Opini

Dari Jagat Maya ke Jalanan, Dari Tagar ke Aksi Sosial yang Nyata

Oleh: Nazwa Davega
Penulis Lepas Cirebon

Di tahun 1998, puluhan ribu mahasiswa turun ke jalanan, bersatu menuntut perubahan. Rezim jatuh, dan Indonesia memasuki era baru, reformasi. Jika dulu protes berarti turun ke jalan, kini protes bisa bermula dari satu tagar.
Ruang publik di era digital saat ini tidak bergerak ke jalanan, gedung parlemen, atau layar televisi. Ia kini kian hidup dan menggema di jagat maya. Twitter, Instagram, TikTok, dan media sosial lainnya telah menjadi medan baru bagi rakyat untuk menyuarakan ketidakadilan.
Mari mengingat satu dekade setelah reformasi, tepatnya pada tahun 2019, gelombang protes kembali mengguncang Indonesia. Bukan menuntut penggulingan rezim, tapi menolak pelemahan sistematis terhadap lembaga pemberantas korupsi, KPK. Tagar #ReformasiDikorupsi meledak di media sosial, menjadi titik temu keresahan publik.
Puluhan ribu mahasiswa turun ke jalan di hampir semua kota besar, membawa tujuh tuntutan, termasuk pembatalan revisi UU KPK dan penghentian pembahasan RKUHP. Aksi ini menjadi puncak penolakan rakyat terhadap agenda legislatif yang dianggap merusak demokrasi. Tak hanya mahasiswa, semua lapisan masyarakat menyuarakan perlawanan terhadap revisi UU KPK. Ini bukan sekadar gerakan moral, tapi upaya mempertahankan demokrasi substantif. Aksi nasional #ReformasiDikorupsi menjadi peringatan bahwa reformasi sedang direnggut, dan rakyat tak tinggal diam.
Enam tahun berselang, keresahan rakyat kembali terjadi hingga melambungnya tagar #IndonesiaGelap yang membanjiri media sosial pada 17 Februari 2025. Penyebabnya adalah pemangkasan anggaran pendidikan dan kesehatan, serta kebijakan-kebijakan kontroversial seperti revisi UU Minerba dan pengesahan UU Cipta Kerja jilid dua. Ribuan mahasiswa kembali ke Patung Kuda, Jakarta, membawa tuntutan nyata di tengah malam Jakarta, Indonesia tengah gelap, baik secara harfiah maupun politik.
Protes ini bukan sekedar menyampaikan keluhan daring. Ia adalah respons terhadap kesenjangan ekonomi, kerusakan lingkungan, dan penyempitan ruang sipil. Tagar adalahi pemantik perlawanan dan media sosial menjadi panggung utamanya. Namun, apa yang membedakan gerakan ini?, ia mengandalkan kecepatan digital dan jaringan luas, menghubungkan keresahan rakyat dari layar ke jalan.
Tidak lama setelah #IndonesiaGelap menggema, publik dikejutkan oleh rapat tertutup di Hotel Fairmont, Jakarta, 14-15 Maret 2025. Rapat ini membahas revisi UU TNI yang dianggap membuka jalan kembalinya dwifungsi militer, sistem yang ditolak sejak 1998. Tagar #TolakRevisiRUUTNI meledak, hingga terdapat lebuh dari 1,07 postingan di X.
Kekhawatiran yang muncul adalah kembalinya peran dwifungsi militer, seperti yang pernah diterapkan pada era Orde Baru. Kondisi tersebut dapat kembali terjadi masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto jika RUU TNI disahkan tanpa kajian yang matang dan partisipasi publik yang memadai.

Gelombang protes terhadap pengesahan RUU TNI mencapai puncaknya pada Kamis, 20 Maret 2025. Di hari yang sama, ribuan demonstran memadati Gedung DPR RI, Jakarta, sebagai bentuk penolakan terhadap undang-undang yang baru disahkan. Aksi unjuk rasa berlangsung hingga malam hari dan memuncak saat massa berhasil menerobos pagar depan gedung parlemen sekitar pukul. Kejadian ini menjadi simbol ketidakpuasan publik yang meluas, sebab aksi serupa juga terjadi di berbagai wilayah Indonesia.
Dalam aksinya, massa membawa tujuh tuntutan penting. Mereka menolak revisi UU TNI dan menentang kembalinya dwifungsi militer. Selain itu, mereka mendesak agar TNI ditarik dari jabatan sipil dan dikembalikan ke barak, mendorong reformasi menyeluruh di tubuh TNI, menyerukan pembubaran komando teritorial, serta menuntut pengungkapan kasus korupsi dan praktik bisnis yang melibatkan militer.

Substansi UU TNI terbaru memang menimbulkan kekhawatiran. Salah satu pasalnya memperluas ruang bagi prajurit aktif TNI untuk menduduki jabatan di lembaga pemerintahan, dari sebelumnya 10 posisi menjadi 16. Usia pensiun prajurit juga diperpanjang menjadi 55 hingga 62 tahun tergantung golongan, sementara jumlah tugas dalam operasi militer selain perang meningkat dari 14 menjadi 17.

Dari #ReformasiDikorupsi hingga #TolakRevisiRUUTNI, kita menyaksikan evolusi dari jagat maya. Kini, aksi menyuarakan tak lagi terbatas ruang dan waktu. Ia bisa lahir dari mana saja, oleh siapa saja, dan menyasar siapa saja. Kekuatan ini adalah milik kita bersama, bara ini akan terus menyala, membakar semangat perlawanan, memperkuat solidaritas, dan menyalakan api perubahan yang tak akan padam.***

Back to top button