Ujian Keadilan Agraria di Indonesia

SENGKETA tanah di Jalan Ampera, Kota Cirebon, kembali menegaskan persoalan klasik agraria di Indonesia: ketidakhadiran kepastian hukum atas kepemilikan tanah, dan lemahnya tata kelola aset negara versus hak warga sipil.
Gugatan warga terhadap pemblokiran 65 sertifikat tanah oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Cirebon, atas permintaan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, telah memasuki proses hukum di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung.
Kasus ini bukan sekadar perkara administratif, melainkan pertarungan antara hak hukum warga negara dengan klaim negara yang tak sepenuhnya berdasar.
Secara normatif, sertifikat hak atas tanah adalah alat bukti yang sah menurut hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Apabila warga telah mengantongi sertifikat yang diterbitkan BPN sejak 1993, dan hingga kini belum pernah dibatalkan oleh pengadilan yang berwenang, maka secara hukum, hak warga tersebut tetap sah dan dilindungi.
Pemblokiran tanpa pembuktian sah atas alas hak, sebagaimana yang terjadi sejak 2012 dan baru dicatat resmi pada 2023, jelas menimbulkan preseden buruk dalam perlindungan hak kepemilikan tanah.
Klaim Pemerintah Provinsi Jawa Barat terhadap tanah di Jalan Ampera hanya berlandaskan pencatatan dalam Kartu Inventaris Barang (KIB) tahun 1999, tanpa dasar hukum yang kuat seperti sertifikat hak milik, hak guna bangunan, atau keputusan pengadilan.
Berdasarkan asas lex superior derogat legi inferiori, dokumen administratif seperti KIB tidak dapat mengalahkan kekuatan hukum sertifikat tanah yang telah melalui proses formal sesuai peraturan perundang-undangan.
Dalam praktiknya, pemblokiran yang berlangsung selama lebih dari satu dekade tidak hanya menahan hak perdata warga untuk menjual, mengagunkan, atau mewariskan tanahnya, tetapi juga menciptakan ketidakpastian hukum berkepanjangan.
Prinsip non-retroaktif dalam hukum administrasi juga patut menjadi perhatian. Jika tidak ada putusan pembatalan sertifikat sebelumnya, maka pencatatan pemblokiran pada 2023 yang berlaku atas peristiwa lama menabrak prinsip keadilan hukum dan bertentangan dengan asas legal certainty (kepastian hukum).
Fakta bahwa Pemprov Jabar pada masa lalu menerima dana dari masyarakat dalam proses sertifikasi, yang juga melibatkan instansi resmi negara, semestinya menjadi indikator adanya pengakuan de facto maupun de jure atas penguasaan dan penggunaan tanah tersebut oleh warga.
Penerapan PP No. 14 Tahun 1958 tentang Kesejahteraan Buruh, tanpa bukti konkret hak pengelolaan, juga tidak dapat dijadikan landasan hukum untuk mencabut atau memblokir hak warga atas tanah yang telah bersertifikat.
Kasus ini seharusnya menjadi momentum refleksi bagi pemerintah daerah dan pusat untuk membenahi manajemen aset negara secara transparan dan akuntabel.
Negara tidak boleh menjadi pelaku penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) terhadap warganya. Sebaliknya, negara berkewajiban melindungi kepastian hukum dan hak-hak sipil sesuai dengan konstitusi dan hukum nasional yang berlaku.
Jika PTUN Bandung memutuskan sesuai asas keadilan dan hukum, maka putusan ini bisa menjadi yurisprudensi penting untuk menertibkan praktik pemblokiran sepihak oleh institusi negara yang tidak disertai bukti kepemilikan yang sah.
Sengketa Jalan Ampera harus menjadi pelajaran penting dalam membangun tata kelola pertanahan yang adil, transparan, dan berpihak pada rakyat, bukan hanya sekadar lembaran KIB tanpa dasar hukum.
***