Opini

Pembelajaran Kontekstual Dalam Ibadah Puasa

Oleh : Lomrah S.Pd.
Guru Kelas MIS Nurul Huda Gempol Kuningan

Di antara model pembelajaran yang paling cocok untuk diterapkan saat ini adalah pembelajaran kontektual CTL (Contextual Teaching and Learning ), yaitu model pembelajaran yang menghubungkan materi pelajaran dengan kehidupan nyata. Pembelajaran ini bertujuan agar siswa dapat menerapkan pengetahuan yang dipelajarinya dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Ivantri (2021), model kontekstual merupakan konsep belajar yang beranggapan bahwa siswa akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan secara ilmiah, artinya belajar akan lebih bermakna jika siswa “bekerja” dan “mengalami” sendiri apa yang dipelajarinya, bukan sekedar “mengetahuinya”.

Langkah – langkah pembelajaran CTL antara lain : pertama, Kontruktivisme yang artinya siswa membangun dan mengkonstruksi pemahaman mereka sendiri dari pengalaman baru yang dialami dan bukan seperti yang selama ini terjadi yakni siswa hanya menerima pengetahuan dari guru. Dalam bahasa lain siswa jangan hanya “disuapin” oleh guru. Kedua, Inquiry yakni siswa dirangsang untuk bisa menemukan sendiri pencarian melalui proses berfikir kritis. Ketiga, Question (bertanya), maksudnya adalah membangkitkan rasa ingin tahu pada diri siwa sehingga bersifat kritis, banyak bertanya nenbangun dialog interaktif di kalangan siswa. keempat, Masyarakat Belajar (Learning Community) adalah sesama peserta didik berkolaborasi menciptakan masyarakat belajar, Bertukar pengalaman, dan berbagi ide. Siswa yang pandai mengajari yang lemah, yang sudah tahu memberi tahu yang belum tahu dan seterusnya. kelima, Pemodelan (Modeling). Artinya Dalam pembelajaran perlu ada model yang dapat dicontoh oleh siswa. Ketika guru sanggup melakukan sesuatu maka dengan metode yang sama, siswa juga akan bisa melakukannya. Keenam, refleksi yakni kilas balik perenungan untu mengefaluasi yang sudah terjadi.

Bulan puasa dengan dengan banyaknya amalan dan peribadatan di dalamnya sangat cocok untuk dijadikan ajang pembelajaran kontekstual bagi para siswa, karena seorang guru yang baik adalah yang bisa menciptakan sebuah “rekayasa lingkungan” yang bisa menjadi pembelajaran bagi para peserta didiknya. Lingkungan yang bisa mengantarkan peserta didik mencapai tujuan pembelajaran. Maka konteksnya dengan bulan puasa adalah Ramadan bisa dijadikan “rekayasa pembelajaran” untuk para siswa. Dari semua langkah-langkah di atas, pemberian tugas kepada siswa agar terlibat aktif dalam pembiasaan-pembiasaan di Bulan Ramadhan adalah sebuah pembelajaran yang tepat. Dan semua itu adalah sebuah pembelajaran kontekstual TCL.

Dalam diskursus pendidikan, model pembelajaran CTL ini erat kaitannya dengan teori belajar sosial (social learnig theory). Teori ini dikembangkan oleh Albert Bandura seorang ahli psikologi pendidikan dari Stanford University, USA. Teori pembelajaran ini dikembangkan untuk menjelaskan bagaimana seseorang mengalami pembelajaran dalam lingkungan sekitarnya. Dan eksperimen Albert Bandura yang sangat terkenal adalah eksperimen Bobo Doll yang menunjukkan anak-anak meniru seperti perilaku agresif dari orang dewasa yang di lingkungan disekitarnya.
Salah satu proses teori belajar sosial adalah melalui observasi yang tidak lain adalah peniruan atau modeling, Bandura mengungkapkan bahwa tingkah laku yang baru (kompetensi) tidak akan diperoleh tanpa adanya proses observasi maupun perhatian pembelajar yaitu peniruan terhadap model yang ditemui di lingkungan pembelajar. Dari beberapa penelitiannya membuktikan ternyata tingkah laku setiap kelompok cenderung mirip dengan tingkah laku model yang diamati di lingkungannya.
Berdasarkan social learnig theory menyatakan bahwa tingkah laku manusia bukan semata-mata bersifat refleks atau otomatis, melainkan juga merupakan akibat dari reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi dengan lingkungan. Menurut bandura, sebagian besar tingkah laku manusia dipelajari melalui peniruan (imitation) terhadap lingkungan dan proses mencontoh perilaku (modelling). Itulah kenapa sosok orang tua dan guru memainkan peranan penting sebagai model atau tokoh bagi anak untuk menirukan perilaku tertentu. Dengan demikian bahwa Manusia membutuhkan lingkungan dan sosok penuntun (modeling) yang akan memberi pencerahan dan menunjukkan kepadanya tentang perilaku yang harus dilakukan.

Dua hal di atas (baca: lingkungan dan modeling) yang akan menjadi faktor sangat penting yang satu sama lainnya harus saling mendukung. Dan ketika salah satu paktor tidak mendukung maka sering kali menjadi penyebab kegagalan anak dalam sebuah pembelajaran. Maka sering kita menemukan walaupun faktor guru dan orang tua sebagai modeling nya kuat, namun jika lingkungan pergaulan anak jelek maka akhirnya anak terjatuh juga ke dunia negative.
Faktor modeling juga penting. Bahkan dalam pembelajaran pesantren, para ulama memberikan pedoman bahwa belajar harus mempunyai guru/musyid yang jelas bahkan sanadnya harus secara berjenjang sambung menyambung sampai kepada sumber utama dari sebuah ilmu yaitu Allah dan Rasul-Nya. Maka beberapa ulama mengatakan, siapa yang belajar tanpa guru, maka gurunya itu adalah syetan.

Maka Ramadan sebagai lingkungan pembelajaran sangatlah tidak diragukan. Karenanya para pakar pendidikan Islam telah menyebutnya dengan “madrasah Ramadan”, sekolah Ramadan. Dalam Bahasa sederhana dan praktis Ramadan bisa dijadikan wahana pembelajaran supaya peserta didik dapat menemukan lingkungan Ramadan sebagai tempat pembelajaran. Lingkungan Ramadan ini begitu unik dan tidak akan kita temui di bulan-bulan lain di luar Ramadan.
Sangat banyak kita temui keunikan perilaku Ramadhan yang hampir tidak akan kita temukan di luar Ramadhan. Mulai dari kebiasaan puasa dengan menahan lapar dahaga selama seharian dari mulai terbit fajar sampai terbenam matahari yang dilakukan serentak oleh semua orang. Hal ini sudah barang tentu tidak akan kita temui di luar Ramadan. Kebiasaan menghidupkan malam melalui shalat taraweh dan tahajjud juga tak akan ditemukan di luar Ramadan. Begitu pula dengan kebiasaan tadarus al-Quran, ceramah-ceramah keagamaan dan kultum, zakat fitrah, maal, dan berbagai macam ibadah yang lainnya. Keunikan Ramadhan ini sangat sayang untuk dilewatkan jika tidak dijadikan moment pembelajaran bagi para siswa kita.
Lebih dari itu, pembiasaan peserta didik dalam berbagai amalan Ramadan juga merupakan pendidikan karakter yang ditanamkan pada jiwa peserta didik dari sejak dini. pendidikan karakter adalah sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif pada lingkungannya.
Pendidikan puasa yang dilakukan dengan sungguh-sungguh akan membentuk peserta didik yang tahan dan tetap tegar jika suatu saat menemukan kesulitan dalam hidup. Sikap ini terbentuk dari jiwa yang tahan dan terbiasa menahan lapar dan kekurangan seperti yang diajarkan puasa. Dan saat dirinya menemukan kesenangan dan kebahagiaan ia tidak akan lupa diri dan selalu empati terhadap orang yang susah karena hikmah puasa yang dilakukan akan menumbuhkan kepedulian terhadap sesama. Akhirnya melalui tulisan ini kita jadi tahu bahwa kalau di waktu bulan puasa sering menemukan siswa pelajar yang membawa buku amaliah Ramadan itu adalah bentuk pembelajaran yang sangat baik. Dan ini adalah bagian dari madrasah Ramadan. Wa Allahu A’lam Bissawwab. ***

Related Articles

Back to top button