Nasib Guru yang Tak Kunjung Tuntas

Oleh: Muhammad Guruh Nuary
Dosen PG-PAUD Universitas Muhammadiyah Tangerang
Selamat Hari Guru. Itulah yang ramai dibuat di status WhatsApp dan di banyak platform lain, beberapa hari ke belakang. Persoalan “selamat” ini, sejatinya bukan hanya tentang bagaimana seorang guru dapat merumuskan pendidikan secara komprehensif demi kepentingan siswa, namun juga ada hal lain yang sama urgensinya yaitu persoalan kelayakan upah.
Kelayakan upah sebetulnya adalah tuntutan usang yang telah disuarakan sejak sekian lama. Baru kemudian pada pemerintahan baru Prabowo-Gibran ini menjadi angin segar karena janji kampanye bahwa guru akan mendapat “tunjangan” (bukan upah) Rp 2 juta per bulan, untuk guru swasta.
Sudah barang tentu ini menjadi satu keniscayaan bahwa pemerintahan baru mengambil langkah penting dan fundamental terkait kesejahteraan guru, meski tidak terkait dengan upah, melainkan hanya tunjangan. Walau begitu, kebijakan baru ini harus terus dikawal karena penerapannya akan dijalankan pada tahun 2025 sebagaimana telah dibahas oleh Komisi X DPR RI dengan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen).
Hal tersebut patut diapresiasi karena memang ini sudah menjadi janji kampanye yang cukup populer kala itu. Bisa dikatakan semua guru khususnya guru swasta mengharapkan janji tersebut segera terwujud. Sehingga, ke depan diharapkan tidak ada lagi guru yang hidup di bawah garis tidak layak.
Berbicara tentang kelayakan memang jadi satu ironi besar di Bumi Pertiwi. Karena fakta di lapangan masih banyak guru yang dibayar di bawah Rp 1 juta atau bahkan di bawah Rp 500 ribu. Selama ini, seolah kenyataan tersebut ditutup rapat oleh Kemendikbudristek (kementerian yang lama) dan hanya berkutat pada persoalan kurikulum, yang padahal tidak bagus-bagus amat juga.
Kemudian, problematik tersebut dikikis perlahan, janji kampanye diwujudkan melalui Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen). Komisi X pun ikut andil dalam merumuskan hal tersebut. Namun perlu juga digarisbawahi, bahwa ini hanya merupakan langkah awal untuk memuliakan profesi guru. Upah, tetap harus dipikirkan dan dirumuskan.
Di pihak yang sama, Kemendikdasmen juga menyadari bahwa mereka tidak sendiri. Kerja sama sektoral pun dibutuhkan dengan menggandeng Kementerian Agama (Kemenag). Apresiasi tinggi untuk kesadaran semacam ini, karena biasanya ego sektoral muncul seiring program siapa yang paling memberikan dampak. Padahal muaranya sama untuk kesejahteraan guru.
Meski bukan hal baru, namun amat sangat jarang antar Kementerian bisa saling berkolaborasi. Ini juga keputusan yang cermat, sehingga satu program bisa digunakan untuk semua, karena yang dibahas bukan hanya kesejahteraan, tetapi juga sertifikasi Pendidikan Profesi Guru (PPG) yang tak kunjung usai dan semrawut. Sudah barang tentu kiprah kolaborasi keduanya amat ditunggu.
Nah, setelah itu, maka jangan ada lagi diksi “mencari pahala”, “mencari akhirat”, “surga”, dan segala macam hal omong kosong. Masalah kesejahteraan dengan akhirat merupakan dua proporsi yang jauh berbeda meski saling bersinggungan. Bagaimana ingin menghasilkan pendidikan yang baik dan merata jika guru masih lapar pada pagi harinya?
Guru bukan lagi berfokus pada materi dan kualitas pedagogi, namun bagaimana mereka bisa bertahan untuk hidup dari bulan ke bulan. Menjadikan mereka punya banyak “sampingan” dan tak jarang lebih fokus ke pekerjaan sampingan, sebab hasil yang diperoleh lebih mencukupi kehidupannya.
Tidak pelak, guru juga sering berharap di akhir semester diberikan “cenderamata” oleh orang tua murid, akibat dari upah yang tidak layak. Efek dari minornya upah guru, melebar ke mana-mana. Tidak jarang, psikis guru ikut terganggu akibat dia belum selesai dengan urusan perutnya (baca: dirinya sendiri). Kasus kekerasan, pelecehan, dan sebagainya, itu imbas dari bagaimana efek domino “kesejahteraan”.
Kendati demikian, pijakan awal dari pemerintahan baru tetap harus diapresiasi yang sudah mencanangkan tunjangan guru Rp 2 juta perbulan. Namun, tetap harus dikawal pelaksanaannya di tahun depan. Karena, lagi-lagi, negara ini rawan untuk korupsi, bukan saya bermaksud menuduh, tetapi ini adalah pengingat untuk mencegah hal tersebut terjadi.
Jika syarat untuk mendapatkan tunjangan tersebut adalah guru-guru swasta yang telah tersertifikasi. Maka Kemendikdasmen dan Kemenag wajib langsung menyetorkan tunjangan tersebut langsung ke rekening guru, tidak lagi lewat yayasan yang terkadang tak jarang berkelakuan “nakal”. Ini harus dirumuskan secara matang.
Lalu, bukan cuma tunjangan, guru harus diberikan pelatihan, keilmuan guru-guru juga mesti di upgrade berdasarkan jenjangnya. Semisal untuk Taman Kanak-kanak atau Pendidikan Anak Usia Dini (TK/PAUD) sederajat, maka tidak ada lagi lembaga TK/PAUD yang memaksa anak didiknya untuk bisa baca, tulis, hitung (calistung). Itu persepsi lama yang sudah usang.
Di banyak penelitian, anak dengan dunianya, merupakan masa emas pertumbuhan yang mengharuskan anak untuk bermain, mengenal lingkungan sosialnya, diperkuat tentang karakter, urus juga motorik kasar dan motorik halusnya. Jadi, calistung hanya sebagai selingan dan bukan menjadi tujuan utama lagi. Anak-anak harus tetap menjadi anak-anak!
Kenapa saya ikut masuk ke ranah tersebut? Karena Mendikdasmen Prof. Abdul Mu’ti, punya konsen khusus untuk pendidikan anak usia dini. Pendidikan wajib 13 tahun sudah menjadi program prioritas kementerian yang dipimpin oleh Sekretaris Umum PP Muhammadiyah tersebut. Ini berarti, Abdul Mu’ti punya visi ke depan bahwa pendidikan harus dimulai sejak dini untuk menghasilkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul. Semoga saja hal ini juga ikuti oleh Kemenag.
Meski begitu, kembali ke urusan kesejahteraan, ini tentu harus tuntas. Tidak lagi bisa ditawar. Visi yang bagus dari Mendikdasmen bersama Kemenag, harus didukung dengan ekosistem yang mumpuni. Guru mendapat hak layak, guru diberikan pelatihan rutin, dan guru mengurus administrasi yang tidak lagi merepotkan.
Keniscayaan tersebut menjadi satu tolak ukur jika negara ini serius dengan pendidikan. Perjuangan guru selama bertahun-tahun menuntut hak layak, sudah saatnya wajib dipenuhi, walau masih berupa tunjangan, lagi-lagi ini saya sebut langkah awal yang cerdas. Di sisi lain, tidak lagi bergonta-ganti kurikulum karena ingin “dilihat bekerja” yang muaranya menjadi rumit dan tidak jelas, berujung pada merepotkan guru untuk beradaptasi kembali, melahirkan kurikulum baru bukan solusi yang pas saat ini.
Terakhir, dari hati terdalam saya mengucapkan Selamat Hari Guru. Harapan besar bukan hanya sekadar simbolik ucapan, tersemat dari “Selamat Hari Guru”. Jangan lagi ada guru-guru kita yang cuma diberikan “Selamat” tetapi masih merana kehidupannya. Tidak lagi hanya sebuah “lips service” setahun sekali. Untuk itu, mari sedari sekarang, kita kawal, agar tunjangan guru dapat terlaksana, tepat sasaran dan transparan.***