Faktor Petani Padi Menjual Gabah kepada Tengkulak

Oleh: Frian Abdulrachman Saleh, S.Pd
Penulis Lepas Cirebon
Padi sudah melekat sebagai tanaman pangan yang sangat berpengaruh besar bagi keberlangsungan taraf kehidupan ekonomi masyarakat di seluruh bumi pertiwi. Karenanya, negara Indonesia sering disebut negara agraris yang notabenenya merupakan sebuah negara yang memiliki kekayaan alam berupa daratan yang subur untuk dapat diolah dalam berbagai macam bentuk tumbuhan/tanaman yang memiliki berbagai jenis manfaat bagi masyarakatnya, seperti halnya di sektor pertanian padi yang merupakan komoditas tanaman pangan penghasil beras, dan banyak tumbuh serta dibudidayakan, hingga menghasilkan varian jenis padi yang ditanam oleh para petani Indonesia.
Beberapa bulan lalu, masa panen padipun berlangsung di beberapa daerah yang ada di Indonesia, tak terkecuali di Kabupaten Cirebon dan sekitarnya. Panen yang dilaksanakan adalah merupakan hasil pengolahan tanam sebelumnya, serta melalui proses perawatan yang kontinyu hingga masa panen padipun berlangsung. Mengapa para petani padi cenderung memilih menjual hasil panen padi berupa gabah kering kepada tengkulak dibandingkan menjual ke perum Bulog?
Melalui kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Peraturan Badan Pangan Nasional (Perbadan) Nomor 4 Tahun 2024 tentang Harga Pembelian Pemerintah dan Refaksi Harga Gabah dan Beras, harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani Rp 6.000 per kg dan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah kering giling di gudang Bulog sebesar Rp7.400 per kg. Sedangkan para tengkulak di kabuapten cirebon memberikan harga di kisaran Rp 7.800 per kg sampai Rp 8.000 per kg gabah kering siap giling untuk hasil panen kedua yang berlangsung pada bulan Agustus 2024 kemarin, mungkin saja akan ada kenaikan kembali oleh para tengkulak, inilah yang terjadi dilapangan. Membuat ketimpangan daya harga jual yang menyebabkan para petani enggan untuk menjual gabah keringnya kepada perum Bulog dan sudah menjadi tradisi serta membudaya di kalangan para petani padi pada umumnya, meskipun pemerintah memberikan acuan harga secara rinci. Karena biaya masa tanam hingga panen cenderung berangsur berkembang meningkat, alias cukup mahal dalam biaya produksi menanam padi.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhinya seperti pengadaan bibit unggul yang minim ketersediaannya dari pemerintah bagi para petani padi, di mana dari pengadaan ini para petani biasanya memilih bibit unggul padi untuk ditanam karena kualitas dan kuantitas padinya terjaga hingga menjadi beras. Padahal konsep ini menjaga mutu padi hingga produksi menjadi beras yang berkualitas di Indonesia. Para petani terpaksa memilih bibit unggul padi di kios eceran, yang mana harga jual setiap tahunnya semakin mahal dengan kualitas terjamin mutunya.
Faktor selanjutnya adalah mengenai subsidi pupuk bagi para petani yang memiliki kartu tani. Kebijakan pemerintah ini cukup mengurangi beban mental para petani, akan tetapi ulah para oknum tidak bertanggung jawablah yang membuat para petani dalam kondisi mental bertani terpuruk. Ini disebabkan oleh suatu kebijakan sepihak para oknum, contoh kecilnya seperti menebus atas hak pupuk bersubsidi sering bergejolak, tentang harga pengambilan pupuk bersubsidi ini dengan dalih ada penambahan biaya penebusan yang diperuntukkan biaya transportasi yang harus dibebankan kepada para petani, bukan transportasi dari kios ke rumah para petani melainkan transportasi pupuk dari pemerintah sampai kios penampungan pupuk bersubsidi.
Faktor berikutnya yaitu tentang kenaikan upah kerja buruh tani, dari sektor pertanian seorang petani tidaklah sendiri untuk menanam padi hingga panen, melainkan membutuhkan tenaga pekerja yang sudah terbiasa di sektor pertanian, mereka biasanya kebanyakan bekerja hanya pada fase-fase tertentu saja, seperti pada fase tanam padi dan fase panen berlangsung. Para buruh tani ini mempunyai daya jual tersendiri dalam bekerja, biasanya mereka mematok sendiri upah per-harinya dari situasi dan kondisi beban yang akan dikerjakan. Ini fenomena yang terjadi di kalangan para petani, khususnya para petani padi yang memiliki beban kerja berat di waktu panen berlangsung, mengakibatkan kenaikan upah yang signifikan.
Pada situasi kondisi yang memungkinkan para petani juga terhambat pada faktor alam seperti di saat musim kemarau tiba sehingga mengakibatkan kurangnya ketersediaan hilirisasi perairan untuk area persawahan. Faktor kemarau dan tidak adanya hilirisasi perairan di area persawahan tersebut membuat pemakaian bahan bakar minyak bumi cukup tinggi oleh para petani padi, untuk menunjang mesin pompa airnya dalam mengairi sawahnya dari sumur-sumur bornya.
Faktor-faktor tersebut hanyalah segelintir permasalahan kecil yang ada di pertanian padi. Semua ini yang menjadikan landasan para petani padi tidak begitu percaya terhadap regulasi pemerintahan, terutama Perum Bulog, yang sering kali memberikan penawaran harga jual gabah kering tidak ideal seperti tidak mempertimbangkan dampak risiko-risiko finansial pada pertanian padi oleh para petani padi pada umumnya.
Tidak ada bosannya penulis memberikan peribahasa ini: “Padi yang dipanen tidak ditanam kemarin sore.” Pemerintah dalam hal ini tidak hanya memberikan kebijakan yang baik, jika hanya dari segi kacamata data kepemilikan kartu pertanian saja, terutama petani padi. Para petani berharap pemerintah melalui peranan penting pemerintah daerah meninjau langsung atas kebijakan dan regulasi yang diberikan untuk para petani padi dan para petani pada umumnya di seluruh Indonesia, sehingga memupuk kembali rasa kepercayaan publik dan para petani terhadap sektor pertanian pada umumnya.***