Dinkes Kesulitan Akses Data BPJS, Anggaran Daerah Rawan Boros

kacenews.id-CIREBON-Pemerintah Kabupaten Cirebon tengah menghadapi persoalan serius terkait transparansi data kepesertaan BPJS Kesehatan. Hingga kini, Dinas Kesehatan mengaku kesulitan mendapatkan akses penuh terhadap data peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), meski setiap bulan harus membayar tagihan premi yang nilainya mencapai miliaran rupiah.
Kepala Bidang Sumber Daya Kesehatan (SDK) Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon, Jajang Prihata, menyebutkan bahwa data by name by address dari BPJS Kesehatan tidak pernah diberikan, meski sudah berulang kali diminta secara resmi. Penolakan itu selalu beralasan kerahasiaan data.
“Yang punya data itu BPJS. Kita butuh data lengkap agar bisa memverifikasi kevalidan kepesertaan, tetapi permintaan kita tidak pernah dikabulkan,” ungkap Jajang.
Masalah ini bukan hanya soal akses informasi. Ketertutupan data dinilai berisiko menimbulkan pemborosan anggaran. Dinkes hanya menerima tagihan dari BPJS yang rata-rata mencapai Rp11 miliar per bulan, namun tidak mengetahui secara pasti siapa saja penerima manfaatnya.
“Kita tidak tahu apakah data itu valid. Bisa saja ada peserta ganda atau bahkan warga yang sudah meninggal, tapi preminya masih dibayar. Apalagi, sumber pendanaan PBI (Penerima Bantuan Iuran) ada yang dari APBN dan APBD,” tambah Jajang.
Tahun 2025, total kebutuhan anggaran untuk membayar premi PBI di Kabupaten Cirebon mencapai Rp163,5 miliar. Dari jumlah tersebut, Rp102,4 miliar dialokasikan melalui APBD Kabupaten, dan Rp24,5 miliar berasal dari Bantuan Provinsi. Artinya, terdapat kekurangan anggaran sebesar Rp36,5 miliar, belum termasuk potensi pemborosan akibat data yang tidak akurat.
Pembentukan Pansus BPJS Mendesak
Masalah keterbatasan akses data ini mendapat sorotan tajam dari DPRD Kabupaten Cirebon. Ketua Fraksi PDI Perjuangan, Aan Setyawan menilai perlu ada langkah tegas. Salah satunya dengan membentuk Panitia Khusus (Pansus) BPJS.
“Beberapa kali kami rapat dengan pihak BPJS, tapi hasilnya nihil. Padahal, banyak warga mengeluh kesulitan saat hendak mengaktifkan layanan BPJS karena status mereka tidak aktif,” ujar Aan.
Aan menegaskan, pembentukan Pansus bukan untuk menyusun regulasi, melainkan sebagai respons terhadap persoalan mendesak yang dihadapi masyarakat. Hanya melalui Pansus, DPRD bisa memiliki dasar hukum untuk meminta dan mengakses data dari BPJS secara resmi.
“Kita curiga ada data peserta yang sudah tidak valid. Misalnya warga yang sudah meninggal masih tercatat aktif. Ini yang menyebabkan pemborosan anggaran,” kata Aan.
Menurutnya, setiap tahun APBD Kabupaten Cirebon mengalokasikan sekitar Rp90 miliar untuk membiayai PBI daerah, ditambah Rp 60 miliar dari APBD Provinsi. Totalnya dipakai untuk menanggung sekitar 354 ribu peserta PBI daerah dan lebih dari 1,2 juta peserta PBI pusat.
Ironisnya, meski disebutkan bahwa 99 persen warga Cirebon telah terdaftar sebagai peserta BPJS, faktanya tingkat kepesertaan aktif belum mencapai 75 persen. Angka itu menunjukkan bahwa banyak peserta tidak dapat mengakses layanan meski secara administrasi mereka tercatat.
“Data yang tidak akurat ini bisa jadi biang masalah. Dan tanpa Pansus, kami tidak punya kewenangan untuk menelusuri lebih dalam. Ini soal hak warga dan efisiensi keuangan daerah,” tegas Aan.(Mail)