Ayumajakuning

Lestarikan Tradisi, Warga Leuwilaja Menjemput Pengantin dengan Tabuhan Genjring

 

 

kacenews.id-MAJALENGKAPada umumnya di kalangan masyarakat ketika menjemput pengantin atau orang Sunda menyebut  “mapag panganten”, dilakukan oleh lengser diiringi para penari melalui upacara adatnya dengan dandanan yang menarik.

Berbeda dengan yang dilakukan masyarakat Desa Leuwilaja, Kecamatan Sindangwangi, Kabupaten Majalengka, menjemput pengantin dilakukan dengan tabuhan genjring yang para penabuhnya semua laki – laki dan sudah berusia di atas 45 tahunan, berkopiah dengan sandal yang beragam.

Menurut Iwan Abe Sapawi, warga setempat,  tradisi ini dilakukan turun temurun sejak moyang mereka, yang hingga kini masih terus berjalan dan tidak mengenal orang kaya ataupun orang dengan status ekonominya biasa – biasa saja.

Ia menyebutkan,  kelompok yang biasa menabuh genjring dan menjemput pengantin ini adalah Dewan Kemakmuran Mesjid (DKM)  Al Mubin, Desa Leuwilaja, atau grupnya dikenal Genjring Buhun Al Mubin. Jumlah personel genjring ini sebanyak 15 orang, kesemuanya berusia antara 45 tahun hingga 60 tahun, termasuk yang mendorong pengeras suara atau memikul dog – dog.

“Dinamakan genjring buhun karena irama dan ketukannya berbeda dengan hadroh atau marawis,”ucapnya.

Iwan mengatakan,  penjemputan pengantin laki – laki ini jaraknya 100 meter dari rumah pengantin perempuan.  Seteleh pengantin laki – laki datang bersama pengiring lainnya, semua berhenti dekat penabuh genjring. Lalu dipersilakan untuk melaju dengan berjalan kaki, sedangkan  penambuh genjring berada di paling belakang. Pengiring ini baru berhenti dekat panggung lokasi hajatan, setelah semua pengiring pengantin masuk panggung dan duduk di kursi yang telah disiapkan.

“Lagunya shalawatan saja tidak ada yang lain,” ujarnya.

Pemimpin Grup Genjring  Al Mubin Ustad Qusyaeri menyampaikan, untuk acara menjemput pengantin ini pihaknya tidak pernah memasang tarif, namun pemilik hajat memberikan uang seiklasnya, ada yang Rp 300.000, ada juga yang mencapai Rp 500.000. Uang tersebut tidak pernah dibagikan namun menjadi uang kas yang pemanfaatannya untuk mengganti atau memperbaiki  genjring atau membeli seragam jika seragam sudah lusuh.

“Ini hanya untuk mempertahankan tradisi yang kami jaga dari warisan karuhun kami dulu. Kebetulan juga di wilayah kami masyarakatnya masih tetap bersedia mempertahankan budaya ini, mapag pengantin dengan genjring,” tuturnya.

Selain itu sering juga diminta masyarakat untuk mengiringi kegiatan keagamaan seperti aqiqah, shalawatan dan marhabanan serta acara – acara peringatan hari besar Islam.

“Personelnya semua sudah tua, tidak ada anak muda.Mereka mungkin belum bersedia belajar dan tentu lebih suka alat musik modern. Namun meski demikian, kalau mapag pengantin masih tetap dengan genjring ,” katanya.

Qusyaeri mengemukakan,  entah sampai kapan kesenian genjring yang kini dilakoni bersama sahabat – sahabatnya akan bertahan.

“Mudah – mudahan saja ada yang melanjutkan setelah kami semua tak bisa lagi menabuh,” ucapnya.(Tati)

 

 

Related Articles

Back to top button