Genealogi Budaya Politik Kita

Syarifuddin
Penelaah Teknis Kebijakan pada Bagian Prokopim Sekretariat Daerah Kota Cirebon
Dalam dunia politik kontemporer, sering kali kita merasa terasing dan kecewa ketika melihat bagaimana politik kita telah berkembang menjadi sebuah medan transaksional yang lebih mengutamakan keuntungan jangka pendek daripada tujuan luhur untuk kemaslahatan bersama. Secara umum, politik saat ini sudah terperangkap dalam siklus perolehan kekuasaan yang semakin mengaburkan nilai-nilai etika dan moralitas yang pernah menjadi fondasi penting dalam pengambilan keputusan politik. Dalam pengamatan ini, tidak jarang kita merasa bahwa politik hanya berfokus pada elektabilitas, manipulasi massa, serta pencarian keuntungan material yang cepat.
Padahal, seperti yang pernah ditegaskan oleh Aristoteles dalam Nicomachean Ethics, hubungan antara etika dan politik adalah sangat erat. Etika, dalam pandangan Aristoteles, bukan hanya soal perilaku individu, melainkan soal bagaimana individu tersebut berinteraksi dalam komunitas yang lebih besar. Dengan demikian, politik—sebagai praktik kehidupan bersama—seharusnya mencerminkan prinsip-prinsip etika yang lebih tinggi, yakni kebajikan dan keadilan bersama.
Namun, pada kenyataannya, praktik politik saat ini cenderung mengarah pada perhitungan pragmatis yang sering kali mengabaikan dimensi moral dan filosofis tersebut. Dalam sistem filsafat Aristotelian, politik dianggap sebagai panggilan luhur untuk mengatur kehidupan bersama agar mencapai kebahagiaan bersama (eudaimonia), yang tidak hanya melibatkan tindakan individu, tetapi juga keputusan kolektif yang harus mencerminkan kebaikan bersama. Sayangnya, pemahaman ini telah banyak tergerus oleh dinamika politik yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompok. Ini adalah ironi yang harus kita hadapi dalam memahami perjalanan politik kita.
Indonesia memiliki sejarah politik yang sangat kaya dan kompleks. Dari masa penjajahan hingga kemerdekaan, kita melihat bagaimana budaya politik kita telah terbentuk dalam dua pola yang saling bertentangan: budaya afirmatif yang cenderung mendukung kekuasaan yang sudah ada, dan budaya kritis yang berfungsi untuk mengawasi dan melawan kekuasaan tersebut. Pemahaman ini bisa memberikan kita perspektif yang lebih luas tentang genealogi budaya politik Indonesia dan bagaimana tradisi ini terus berkembang hingga kini.
Pada awal abad ke-20, dua organisasi besar lahir yang memiliki pengaruh signifikan dalam perjalanan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan: Boedi Oetomo (BO) dan Sarekat Islam (SI). Kedua organisasi ini mencerminkan dua aliran budaya politik yang berbeda, meskipun keduanya berjuang dalam konteks yang sama—yaitu untuk mencapai kemerdekaan Indonesia dari penjajahan kolonial. Boedi Oetomo, yang didirikan pada tahun 1908 oleh sekelompok priyayi dan intelektual, mewakili budaya politik afirmatif yang berfokus pada pemberdayaan golongan terpelajar dan penguatan identitas budaya tanpa secara langsung menantang kekuasaan kolonial. Tujuan utama BO adalah untuk memperbaiki keadaan sosial dan pendidikan masyarakat Jawa, tanpa memandang langsung sistem kekuasaan kolonial yang ada. Pada kenyataannya, banyak anggota penting BO yang justru terlibat dalam sistem pemerintahan kolonial.
Namun, BO bukanlah satu-satunya jalur bagi mereka yang menginginkan perubahan lebih radikal. Salah satu tokoh penting yang keluar dari BO adalah Soerjopranoto, yang merasa bahwa BO terlalu bersikap kompromistis terhadap kekuasaan kolonial. Soerjopranoto kemudian bergabung dengan Sarekat Islam (SI), sebuah organisasi yang didirikan pada tahun 1912 oleh kaum pribumi dan pekerja buruh sebagai reaksi terhadap penindasan ekonomi yang dilakukan oleh penguasa kolonial. Berbeda dengan BO, SI dengan tegas berpegang pada tradisi budaya politik yang lebih kritis, yang menantang struktur kekuasaan dan melawan penindasan.
Pergeseran Soerjopranoto dari BO ke SI menggambarkan betapa dalamnya perbedaan antara kedua organisasi ini dalam melihat politik sebagai sebuah instrumen perubahan sosial. BO, dengan kebudayaan afirmatifnya, cenderung menjaga hubungan baik dengan penguasa kolonial, sementara SI berusaha memperjuangkan hak-hak rakyat bawah dengan cara yang lebih radikal. Proses ini menunjukkan bahwa politik Indonesia sejak awal telah didominasi oleh dua budaya politik yang saling berhadapan: budaya politik afirmatif yang mendukung kekuasaan yang ada dan budaya politik kritis yang berfungsi sebagai alat untuk mengawasi serta menantang kekuasaan tersebut.
Namun, meskipun SI dianggap sebagai wadah bagi budaya politik kritis, sejarah juga mencatat bahwa internalisasi budaya ini tidak selalu berjalan mulus. Pada tahun 1933, Soerjopranoto dan dr. Soekiman Wirjosandjojo, dua tokoh penting dalam SI, justru terlibat dalam konflik internal yang sangat serius. Mereka membongkar praktik korupsi yang dilakukan oleh pengurus SI yang menyebabkan mereka dipecat dari organisasi tersebut. Hal ini menggambarkan adanya ketegangan dalam budaya politik kritis, di mana meskipun memiliki tujuan untuk mengawasi dan mengoreksi kekuasaan, struktur internal organisasi juga dapat terperangkap dalam masalah-masalah yang sama, seperti korupsi dan kesenjangan internal.
Konflik internal ini membuka ruang diskusi mengenai apakah budaya politik kritis dapat bertahan dalam menghadapi tantangan internal dan eksternal. Ketika sebuah organisasi atau gerakan politik berusaha untuk mendobrak kekuasaan yang ada, apakah ia juga mampu menjaga integritas dan moralitas dalam tubuhnya sendiri? Pertanyaan ini menjadi semakin relevan dalam konteks politik kontemporer Indonesia, di mana banyak organisasi politik atau gerakan sosial yang bertujuan untuk melawan ketidakadilan, tetapi seringkali terjerumus dalam perilaku yang sama buruknya dengan kekuasaan yang mereka kritik.
Budaya politik Indonesia, sebagaimana tercermin dalam dua organisasi besar ini, adalah sebuah campuran dari berbagai macam tradisi dan pendekatan. Almond dan Verba (1963) dalam The Civic Culture mengklasifikasikan budaya politik ke dalam tiga kategori utama: budaya politik parokial, budaya politik kaula, dan budaya politik partisipan. Meskipun ketiga kategori ini saling terkait, mereka menggambarkan berbagai tingkat partisipasi politik masyarakat yang berbeda-beda.
Budaya politik parokial mengacu pada masyarakat yang sangat terbatas dalam kesadarannya terhadap politik dan memiliki tingkat partisipasi yang sangat rendah. Sebaliknya, budaya politik kaula menggambarkan masyarakat yang sudah cukup maju secara sosial dan ekonomi, tetapi tetap bersikap pasif terhadap politik. Di sisi lain, budaya politik partisipan menggambarkan masyarakat yang memiliki tingkat partisipasi politik yang sangat tinggi dan aktif terlibat dalam aktivitas politik.
Di Indonesia, kita melihat sebuah campuran dari ketiga budaya politik tersebut. Di kota-kota besar, seperti Jakarta dan Surabaya, budaya politik partisipan terlihat berkembang pesat, dengan masyarakat yang semakin sadar akan peran mereka dalam politik. Namun, di daerah pedesaan atau wilayah yang lebih terisolasi, budaya politik parokial dan kaula masih sangat dominan, di mana banyak individu yang tidak merasa memiliki kekuatan untuk mempengaruhi kebijakan yang ada. Perbedaan ini menciptakan ketegangan dalam budaya politik kita, yang memperlihatkan adanya ketimpangan dalam partisipasi politik antara wilayah yang lebih maju secara ekonomi dan sosial dengan wilayah yang lebih tertinggal.
Pada akhirnya, kita dihadapkan pada pilihan besar yang menentukan arah bangsa kita. Apakah kita akan terus mengembangkan budaya politik yang lebih elitis dan afirmatif, seperti yang dicontohkan oleh Boedi Oetomo, ataukah kita akan memilih untuk mengembangkan budaya politik yang lebih demokratis dan kritis, seperti yang diperjuangkan oleh Sarekat Islam? Pilihan ini akan sangat menentukan wajah nasionalisme Indonesia di masa depan.
Nasionalisme yang berkiblat ke atas, yang lebih berfokus pada penguatan kekuasaan elit, ataukah nasionalisme yang berkiblat ke bawah, yang berorientasi pada pemberdayaan rakyat dan keadilan sosial bagi seluruh lapisan masyarakat? Sejarah telah memberi kita pelajaran berharga bahwa nasionalisme yang bertumpu pada kekuasaan elit akan meminggirkan suara rakyat, sementara nasionalisme yang mengutamakan pemberdayaan rakyat akan lebih inklusif dan mendorong kesejahteraan bersama. Pilihan kita hari ini akan menentukan jenis negara yang akan kita bangun di masa depan.***