Opini

Bermuhasabah di Tahun Baru 1446 H

Oleh: Asep Firmansyah
Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi
UIN Walisongo Semarang

Alhamdulillahirobbilalamin, kita dipertemukan kembali oleh Allah di tahun baru. Allah masih memberikan kita nikmat sehat dan panjang umur hingga dapat bertemu Tahun 1446 H. Ini adalah anugerah yang patut kita syukuri. Semoga rahmat, taufik, dan hidayah Allah selalu menyertai kita semua sehingga tetap berada di jalan yang diridai-Nya. Dengan rahmat-Nya, kita berharap dapat menjalani setiap hari dengan penuh keberkahan dan kebahagiaan. Dengan taufik-Nya, kita berharap dapat selalu melakukan amal kebaikan dan menjauhi segala bentuk kemaksiatan. Dengan hidayah-Nya, kita berharap senantiasa diberi petunjuk dan bimbingan untuk tetap teguh dalam iman dan Islam.
Allah SWT telah menetapkan jatah hidup setiap hamba-Nya di dunia ini. Kita tidak tahu berapa lama lagi kita akan tinggal di alam dunia ini. Allah merahasiakan tempat, waktu, dan cara kematian kita, sehingga kita tidak bisa memprediksi kapan dan bagaimana akhir hidup kita. “Tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati.” (Q.S. Luqman: 34).

Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk memanfaatkan waktu yang kita miliki dengan sebaik-baiknya, mengisi hari-hari kita dengan amal salih, dan menjauhi perbuatan yang tidak diridai oleh Allah SWT; merenungkan segala kekurangan dan kesalahan yang telah kita lakukan di tahun-tahun sebelumnya, serta bertekad untuk tidak mengulanginya. Imam Ghazali berkata, “Aku tidak mempunyai barang dagangan, kecuali umur. Jika ia habis, maka habislah modalku sehingga putuslah harapan untuk berniaga dan mencari keuntungan”. Usia adalah modal ibadah. Di dunia inilah saatnya beramal salih dan mempersiapkan bekal yang akan kita bawa nanti saat pulang kepada Allah. Jika waktu kita sudah habis di alam dunia ini, maka kita tidak memiliki kesempatan lagi untuk beribadah.
Ibadah merupakan perkara yang Allah SWT perintahkan kepada hamba-Nya. Melalui ibadah, seorang hamba berarti telah mengaktualisasikan pernyataan dirinya sebagai seorang hamba Allah yang tunduk dan patuh kepada ketentuan yang telah ditetapkan-Nya. Allah SWT berfirman, “Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk meyembah kepadaku.” (Az Zariyat: 56).
Menurut bahasa, ibadah adalah pengabdian, penghambaan, ketundukan, dan kepatuhan. Adapun ibadah menurut istilah syar’i adalah segala bentuk ketaatan, ketundukan, atau penghambaan diri kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, yang meliputi semua aktivitas manusia baik berupa amalan hati, ucapan, maupun perbuatan yang disertai niat mengabdi dan menghamba hanya kepada Allah sesuai dengan syariat-Nya (Ali: 15). Dalam Al Quran, Allah berfirman “Wahai manusia! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa. (Dialah) yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dialah yang menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia hasilkan dengan (hujan) itu buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah: 21-22).

Ibadah dibagi menjadi ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Ahmad (2020: 20-21) bahwa para ulama menjelaskan bahwa secara garis besar, ibadah dapat dibagi dalam dua kelompok, yakni ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah. Ibadah mahdhah adalah ibadah yang terdapat dalil pensyariatannya. Contoh ibadah mahdhah adalah berwudu, salat, zakat, puasa, haji. Sementara itu, ibadah ghairu mahdhah adalah ibadah yang tidak murni sebagai ibadah dan maksud dilakukannya untuk memenuhi kebutuhan duniawai. Aktivitas tersebut bernilai ibadah karena niat pelakunya. Contoh ibadah ghairu mahdhah seperti makan, tidur, bekerja untuk menafkahi keluarga, berbakti kepada orang tua, membantu sesama, membangun fasilitas umum (pendidikan, rumah sakit, jalan, jembatan, terminal), menjalin silaturahmi, menjenguk orang sakit, menuntut ilmu, dan lain-lain. Saputra, dkk. (2021: 102) pun menyampaikan perbedaan ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah. Mahdhah berarti murni atau tak bercampur. Ciri-cirinya yaitu merupakan jenis ibadah yang ditetapkan dari dalil syariat, dikerjakan dengan niat mendapatkan pahala di akhirat, hubungannya langsung dengan Allah, dan tidak dapat dijangkau dengan akal. Sementara itu, ghairu mahdhah berarti tidak murni atau bercampur dengan yang lain. Ibadah ghairu mahdhah memiliki ciri aktivitas atau ucapan yang awalnya tidak berupa ibadah, tetapi dapat berubah bernilai ibadah karena niat orang yang melakukannya, dikerjakan dengan maksud memenuhi kebutuhan yang tidak bersifat ukhrawi, hubungannya tidak hanya dengan Allah, tetapi juga dengan sesama manusia atau dengan alam sekitar, dan aktivitasnya dapat dijangkau secara logis.

Ibadah yang Allah perintahkan kepada hamba-hamba-Nya memiliki hikmah yang banyak bagi hamba tersebut. Allah SWT sejatinya tidak membutuhkan ibadah dari hamba-Nya, tetapi hamba tersebutlah yang akan mendapatkan manfaat dari ibadah yang dilakukannya itu. Dalam sebuah hadis qudsi disebutkan, “Wahai hamba-Ku, andai seluruh manusia dan jin dari awal penciptaan sampai akhir penciptaan seluruhnya menjadi orang yang paling bertakwa, hal itu sedikitpun tidak menambah kekuasaan-Ku. Wahai hamba-Ku, andai seluruh manusia dan jin dari awal penciptaan sampai akhir penciptaan seluruhnya menjadi orang yang paling bermaksiat, hal itu sedikitpun tidak mengurangi kekuasaan-Ku’ (HR. Muslim, no. 2577). Dari hadis tersebut, dapat dinyatakan bahwa jika semua manusia dan jin dari awal penciptaan sampai akhir penciptaan memiliki akhlak yang baik, ibadah yang luar biasa, atau pun memiliki level ketakwaan yang paling tinggi, semua itu tidak akan menguntungkan Allah sama sekali. Begitu pun sebaliknya, seandainya semua makhluk hidup yang ada di permukaan bumi ini tidak pernah beribadah, selalu membuat kerusakan, membuat permusuhan dan kebencian, atau pun bahkan memiliki level kedurhakaan paling tinggi, semua itu juga tidak akan merugikan Allah sedikit pun (Dewantara, 2020).

Sebagai makhluk yang diciptakan untuk beribadah, kita harus menyadari betapa pentingnya menjalankan ibadah dengan penuh keikhlasan dan ketundukan. Setiap amalan yang kita lakukan, baik itu ibadah mahdhah maupun ibadah ghairu mahdhah, hendaknya dilandasi dengan niat untuk mencari rida Allah. Dengan demikian, hidup kita akan penuh makna dan keberkahan, serta kita akan siap menghadapi kematian kapan pun dan di mana pun itu datang. Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita untuk tetap berada di jalan yang lurus dan meridai setiap langkah kita dalam menjalani kehidupan ini. Mudah-mudahan momentum awal tahun baru ini menjadi muhasabah diri bagi kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik, lebih bermanfaat bagi orang lain, dan lebih taat kepada Allah. Aamiin ya Rabbal’alamin.***

Related Articles

Back to top button