedikasi, bukan sekadar absen dan angka kinerja.
Karena seperti tahi ayam dalam kisah itu, dalam konteks pelaksanaan kerja, sistem kepegawaian pun punya sisi-sisi yang tak sedap di mata birokrasi modern. Tapi tafsir yang bijak bisa mengubah “kotor” menjadi “subur”. Bisa jadi, yang kita anggap beban justru adalah ladang pembelajaran paling jujur bagi reformasi birokrasi.
Dalam kisah yang dituturkan Pak Kiai, tahi ayam adalah sebuah masalah. Masalah, dalam dunia kerja, kadang datang diam-diam. Tidak pakai aba-aba. Tidak menunggu kita siap. Tahu-tahu sudah ada di depan mata dalam banyak bentuk; dalam bentuk laporan yang telat, ruangan yang kotor, suasana yang terasa tegang tanpa sebab, dan lainnya. Namun, yang paling menarik dari masalah bukanlah wujudnya. Melainkan cara orang meresponsnya.
Di satu ruang kerja, bisa saja terjadi ada seseorang yang merasa tersinggung hanya karena kursi di mejanya dipindah tanpa izin. Di tempat lain, ada yang naik pitam karena merasa tidak dihargai dalam rapat kecil. Lalu ada juga yang mendadak panik ketika menemukan pekerjaan timnya kacau balau, dan langsung membentuk “tim investigasi” kecil-kecilan. Semua ingin cepat menyalahkan, siapa yang lalai, siapa yang tak becus. Respons semacam ini sangat manusiawi. Tapi sayangnya, juga sangat merusak.
Dalam psikologi organisasi, respons cepat menyalahkan sering lahir dari rasa tidak aman—ego defensive kata Baumeister (1998). Kita ingin terlihat profesional, ingin tampak sempurna, sehingga ketika ada yang mengganggu citra itu, kita buru-buru mencari siapa yang layak disalahkan. Ini bukan soal tanggung jawab, tapi soal perlindungan diri. Di sisi lain, ada juga tipe pegawai yang langsung meledak emosinya. Mereka tidak peduli siapa penyebabnya, yang penting kekesalan harus segera punya sasaran, enntah itu sistem, komputer yang error, atau hal lain yang penting bisa jadi kambing hitam. Rotter (1966) menyebut ini sebagai external locus of control—keyakinan bahwa semua masalah selalu datang dari luar, dan kita tidak punya kuasa apa-apa selain mengeluh dan marah.
Namun, selalu ada satu jenis pegawai yang ketika melihat masalah, ia tidak tergesa, tidak langsung menyalahkan, dan tidak juga mengumpat. Ia menarik napas, melihat keadaan, lalu bergerak perlahan menyelesaikan semampunya (ingat kembali takmir masjid yang langsung membersihkan tahi ayam) tanpa panggung dan tanpa gembar-gembor. Orang seperti ini langka, tetapi selalu jadi penentu.
Jenis pegawai seperti itu tentu bukan individu yang tanpa emosi. Namun, ia justru sudah berdamai dengan emosinya. Ia tidak lagi sibuk menjaga nama baik pribadi karena yang lebih penting baginya adalah martabat kolektif. Jenis pegawai seperti ini memiliki apa yang disebut Daniel Goleman (2002) sebagai emotional intelligence—kemampuan mengenali perasaan sendiri, dan tetap bersikap jernih di tengah kekacauan.
Dalam organisasi, tipe pegawai seperti inilah yang sebenarnya jadi pemimpin sejati. Bukan karena jabatannya, tapi karena kehadirannya menenangkan. Ia membawa keteladanan, bukan instruksi. Ia membersihkan lantai yang kotor, tanpa sibuk bertanya siapa yang mengotori. Model pegawai seperti ini juga sejalan dengan konsep servant leadership dari Robert Greenleaf (1977): kepemimpinan yang tidak dimulai dari kehendak berkuasa, melainkan dari dorongan untuk melayani. Dan melayani, dalam konteks ini, bukan berarti tunduk atau pasrah. Justru sebaliknya—ia berarti hadir dengan kesadaran utuh bahwa bekerja itu bagian dari merawat.
Kadang saya berpikir, kalau semua kantor punya satu saja orang seperti itu, maka masalah-masalah kecil tidak akan jadi bara. Sebab mereka yang punya kesadaran akan bergerak lebih dulu, bahkan ketika yang lain masih marah-marah.
Namun, di sisi yang lain, kita juga hidup dalam kultur birokrasi (secara umum) yang terlalu sering memelihara amarah dan rasa tersinggung sebagai nilai sosial. Bahkan kadang, makin mudah seseorang tersinggung, makin tinggi derajatnya di mata kolega. Ketika ada kesalahan, kita segera membentuk tim ad hoc; kalau bisa, bikin berita acara; kalau perlu, panggil pihak yang berwenang. Semua prosedur dikerahkan bukan untuk menyembuhkan, tetapi untuk mengukuhkan siapa benar siapa salah.
Padahal, kadang masalah hanya butuh dipungut dan dibersihkan. Tanpa perlu dibicarakan panjang, tanpa perlu diumumkan. Cukup disapu dengan rasa tanggung jawab yang lahir dari kedewasaan. Carl Jung bilang, “Everything that irritates us about others can lead us to an understanding of ourselves.” Bisa jadi, kekesalan kita pada kolega, pada bawahan, pada sistem, adalah cermin dari hal-hal yang belum selesai dalam diri kita. Maka yang kita butuhkan bukan sekadar rapat klarifikasi, tapi juga ruang batin untuk bercermin.
Birokrasi hari ini bukan kekurangan orang pintar. Tapi sering kali kita kekurangan orang yang lapang; yang mau membersihkan tanpa menyindir; yang mau turun tangan tanpa mengeluh; yang memahami bahwa pekerjaan bukan sekadar pencapaian, tapi juga perawatan jiwa. Barangkali sudah saatnya kita memperbarui indikator kinerja. Bukan hanya soal target dan output, tapi juga soal siapa yang membawa udara sejuk ke dalam ruangan. Siapa yang tidak mudah panik. Siapa yang tidak mendramatisasi. Siapa yang tetap bisa tersenyum sambil membersihkan kekacauan.
Viktor Frankl pernah bilang, “Between stimulus and response, there is a space. In that space is our power to choose our response.” Dan di ruang kecil itulah, watak sejati manusia diuji. Termasuk kita—pegawai, pemimpin, atau siapa pun yang hari ini mungkin sedang berhadapan dengan “tahi ayam” dalam bentuk yang lain. Maka sebelum kita mencari kambing hitam atau menyusun laporan investigasi, barangkali ada baiknya kita ke kamar mandi dulu. Ambil air, bawa sabun, dan mulai membersihkan “tahi ayam” (masalah) yang nlecek. Siapa tahu, dari situ kita belajar bahwa bekerja di birokrasi bukan hanya soal fungsi, tapi juga soal kemanusiaan.***

Related Articles

Back to top button